Menengok Tragedi Bintaro, Kisah Terkelam Kereta Api Indonesia
Kecelakaan kereta api di Cicalengka membangunkan memori buruk perkeretaapian di Indonesia. Tragedi Bintaro adalah kisah terkelam sepanjang sejarah.
Deni Yudiawan
Jurnalis senior, pengajar, kini pengelola bisnis BandungBergerak.id
6 Januari 2024
BandungBergerak.id – Peristiwa tabrakan kereta api (KA) di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jumat 5 Januari 2024, memakan banyak korban. Empat petugas PT KAI dinyatakan meninggal dunia dan 22 penumpang dilarikan ke rumah sakit. Kejadian buruk di pagi hari itu melibatkan dua rangkaian yang bertubrukan yaitu KA Turangga relasi Surabaya Gubeng-Bandung dan kereta api Commuterline 350 Bandung Raya (KA lokal).
Ucapan duka cita dan bela sungkawa menyeruak di media sosial. Kebanyakan muncul di kolom komentar dari setiap unggahan yang mengabarkan tentang kejadian tersebut. Salah satu frasa yang banyak muncul dan terselip di antara komentar-komentar itu adalah “Tragedi Bintaro”, petaka perkeretaapian dengan jumlah korban terbanyak yang pernah terjadi di Indonesia.
Tragedi Bintaro terjadi pada Senin pagi yang kelam pada 19 Oktober 1987. Salah satu catatan lengkap tentang peristiwa Tragedi Bintaro ditulis Harian Umum Pikiran Rakyat. Beritanya muncul setiap hari di halaman utama mulai di edisi Selasa, 20 Oktober 1987 hingga beberapa hari setelahnya.
Pikiran Rakyat terbitan Selasa mencolok dengan judul besar “Tabrakan KA di Jakarta Sedikitnya 105 Orang Tewas”. Ada tiga tulisan terkait lainnya yang dimuat di halaman sampul yaitu “Rusmin: Kenapa Tidak Menunggu di Sudimara?”, tulisan feature “Ya Tuhan, Jangan Cabut Nyawa Junaidi (7 Tahun)”, dan berita rilis “Gubernur Jabar Menyatakan Rasa Duka Cita”. Ada lima foto hitam putih proses evakuasi terhadap penumpang yang masih terjebak di dalam gerbong serta penanganan di rumah sakit. Satu infografis melengkapi berita dengan memperlihatkan posisi dua kereta yang bertabrakan.
Peristiwa Mengerikan
Berita duka yang dikabarkan ke pembaca merupakan hasil peliputan para reporter sepanjang Senin kelam dari pagi hari hingga pukul 22.30 WIB. Dituliskan ada 105 orang tewas, 190 orang luka-luka, serta 65 orang lainnya masih terimpit di antara gerbong-gerbong yang hancur dan terguling. Tabrakan maut itu terjadi di Pondok Betung Bintaro, Jakarta Selatan. Saat ini, Pondok Betung masuk ke Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Banten, yang memang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta di sebelah timur.
Kecelakaan hebat tersebut melibatkan dua rangkaian yaitu KA nomor 225 jurusan Rangkasbitung-Tanah Abang dan KA nomor 220 jurusan Tanah Abang-Merak. Lokasi kecelakaan di KM 17+300/400 m atau di antara Stasiun Kebayoran Lama dan Stasiun Sudimara.
Ketika itu tak ada manifes penumpang yang lengkap seperti sekarang. Data penumpang didapat dari petugas stasiun. Karcis yang terjual pagi itu berjumlah 200 lembar, ditambah 26 karcis tanda bulanan. Petugas stasiun yang ditemui membenarkan bahwa penumpang pagi itu sangat padat, apalagi saat itu Senin pagi, saat banyak orang berangkat bekerja.
Petugas juga membenarkan bahwa biasanya KA Rangkasbitung-Jakarta diisi penumpang melebihi kapasitasnya. Satu gerbong berkapasitas ideal 80 orang. Namun kenyataannya gerbong diisi hingga dua kali lipat hingga berjubel. Beberapa bahkan menumpang di atap gerbong. “Susah mengatur penumpang di sini. Kalau Polsus bertindak, mereka nekat,” ujarnya.
Berdasarkan keterangan dari korban yang selamat, kebanyakan dari penumpang tak mengetahui persis kejadian. Tiba-tiba terjadi guncangan yang luar biasa hingga banyak penumpang terpelanting. Warga lokal di sekitar lokasi mendengar suara dentuman sangat keras. Beberapa bahkan menyangka suara meriam.
Dari tempat kejadian dilaporkan suasana yang memilukan sekaligus menegangkan. Regu penolong berupaya menurunkan para penumpang di antara reruntuhan gerbong. Jerit dan ratapan minta tolong terdengar di antara gerbong yang berimpitan. Kebanyakan korban terjepit balok-balok besi gerbong. “Saya tidak tega menyaksikan pemandangan yang mengiris hati. Belum lagi menyaksikan yang meninggal,” ucap seorang petugas penyelamat di tempat kejadian.
