RESENSI BUKU: Menjadi Sufi dalam 226 Halaman
Dari perilaku Cak Dhalom, yang dianggap gila oleh para tetangganya sendiri, kita bisa memetik kebijaksanaan hidup. Banyak aksi dan ucapan yang nyeleneh.
Penulis Yopi Muharam7 Januari 2024
BandungBergerak.id - Tiga hari menjelang Natal, sebuah buku yang saya pesan di Buku Akik sampai dengan selamat. Buku bertajuk Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya yang ditulis oleh Rusdi Mathari (Alm) atau akrab dipanggil Cak Rusdi ini mulanya kumpulan cerita serial selama bulan Ramadan di tahun 2015-2016 yang diterbitkan di situs web Mojok.co. Judul yang menggelitik-lah yang menarik saya membelinya.
Jauh sebelum kedatangan buku ini, saya mengetahui Cak Rusdi dari bukunya yang lain, Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan (2018), kumpulan tulisan esai yang mengkritik wartawan bahkan media yang dianggapnya menyelewang dari kerja jurnalistik. Namun saya tidak akan jauh membahas buku ini. Kalau kalian penasaran, tinggal beli aja bukunya dan baca dengan khidmat.
Lewat buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya, yang ditulis Cak Rusdi setelah Alepo (2016) yang dirilis oleh Mojok juga, saya jadi mengenal sedikit tentang apa itu ‘sufi’. Tokoh utama dalam buku ini adalah Cak Dhalom, seorang duda tua dari sebuah kampung di Madura yang menjadi representatif sufi. Kaum Nadhatul Ulama (NU) tidak asing mengenal dan mengetahui tentang jelmaan Waliyullah, sebutan bagi orang yang ilmu agamanya sudah berada di tingkat makrifat atau lebih tinggi levelnya hingga mencapai titik bisa menemui Tuhan melalui hatinya.
Orang mahfum, penyandang gelar Waliyullah kadang perilakunya menyimpang dari kebiasaan masyarakat umumnya. Perilaku nyeleneh seperti itulah yang digambarkan Cak Rusdi melalui Cak Dhalom. Sang tokoh yang dikisahkan sering tidur di kuburan, tidur bersama kambing dan anjing, telanjang bulat di depan masjid dengan dalih bersedekah pada nyamuk, dan perilaku aneh lainnya yang dapat kalian ketahui setelah membaca buku ini.
Baca Juga: RESENSI BUKU: Membilas Duka dengan Mencuci Piring
RESENSI BUKU: Membaca Buku Sejarah Dunia Seasyik Mendengarkan Dongeng Hebat
RESENSI BUKU: Jejak Pencak Silat yang Mendunia
Dianggap Gila
Ada dua bab dalam tulisan ini: Ramadhan Pertama dan Ramadhan Kedua. Masing-masing bab bentuknya cerita berseri. Pada bab pertama, kita akan diajak berkenalan dengan sosok Cak Dhalom, orang yang dianggap kurang waras oleh warga sekitar sehingga anak-anak melebelinya sebagai orang gila karena sering bertingkah aneh dan cekikikan sendiri. Namun anggapan tersebut tidak dihiraukan oleh Cak Dhalom. Ia bahkan mengiyakan anggapan warga itu.
Dikisahkan, suatu saat warga sekitar sibuk menyambut bulan suci Ramadaan dengan membersihkan masjid. Di pagarnya, tertempel sebuah spanduk bertuliskan ‘Selamat Datang Ya Ramdhan, Kami Rindu Padamu’. Cak Dhalom membacanya berulang kali dengan suara yang keras, sontak menarik perhatian warga dan anak kecil yang kemudian menyorakinya: ‘Dhalom Gila’.
Berbeda dengan Mat Piti, ia menganggap Cak Dhalom seorang yang istimewa. Pasti ada pesan di balik perilaku Cak Dhalom seperti itu.
Mat Piti adalah sosok yang berguru pada Cak Dhalom, meski sebutan guru sering dibantah oleh Cah Dhalom sendiri dengan menyebut bahwa ia adalah orang yang tidak waras. “Ngapain kamu berguru kepada orang yang tak waras seperti saya,” ujarnya di sebuah gubuk yang berdekatan dengan kandang kambing milik Pak Lurah.
