Bolehkah Bertindak Sewenang-wenang terhadap Manusia Lain yang Berbeda Bangsa?
Jika masyarakat Indonesia bisa merasakan rasa sakit manusia Palestina, kenapa tidak bisa mengerti rasa sakit manusia Rohingya yang terpaksa mengungsi ke Indonesia?
Akbar Adi Benta
Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Pasundan (Unpas) Bandung.
7 Januari 2024
BandungBergerak.id – Sila kedua bilang "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab". Setelah itu, masih ada dua sila lainnya dan kemudian barulah ke sila kelima yang berbunyi: "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia". Bukan tanpa alasan mengapa “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” diletakan pada urutan kedua dan “Keadilan bagi Seluruh Rakyat Indonesia diletakan pada bagian terakhir.
Rasanya, akan jadi percuma jika seluruh rakyat Indonesia berjuang menuntut untuk mendapatkan keadilan, akan tetapi di bagian wilayah Indonesia lain terdapat manusia yang kehilangan rasa kemanusiaan dan keberadabannya dalam memperlakukan manusia yang tidak sebangsa dengannya.
Rabu, 27 Desember 2023, ada 135 manusia imigran Rohingnya yang diusir oleh ratusan mahasiswa secara arogan dari Gedung Balai Meuseuraya Aceh (BMA). Gedung tersebut adalah tempat penampungan sementara bagi manusia imigran Rohingya.
Pekik tangis manusia Rohingnya itu melaung pecah tidak terbendung, ketika ratusan mahasiswa mengusir paksa mereka. Para pelajar yang biasa mendaku sebagai agen perubahan itu mengusir manusia Rohingya dengan berdasar pada beberapa alasan.
Beberapa di antaranya seperti: Tidak adanya aksinya nyata dari Pemerintah Aceh menangani pengungsi Rohingya, mahasiswa butuh aksi nyata terkait persoalan pengungsi Rohingya, dan mahasiswa-mahasiswa tersebut menilai imigran Rohingya berperilaku buruk.
Sebagai insan yang beruntung pernah menjadi mahasiswa. Saya tertegun melihat, membaca, dan mendengar kabar ini. Mungkin benar apa yang dikatakan Pemimpin Redaksi Republika, Nasihin Masha, di dalam bukunya yang bertajuk Jungkir Balik Pers.
Nasihin Masha mengatakan, bahwasanya kita sedang berada di era komunikasi post thruth. Yang di mana emosi dan penilaian personal lebih penting dan mengaburkan apa yang terjadi sebenarnya. Sehingga, apa saja narasi yang dapat memantik emosi di internet umumnya, serta sosial media khususnya. Membuat, sentimen bergenderang lebih keras dari pada argumen logis.
Sungguh sangat tidak di nyana, ternyata post thruth dapat begitu mudah menyerang generasi muda terpelajar seperti siswa yang menyandang kata “maha” itu. Apa yang dilakukan mahasiswa Aceh terhadap manusia Rohingnya itu saya pikir, tidak patut dilakukan oleh seorang terpelajar sekaliber mahasiswa.
Beredar video di sosial media seperti X – dulunya Twitter – yang menampakkan perilaku dan tindakan arogan mahasiswa Aceh terhadap manusia Rohingya pada saat pengusiran. Bahkan, beberapa media berita mengabarkan bahwasanya mahasiswa melakukan tindak kekerasan kepada manusia Rohingya. Seperti melempar botol air mineral ke anak-anak dan wanita Rohingya.
Lebih jauh, video yang diunggah oleh akun @rgantas di sosial media X memperlihatkan mahasiswa Aceh menendang barang-barang milik manusia Rohingya. Tidak hanya itu, dalam video berdurasi 40 detik tersebut terlihat mahasiswa melemparkan benda-benda ke arah manusia Rohingya dan mengabaikan pekik tangis wanita dan anak-anak Rohingya.
Saya menyangsikan mahasiswa-mahasiswa yang melakukan aksi pengusiran terhadap manusia Rohingya itu, mengetahui duduk perkara terkait alasan dari masyarakat Rohingya yang memutuskan untuk pergi dari tempat asalnya dan akhirnya mengungsi ke Indonesia.
Karena, jika mahasiswa-mahasiswa itu tahu alasan kenapa manusia Rohingya memilih untuk pergi dari negaranya dan mengungsi ke Indonesia. Saya pikir, tindakan arogan seperti yang kita lihat itu seharusnya tidak akan pernah terjadi. Apalagi, pelakunya adalah seorang terpelajar.