Ada dua truk yang pertama datang di lokasi kejadian. Kendaraan besar itu mengevakuasi korban luka dan meninggal ke tujuh rumah sakit. Proses evakuasi berlangsung sangat alot. Hingga malam hari, masih banyak penumpang yang terjebak.
Kronologi Petaka
Amang Soenarya, masinis KA nomor 220 jurusan Tanah Abang-Merak, menuturkan bahwa lokomotifnya tengah menuju Merak. Pegawai PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api, sekarang PT KAI) itu cedera saat kejadian dan ditemui wartawan di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM). Ia mengaku panik saat melihat kereta lain melaju kencang dari arah berlawanan sesaat setelah melintasi Pasar Bintaro.
“Saya memang panik saat itu, tapi saya sempat mengerem laju kereta. Namun kecelakaan itu tidak terhindarkan,” kata Amang sambil mengusap air matanya dan menahan rasa nyeri di bahunya saat berbincang dengan wartawan.
Masinis KA lainnya, nomor 225, bernama Slamet. Ia terluka berat dan dirawat di rumah sakit yang sama dengan Amang. Tak ada keterangan darinya karena tidak bisa ditanyai.
Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin memberikan keterangan setelah kecelakaan. Ia turun langsung ke lokasi kejadian. Pada sore harinya, ia mendampingi Presiden Soeharto menjenguk para korban di RSCM. Rusmin melihat kejanggalan yang memungkinkan peristiwa nahas ini terjadi. Seharusnya, kata dia, KA dari Serpong (Rangkasbitung) menuju Jakarta menunggu di Stasiun Sudimara. Namun, KA kemudian meneruskan perjalanan. “Dalam musibah itu terbukti, kereta dari Kebayoran belum lewat, yang dari Serpong sudah berangkat,” katanya.
Menteri Rusmin langsung menginstruksikan PJKA untuk melakukan investigasi atas kejadian itu. Ada beberapa petugas yang diminta keterangannya, yaitu Kepala Stasiun Sudimara, Kepala Stasiun Kebayoran Lama, masinis kedua lokomotif kereta yang bertubrukan, serta juru api dan kondekturnya. Pemeriksaan dilakukan Laksusda Jaya dan Polda Metro Jaya.
Baca Juga: Tabrakan Kereta Api di Cicalengka, Empat Orang Petugas Meninggal Dunia
Kesaksian Warga ketika Tabrakan Kereta Api Cicalengka, Penyebab Kecelakaan bisa jadi karena Faktor Komunikasi
Proyek Double Track Cicalengka, Kerusakan dan Manfaat Bagi Warga Sekitar
Pemakaman massal
Berita tentang peristiwa kecelakaan kereta di Bintaro terus berlanjut. Halaman sampul Harian Umum Pikiran Rakyat edisi Rabu 21 Oktober 1987 mengulas tentang proses evakuasi yang berlangsung hingga 30 jam setelah kejadian. Judulnya mencolok: “Pencarian Mayat Berakhir yang Tewas Jadi 151 Orang”. Alis judulnya: “Belum Tampak Ada Unsur Sabotase”.
Evakuasi dilakukan oleh para petugas PJKA dibantu oleh tiga kompi tentara. Posko kesehatan dibangun tak jauh dari lokasi kejadian. Proses evakuasi berakhir hingga Selasa, 20 Oktober 1987 pukul 12.30 WIB. Penghentian evakuasi menyusul setelah tiga jenazah berhasil dikeluarkan dari sela-sela impitan pelat baja gerbong. Pembersihan lintasan kereta kemudian dilakukan setelah itu.
Kabar tentang kejadian nahas itu menyebar dari mulut ke mulut, selain dari media. Ratusan warga mendatangi lokasi. Wartawan Pikiran Rakyat yang berada di lokasi menyebutkan bahwa tempat kejadian layaknya pasar tumpah.
Giliran Wakil Presiden RI Umar Wirahadikusumah menjenguk ke RSCM sore hari, sehari setelah kejadian. Terungkap di tengah lawatannya, banyak jenazah yang tidak dapat diidentifikasi. Pemerintah Kota Jakarta berencana akan memakamkan mereka secara massal, setelah difoto terlebih dahulu.
Investigasi atas peristiwa itu terus berlangsung. Sehari setelah kejadian, Departemen Perhubungan membentuk Tim Gabungan Pemeriksaan KA (Gapka). Unsur tim Gapka adalah Laksus (Pelaksana Khusus/dari unsur TNI) dan PJKA.
Semua pertanyaan wartawan seputar penyebab kecelakaan itu tidak ditanggapi saat konferensi pers di Departemen Perhubungan. Alasannya, investigasi belum selesai. Namun, Humas Departemen Perhubungan saat itu, Baharuddin Wahab, menyatakan ada beberapa petugas PJKA yang “diamankan” untuk keperluan pemeriksaan.