Cak Dhalom memang meninggali gubuk reyot dekat kandang kambing milik Pak Lurah. Tempatnya tidak jauh dengan satu-satunya masjid yang ada di kampung itu.
Dari awal cerita, saya juga mengira Cak Dhalom adalah sosok yang enggak waras. ‘Ngapain orang teriak-teriak membaca sepanduk, di saat orang lain sibuk membersihkan masjid?” gumam saya. Namun justru inilah awal bagi saya untuk mengenal lebih jauh sosok dan tindakannya.
Suara keras Cak Dhalom ketika membaca spanduk di pagar masjid adalah sebuah tindakan satire. Ia hendak bilang: apakah benar orang-orang merindukan Ramadan? Makna dari merindukan itu seperti apa? Bukannya orang hanya menyambut pada awal Ramadan saja? Menjelang 10 hari lebaran, orang-orang pada umunya sudah lupa dari esensi dari bulan suci itu. Pastinya kalian juga merasakan yang sama: orang-orang sibuk menyiapkan lebaran dan mudik ke kampung halaman. Lalu apa yang dimaksudkan dengan merindukan Ramadan, seperti tertulis di spanduk, jika pada akhirnya dilupakan begitu saja?
Cak Dhlaom mengatakan bahwa seuatu yang diwajibkan (ibadah) adalah sesuatu yang tidak disukai manusia untuk mengerjakannya. Deg!. Kalimat itu dikatakan Cak Dhalom ketika mengobrol dengan Mat Piti. Obrolan itu pun membuka lebar pikiran saya yang mulanya mengira Cak Dhalom gila, tapi, setelah tamat membereskan buku, berakhir dengan kesimpulan bahwa ternyata saya yang gila.
Siapa Sesungguhnya yang Gila?
Dalam cerita berjudul ‘Membakar Surga, Menyiram Neraka’, dikisahkan Cak Dhalom tengah membawa obor berlari bolak-balik di depan masjid sembari bergumam ‘Celaka! Celakaa…!’. Dia melakukannya sehabis bubaran Tarawih dan terus melakukannya hingga menjelang sahur. Aneh bukan? Tak ada yang tahu apa maksud ia melakukan hal tersebut, sampai Mat Piti menghampirinya dan menanyakan maksud aksinya itu.
Menurut Cak Dhalom, orang yang pergi ke masjid disebut celaka. Padahal, apa salahnya orang pergi ke masjid untuk melaksanakan salat? Cak Dhalom mengingatkan Mat Piti bahwa orang-orang yang sering pergi ke masjid celaka karena telah menelantarkan istri Bunali dan anaknya Sarkum. Siapa mereka?
Istri Bunali adalah janda yang bekerja sebagai pembantu di rumah Pak Lurah, dan anaknya, Sarkum, putus sekolah saat memasuki jenjang SMP. Alasan pastinya adalah karena istri Bunali tidak punya uang untuk menyekolahkan Sarkum. Kemampuan ekonomi pas-pasan, utang banyak.
Sementara itu, masyarakat kampung sibuk beribadah untuk melakukan kabajikan bagi dirinya sendiri. Tidak ada yang salah memang. Namun jika kesibukan membuat orang lalai menelantarkan seorang janda dan anak yatim, siapa yang harus bertanggung jawab?
Cerita Istri Bunali tidak berhenti sampai di situ. Dalam cerita berjudul ‘Dia Sakit, dan Kamu Sibuk Membangun Masjid’, Cak Dhalom tegas menolak pembangunan masjid. Ya, kalian tidak salah baca: ‘MENOLAK PEMBANGUNAN MASJID’.
Begini ceritanya. Di tengah malam, Cak Dhalom, Mat Piti, dan adik mantu Mat Piti, Gus Mut, sedang mengobrol perihal pembangunan masjid yang ditentang Cak Dhalom. Di tengah obrolan, penjaga masjid, Warkono, datang tergopoh-gopoh menghampiri rumah Mat Piti. Ia mengabarkan bahwa istri Bunali gantung diri. Di malam itu juga istri Bunali dikuburkan. Istri Bunali sudah sakit berbulan-bulan, tapi tidak ada satu pun warga yang menengok dan memedulikannya.