Manusia-manusia Rohingya itu adalah korban dari kebengisan sistematis yang dilakukan oleh Pemerintahan Myanmar. Mereka adalah korban dari kejahatan politik dan diskriminasi ras yang dilakukan oleh pemerintah tempat mereka tinggal. Apa yang dialami oleh manusia Rohingya di negaranya adalah kurang-lebih sama seperti apa yang dialami oleh manusia Palestina. Mereka semua adalah korban apokaliptik yang dilakukan penguasa.
Jika kita, masyarakat Indonesia bisa merasakan rasa sakit yang dialami manusia Palestina. Lantas, kenapa kita tidak bisa mengerti rasa sakit yang dialami oleh manusia Rohingya yang terpaksa mengungsi ke Indonesia?
Kalau memang ternyata mahasiswa-mahasiswa itu mengetahui duduk perkara kenapa manusia Rohingya bisa menjadi korban atas kekejaman pemerintah dari negara asalnya. Lantas, bagaimana bisa manusia Rohingya yang adalah “korban” itu, mereka perlakukan laksana sekelompok penjahat?
Pramoedya Ananta Toer melalui karakternya yang bernama Jean Marais di dalam buku Tetralogi Buru mengatakan: “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran.”
Mahasiswa adalah manusia terpelajar. Ironisnya, apa yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa Aceh kepada manusia Rohingya itu sama sekali tidak menggambarkan sikap pelajar yang adil sejak dalam pikirannya.
Baca Juga: Menelisik Kolonialisme Pendudukan Israel terhadap Palestina
MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Respons Dunia Internasional pada Konflik Berkepanjangan Israel-Palestina?
MAHASISWA BERSUARA: Menolak Pengungsi Rohingya, Mengikis Rasa Kemanusiaan
Ketakutan Imajiner Etnis Rohingya Menjajah Indonesia
Ada banyak sekali narasi, asumsi, dan pendapat yang bertebaran di ruang komentar sosial media seperti Instagram, X, dan media arus utama. Narasi yang paling populer adalah berpotensinya pengungsi Rohingya menjajah Indonesia.
Melihat apa yang terjadi di Aceh, Saya pikir narasi seperti ini sangat berisiko untuk diyakini. Tentunya, tidak ada satu bangsa pun yang ingin dijajah oleh bangsa lain. Tapi, bukankah narasi yang lebih relevan untuk diutarakan terlebih dahulu adalah: Memangnya seluruh masyarakat Indonesia sudah merdeka?
Dalam rentang waktu 2 tahun terakhir saja banyak berita di Indonesia ini menggambarkan perilaku-perilaku penjajah yang dilakukan oleh bangsa Indonesia itu sendiri. Misalnya saja, seperti kasus kriminalisasi Haris Azhar dan Fatia Maulidianti, yang harus bertarung menuntut keadilan di meja hijau karena upayanya membela masyarakat Papua yang kekayaan alamnya dieksploitasi dengan cara yang curang.
Lalu, konflik yang terjadi di Desa Wadas yang di mana warga menolak penambangan batuan andesit. Tapi, warga malah dibenturkan dengan aparat keamanan. Selanjutnya, kriminalisasi yang menimpa Mulyadi, Untung, dan Suwarno. Tiga orang yang berprofesi sebagai petani di Desa Pakel, divonis bersalah karena dituding menyebarkan berita bohong.
Lebih dekat lagi, di Kota Bandung. Eva Eriani Effendy, seorang wanita yang luar biasa, korban dari penggusuran Tamansari diadu domba dengan sesama korban penggusuran Tamansari lainnya. Sehingga pada akhirnya, mengharuskan Eva membakar rumah bedengnya sendiri sebagai simbol perlawanan terhadap Pemerintah Kota Bandung.
Teranyar, adalah apa yang menimpa pada Pedagang Kaki Lima (PKL) di Jalan Dalem Kaum Bandung yang menolak direlokasi. Sehingga, membuat mereka harus bentrok dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Tidakkah semua itu sudah cukup untuk menggambarkan bahwasanya masyarakat Indonesia masih belum lepas sepenuhnya dari penjajahan. Maka, alih-alih sibuk membuat narasi, menuding, dan meyakini pengungsi Rohingya berpotensi menjajah Indonesia. Bukankah, lebih baik kita fokus melawan penjajah sebenarnya yang tidak lain adalah bangsa kita sendiri itu?
Sebagai penutup, Saya mencoba mengelaborasi gagasan Yuval Noah Harari dari dalam buku Homo Deus.
Negara, uang, regulasi, legal atau ilegal, itu semua hanyalah batasan-batasan dari tatanan realitas yang imajiner dan dibuat oleh manusia. Sesuatu yang real adalah penderitaan yang dihasilkan oleh tatanan dari realitas imajiner tersebut.
Tapi kemanusiaan, itu sudah ada tertanam secara inheren pada insan jauh sejak manusia masih berada di surga.