Di tengah hiruk pikuk kejadian yang menelan banyak korban jiwa itu, terselip kecemasan dari warga lokal di sekitar lokasi kejadian. Berita kecil muncul di sudut kiri halaman utama Pikiran Rakyat pada edisi Rabu, 21 Oktober 1987 dengan judul “Warga Resah Terkena Gusur Proyek Rel KA”. Isinya menyatakan keresahan 500-an warga Grogol Utara dan Bintaro atas rencana pembangunan rel ganda di sana. Salah satu penyebab kecelakaan adalah rel tunggal yang dilintas banyak kereta. Tragedi Bintaro mempercepat rencana pembangunan rel ganda yang berdampak pada penggusuran rumah-rumah yang berada di sekitar jalur tersebut.
Dalam koran Pikiran Rakyat edisi Kamis, 22 Oktober 1987, diberitakan penguburan massal terhadap para korban penumpang yang tidak diketahui identitasnya. “26 Korban Tabrakan KA Dimakamkan Bersama” demikian judul utama harian terbesar di Jawa Barat itu. Pemakaman massal dilakukan di TPU Kampung Kandang Jakarta Selatan dalam acara yang sederhana dan khidmat.
Sedianya ada 35 jenazah yang akan dimakamkan. Namun, 9 jenazah kemudian dibawa oleh ahli warisnya. Ada drama versi petugas rumah sakit. “Dua jenazah diambil keluarganya sebelum dimandikan. Menyusul kemudian empat jenazah yang dikenali keluarganya sebelum dimasukkan ke peti jenazah. Sedangkan tiga lainnya dicegat di tengah perjalanan sebelum ke TPU,” ucap seorang petugas RSCM.
Bersamaan dengan pemakaman itu, proses pembersihan puing-puing gerbong kereta yang bertabrakan selesai dilakukan. Jalur KA Rangkasbitung-Tanah Abang telah kembali normal, dua hari setelah kecelakaan.
Petugas Divonis Bersalah
Buntut dari Tragedi Bintaro berujung pilu bagi para karyawan PJKA yang terlibat langsung. Pikiran Rakyat edisi Jumat, 30 Oktober 1987, menulis judul utamanya: “Dua PPKA, Kondektur, dan Masinis Bersalah”. Kesimpulan itu disampaikan Tim Gapka.
Sebelumnya, disampaikan ada pembaruan tentang jumlah korban menjadi 137 orang meninggal, 15 orang di antaranya masih tidak dikenali identitasnya. Hingga tiga hari setelah kejadian, masih ada 87 orang yang masih dirawat di rumah sakit. Total kerugian akibat kecelakaan itu mencapai 2 miliar rupiah.
Keterangan resmi pemerintah disampaikan Sekdirjen Perhubungan Darat Gatot Sudjantoko, Dirut PJKA Suharso, dan pejabat lainnya. Dirut PJKA Suharso menjelaskan, Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA) Sudimara, Djh. (42 tahun) dinyatakan bersalah karena memberikan bentuk pemberitahuan tentang pemindahan tempat persilangan KA 225 dengan KA 220 dari Sudimara ke Kebayoran kepada kondektur dan masinis KA 225 tanpa persetujuan PPKA Kebayoran. Sebaliknya PPKA Kebayoran Urd. (25 tahun) bersalah karena memberangkatkan KA 220 tanpa persetujuan PPKA Sudimara.
Masinis KA 225 S.Sr. (48 tahun) bersalah karena setelah menerima bentuk pemberitahuan tentang persilangan begitu saja memberangkatkan KA tanpa perintah PPKA maupun kondektur pemimpin KA 225. Sedangkan kondektur pemimpin KA 225 A.Sf. (33 tahun) bersalah karena ia tidak berusaha memberhentikan KA yang menjadi tanggung jawabnya yang berangkat tanpa perintah.
Para pegawai yang dinyatakan bersalah dikenakan sanksi kepegawaian dan pidana. Dalam berita itu disampaikan secara terperinci temuan versi Tim Gapka tentang perbincangan PPKA serta petugas PJKA lainnya. Intinya, ada miskomunikasi di antara para petugas yang berjaga saat itu.
Peristiwa Tragedi Bintaro adalah cerita terkelam dalam sejarah perkeretaapian Indonesia. Semua mata tertuju pada kejadian itu, tak terkecuali para seniman.
Ada empat karya budaya populer yang muncul pascatragedi Bintaro yaitu lagu “1910” karya Iwan Fals, lagu “Masih Ada Waktu” karya Ebiet G. Ade, film “Tragedi Bintaro” yang rilis dua tahun setelah kejadian, serta film seram “Dendam Arwah Rel Bintaro” yang muncul 26 tahun kemudian (2013).
Apa kabar kereta yang terkapar di Senin pagi?
Di gerbongmu ratusan orang yang mati
Hancurkan mimpi bawa kisah
Air mata
Air mata
(1910, Iwan Fals)
*Kawan-kawan dapat membaca artikel lain tentang isu perkeretaapian, atau juga tulisan-tulisan memikat lain di Narasi