Cak Dhalom meraung-raung di samping kuburan istri Bunali. “Ya Allah… ampuni diriku… Ampuni orang-orang kampung sini…” ucapnya terus diulang-ulang hingga menjelang magrib. Mat Piti yang melihatnya kebingungan. Di mana pun orang yang hidup mendoakan yang meninggal, tapi Cak Dhalom malah sebaliknya. Ia mendoa kan warga yang menelantarkan seorang janda miskin.
Subuh menjelang. Orang-orang berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan salat subuh. Beda halnya dengan Cak Dhalom. Ia menjadi pusat perhatian warga setelah melaksanakan salat subuh. Ia bolak-balik menggendong karung berisi tanah kuburan yang berasal dari kuburan istri Bunali yang masih basah.
“Cak, itu tanah kuburan untuk apa dibawa kemari?” tegur Pa RT.
Cak Dhalom balik bertanya bukannya masjid ini perlu diperluas dan dibangun untuk dipercantik. Ia membawa tanah kuburan itu dengan maksud menyumbangkan tanah sebagai sedekah istri Bunali untuk masjid.
“Dia (istri Bunali) menitip pesan agar tanah kuburannya disumbangkan ke masjid agar masjid ini bisa megah. Lalu apakah kita akan menolaknya?” kata Cak Dhalom.
Cak Dhalom lalu menyampaikan pesan yang lebih filosofis lagi. Mari kita baca seksama pesan itu: “Merenovasi masjid kini menjadi lebih penting ketimbang memperbaiki dan memperbagus kelakuan. Umat sekarang diajak lebih tergantung pada masjid ketimbang masjid yang bergantung pada umat. Diajak aktif membangun masjid, tapi membiarkan orang-orang seperti istri Bunali terus tak berdaya lalu mati. Diajak rela menyodorkan sumbangan kemana-mana untuk membangun masjid, tapi membiarkan Sarkum anak Bunali tidak bersekolah dan kelaparan. Kita bahkan tidak menjengkuknya. Tidak pernah tahu keadaan mereka. Lalu apa sesungguhnya arti masjid ini bagi kita? Apa arti kita bagi masjid ini?”
Sekarang mari kita renungkan, seberapa banyak masjid megah lingkungan kalian? Dan seberapa banyak juga janda miskin, orang miskin dengan rumah reyot di sekitaran masjid? Mari kita tengok adakah anak yatim yang terlantar dan tidak bersekolah karena tidak ada biaya! Mari kita tengok ada berapa orang tua yang sakit dan tidak ada yang mengurus bahkan memendulikannya!
Benar kata Cak Dhalom, orang yang dianggap tidak waras itu! Kita sibuk membangun kebajikan bagi diri kita sendiri tanpa memedulikan masyarakat sekitar. Itu disebut ibadah sesama manusia. Tuhan memerintahkan demikian. Ibadah dibagi menjadi dua: vertikal dan horizontal. Ibadah horizontal ini kerap dilupakan masyarakat. Kita hanya sibuk menyalahkan saja. Tidak ada yang berani bertindak.
Memang semua urusan dikembalikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Terlalu egois bagi kita jika hanya menyibukkan diri kita sendiri untuk dekat dengan-Nya. Bukannya Tuhan bersama orang-orang yang lemah? Bukannya Tuhan bersama orang-orang yang menderita? Jika demikian, bukannya kita harusnya membantu orang lemah supaya lebih dekat dengan Tuhan?
Lewat tulisan ini, tentunya hanya secuil yang dapat digambarkan. Di dalam buku Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya, kalian bakal menjumpai cerita menarik dengan judul-judulnya yang nyeleneh tapi tak kalah bermakna. Sebut saja: “Cak Dhalom Mengaku Anjing”, “Mari Minta Maaf dan Telanjang Bulat”, dan banyak lagi.
Namun kita juga jangan menelan mentah-mentah isi dari buku ini, meski sebagian besar makna dari buku ini merupakan adaptasi dari kisah yang diceritakan dari kitab, cerita Emha Ainun, bahkan sirah nabawiyah. Kita mesti berguru lagi. Jangan sampai meniru tindakan Cak Dhalom yang telanjang bulat untuk bersedekah atau tidur bersama kambing dan anjing.
Informasi Buku
Judul buku: Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya
Penulis: Rusdi Mathari
Penerbit: Buku Mojok, Yogyakarta
Cetakan: XX, Agustus 2023
Halaman: 226 Halaman
ISBN: 978-602-1318-40-9