• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Perlindungan Hukum dalam Mewujudkan Keadilan bagi Anak-anak Penderita HIV/AIDS

MAHASISWA BERSUARA: Perlindungan Hukum dalam Mewujudkan Keadilan bagi Anak-anak Penderita HIV/AIDS

Anak-anak penderita HIV/AIDS kerap mendapatkan perilaku negatif dan diskriminatif di lingkungan masyarakat.

Ni Putu Indira Mahaswari Pradika

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Komunitas ODHA termasuk pendamping dan aktivis-aktivis LSM yang menaungi ODHA mendapat suntikan vaksinasi Covid-19 di Kantor Komisi Penanggulangan AIDS Kota Bandung, 8 September 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

8 Januari 2024


BandungBergerak.id – Pada zaman ini penyakit HIV/AIDS sudah berkembang secara pesat terutama di Indonesia. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi menular seksual yang cukup serius yang ditimbulkan melalui hubungan seksual. Human Immunodeficiency Virus atau biasa disingkat HIV adalah sebuah jenis virus yang dapat menghancurkan pertahanan tubuh manusia. Dengan melakukan hubungan seksual secara bebas, virus HIV dapat dengan mudah menyebar ke seluruh tubuh individu dan dapat pula ditularkan ke individu lainnya. Apabila tidak dapat ditangani dengan cepat, akibatnya virus tersebut akan berkembang menjadi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome).

Penyakit ini merupakan sebuah masalah kesehatan global yang memiliki tantangan cukup berat dan serius untuk setiap negara, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, jumlah kasus orang yang menderita penyakit ganas ini berada di tingkat yang cukup mengkhawatirkan dengan angka yang cukup besar. Menurut Dr. Muhammad Syahril, perwakilan juru bicara Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, menyatakan bahwa kasus HIV pada anak setiap tahunnya meningkat sekitar 700 hingga 1.000 kasus dan pada saat ini kasus HIV pada anak sudah mencapai 14.150 kasus. Laporan data tersebut menunjukkan bahwa perlunya perhatian khusus untuk menangani dalam pencegahan penyakit ini. Penanggulangan dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS harus dilakukan dengan tegas yang di mana memerlukan bantuan pemerintah, badan kesehatan dan juga memerlukan bantuan masyarakat.

Baca Juga: HIV/AIDS di Bandung dalam Bingkai Medis dan Moralitas
Kisah Eva, ODHA yang Melawan Stigma
Membekali Anak-anak SD dengan Dasar-dasar Pencegahan Kekerasan Seksual

Stigma Masyarakat Indonesia terhadap Anak-anak Pengidap HIV/AIDS

Kerja sama yang kuat antar sesama sangat penting untuk menjalankan penanggulangan dalam pencegahan HIV/AIDS. Namun sayangnya, penerapan kerja sama tersebut sering kali tidak dapat berjalan dengan lancar karena timbulnya permasalahan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. Permasalahan tersebut terjadi karena masyarakat memiliki ketidakmampuan dalam memahami satu sama lain, sehingga menimbulkan sebuah pandangan negatif terhadap individu yang terkena penyakit ini.

Pandangan negatif yang terus menerus ditanamkan oleh masyarakat terhadap penderita, sehingga seiring berjalannya waktu pandangan negatif tersebut akan berpotensi dalam menumbuhkan sikap diskriminatif. Sehingga pada akhirnya, permasalahan yang terjadi tersebut akan menciptakan sebuah hambatan dalam melakukan upaya penanggulangan penyakit HIV/AIDS.

Stigma negatif dan sikap diskriminatif yang dilakukan masyarakat diterapkan kepada seluruh individu yang menderita penyakit serius ini, yang di mana mencakup segala usia, mulai dari orang dewasa hingga anak-anak. Para orang dewasa yang menderita penyakit tersebut sering kali mendapatkan diskriminasi dalam berbagai aspek di lingkungan sekitarnya, terutama dalam lingkungan kerja. Anak-anak yang menderita penyakit berbahaya ini kerap juga mendapatkan perilaku negatif di lingkungan masyarakat. Perilaku negatif tersebut biasanya dapat ditemukan di lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar rumah.

Di lingkungan sekolah, perbuatan negatif seperti diskriminasi biasa diterima oleh anak-anak yang memiliki penyakit berbahaya ini, perbuatan tersebut biasa dilakukan oleh teman-teman sepantarannya. Bukan hanya teman sebaya saja, terkadang para orang tua murid dan guru juga melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak-anak penderita HIV/AIDS. Perilaku diskriminatif biasa berupa penolakan atau perilaku mengusir anak-anak yang menderita untuk keluar dari sekolah.

Sikap diskriminasi tersebut biasa timbul karena ketidakpahaman mengenai penyakit tersebut dan adanya ketakutan penularan dari penyakit HIV/AIDS kepada anak mereka sendiri. Mereka mengira bahwa penyakit berbahaya ini dapat menular melalui sentuhan tangan, menggunakan barang yang sama, dan makan bersama. Walaupun pada faktanya anak-anak tersebut bukan penyebab dari memiliki penyakit ini, tetapi masyarakat tetap melakukan perlakuan diskriminatif.

Contoh Kasus Anak Penderita HIV/AIDS Diperlakukan Tidak Adil

Lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi sebuah tempat yang nyaman untuk semua anak-anak, di mana para anggota sekolah merangkul satu sama lain untuk terjalinnya sebuah kesejahteraan, realitasnya tidak sesuai dengan harapan tersebut. Banyak sekali kasus diskriminasi yang terjadi di lingkungan sekolah, termasuk perlakuan diskriminatif yang dilakukan kepada anak yang memiliki HIV/AIDS. Di Indonesia, sudah banyak kasus diskriminasi yang terjadi di lingkungan sekolah kepada anak yang menderita penyakit ganas ini.

Sebagai contoh konkret, di suatu wilayah di Indonesia, yaitu Solo, pernah terjadi ketidakadilan bagi anak-anak pengidap HIV/AIDS dalam lingkungan sekolah. Menurut artikel yang diunggah oleh BBC News Indonesia, pada bulan Januari tahun 2019 telah terjadinya diskriminasi di salah satu sekolah dasar (SD) di Solo, Jawa Tengah yaitu SD Purwotomo Surakarta. Artikel tersebut menjelaskan bahwa terdapatnya empat belas murid yang mendapatkan perlakuan diskriminasi dari orang tua murid karena murid-murid tersebut menderita penyakit HIV/AIDS. Murid-murid tersebut dengan terpaksa harus mengangkat kaki dari sekolah dan tidak melakukan kegiatan belajar-mengajar di sekolah tersebut. Setelah dikeluarkannya dari sekolah tersebut, saat ini para murid-murid yang mengidap penyakit HIV/AIDS ditempatkan di sebuah Yayasan Lentera di Solo. Pimpinan Yayasan Lentera, Yunus Prasetyo, berkoordinasi kepada Dinas Pendidikan Solo untuk mencari alternatif lain agar murid-murid yang menderita penyakit tersebut dapat melakukan kegiatan belajar-mengajar. Yunus Prasetyo juga berharap agar murid-murid tersebut bisa mendapatkan pendidikan yang setara seperti dengan murid-murid lainnya.

Dalam artikel tersebut, dijelaskan bahwa ketika permasalahan tersebut terjadi, upaya sosialisasi mengenai penyakit HIV/AIDS kepada masyarakat dan orang tua murid sudah dilakukan. Namun, upaya tersebut tidak mendapatkan respons positif, para orang tua murid tidak menanggapi dan tetap menolak murid-murid yang menderita penyakit ganas tersebut. Penolakan yang dilakukan oleh orang tua murid tersebut disebabkan oleh ketidakpahaman mereka mengenai HIV/AIDS dan ketakutan akan terjadinya penularan penyakit tersebut. Ketidakpahaman dan tidak mempunyai keinginan untuk belajar merupakan sumber utama terjadinya suatu diskriminasi.

Dampak Perilaku Tidak Adil Masyarakat Terhadap Anak Penderita HIV/AIDS

Perilaku negatif yang dilakukan oleh masyarakat kepada anak-anak yang memiliki penyakit HIV/AIDS ini, tentunya akan memberikan efek serius bagi setiap individu. Anak-anak yang mengidap penyakit ini akan mendapatkan ketidakadilan dalam usianya yang cukup muda. Perilaku negatif seperti diskriminasi dan pandangan negatif pastinya akan menyusahkan anak-anak untuk tumbuh berkembang. Walaupun anak-anak tersebut bukan penyebab dari memiliki penyakit ini, tetapi masyarakat di sekitarnya tetap tidak peduli, sehingga menimbulkan sebuah diskriminasi.

Perilaku negatif yang dilakukan oleh masyarakat secara langsung akan berpengaruh pada kondisi fisik maupun psikologis dari anak-anak penderita HIV/AIDS. Ketika masyarakat melakukan perilaku negatif berupa tindakan kekerasan, dampaknya akan sangat fatal dan berbahaya bagi kesehatan fisik mereka. Anak-anak, yang biasanya berusia 5 hingga 13 tahun, akan mengalami perkembangan yang penting dalam masa pertumbuhan. Apabila anak-anak dalam usia tersebut mendapatkan kekerasan fisik yang menyebabkan luka-luka, dapat dipastikan bahwa kondisi fisik mereka akan mengalami pemburukan. Apalagi jika anak-anak tersebut memiliki penyakit lain seperti HIV/AIDS, pastinya kondisi tubuh mereka akan menurun drastis dan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan lainnya.

Dampak psikologis pun dapat terjadi dari perilaku negatif yang dilakukan masyarakat, mulai dari perlakuan verbal maupun non verbal. Anak-anak yang mendapatkan perlakuan negatif tersebut akan berdampak bagi kesehatan mentalnya dan bahkan banyak dari mereka mengalami trauma. Dampak dari psikologis ini juga bisa menghambat anak dalam melakukan hubungan sosial, mereka akan mengurung diri dan memiliki ketidakinginan untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.

Perilaku negatif yang dilakukan masyarakat tidak hanya berdampak terhadap kondisi kesehatan mereka, tetapi juga akan mengalami kesulitan dalam memperoleh hak-hak dengan sepenuhnya. Hak dalam bidang pendidikan merupakan salah satu contoh aspek yang paling berdampak bagi anak-anak penderita penyakit ganas ini. Mereka sering kali menerima penolakan di lingkungan sekolah, mulai dari seperti teman sebaya, guru hingga orang tua murid. Perilaku tersebut membuat para penderita terpaksa untuk keluar dari sekolah, sehingga menghambat mereka dalam memperoleh pendidikan. Masyarakat harus menyadari bahwa tindakan yang dilakukan terhadap anak-anak ini merupakan suatu permasalahan yang serius. Mereka akan dirugikan secara keseluruhan, sehingga menimbulkannya suatu ketidakadilan bagi anak-anak penderita HIV/AIDS.

Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak-anak Penderita HIV/AIDS

Setiap manusia memiliki hak untuk mendapatkan suatu keadilan, hal tersebut berlaku juga bagi para penderita HIV/AIDS terutama bagi anak-anak. Dengan begitu perlunya diadakan suatu upaya perlindungan hukum terhadap anak-anak agar terjadinya suatu keadilan, kesejahteraan, dan terwujudnya hak-hak yang setara terhadap anak.

Upaya perlindungan hukum untuk memenuhi hak anak-anak yang memiliki penyakit ini dapat dilakukan dengan meningkatkan akses dalam bidang pendidikan dan kesehatan tanpa adanya diskriminasi. Peningkatan dapat dilakukan melalui tindakan pencegahan, yang mencakup kegiatan edukatif seperti sosialisasi dan kampanye terhadap penyakit HIV/AIDS. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat harus ditingkatkan untuk menghindari terjadinya diskriminasi terutama terhadap anak-anak penderita. Dengan demikian, mereka bisa mendapatkan hak dengan sepenuhnya dalam memperoleh pendidikan, layanan kesehatan tanpa adanya diskriminasi.

Hukum akan berperan dengan tegas dalam melindungi anak-anak penderita HIV/AIDS dari perilaku negatif. Terdapat beberapa peraturan yang menunjukkan perlindungan terhadap anak-anak yang menderita penyakit ini. Dalam Pasal 59 ayat 1 Undang-undang No. 35 Tahun 2014 dinyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak, khususnya kepada anak yang menderita HIV/AIDS. Selain itu, terdapat pula dalam Pasal 76 A Undang-undang No. 35 Tahun 2014, menyatakan bahwa setiap orang dilarang memperlakukan anak secara diskriminatif yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya. Apabila melanggar ketentuan tersebut, hukum tidak segan-segan akan melakukan tindakan berupa pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000.

Kesimpulan

Ketidakpahaman masyarakat mengenai penyakit HIV/AIDS ini menjadi penyebab utama terjadinya ketidakadilan terhadap anak-anak penderita. Mereka sering kali mendapatkan perlakuan diskriminasi dalam bentuk verbal maupun non-verbal, yang di mana perlakuan tersebut dapat menimbulkan dampak yang cukup besar bagi perkembangan mereka. Dampak yang ditimbulkan mencakup berbagai bentuk, mulai dari fisik, psikologis hingga diperolehnya hak-hak yang tidak setara. Dengan itu, sebagai tindakan untuk menangani ketidakadilan yang dirasakan oleh anak-anak penderita HIV/AIDS perlu dilakukan upaya perlindungan hukum secara tegas.

Perlindungan hukum tersebut dapat dilakukan dengan berbagai upaya, salah satunya adalah melakukan penyebaran informasi. Upaya tersebut dilakukan agar masyarakat lebih memahami mengenai penyakit HIV/AIDS dan mengurangi sikap diskriminatif. Di samping itu, perlindungan hukum harus memerlukan perhatian lebih pada penegakkan sanksi terhadap individu yang melakukan perbuatan diskriminasi terhadap anak-anak, terutama pada pengidap HIV/AIDS. Penegakkan sanksi harus dilakukan untuk menciptakan suatu keadilan bagi anak-anak yang menderita penyakit ini dan pastinya menegaskan bahwa perilaku diskriminatif akan menimbulkan suatu reaksi hukum.

Oleh karena itu pemerintah beserta masyarakat harus saling bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang adil bagi anak-anak yang menderita penyakit HIV/AIDS. Dengan adanya kerja sama, akan menimbulkannya suatu kepedulian dan keadilan terhadap anak-anak penderita, sehingga mereka mampu mencapai masa depan yang lebih bersinar, positif dan baik.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//