Mendengarkan Suara Perlawanan dari Festival Keadilan di Dago Elos
Festival Keadilan di Dago Elos menjadi pengingat kembali bahwa rakyat sepenuhnya berdaulat. Mengingatkan kembali bahwa Dago Elos masih terus melawan.
Penulis Awla Rajul8 Januari 2024
BandungBergerak.id – Festival Keadilan yang berisi mimbar bebas hadir di Dago Elos pada Sabtu, 6 Januari 2024, malam. Para pembicara malam itu mengemukakan persoalan demokrasi dan HAM di negeri ini, pesta rakyat pemilu yang akan berlangsung, persoalan tanah yang dihadapi oleh warga Dago Elos dan titik-titik lainnya di Indonesia, hingga kasus Fatia dan Haris yang tinggal menunggu sidang vonis.
Meski hujan terus turun, suasana hangat terasa di bawah tenda pada Festival Keadilan. Yang menjadi pembicara di antaranya adalah Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, Rocky Gerung, Eko Prasetyo Direktur Social Movement Institute, Muh. Isnur Direktur YLBHI, Bivitri Susanti Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, serta Robertus Robert aktivis HAM sekaligus dosen di Fakultas Ilmu Sosial (FIS) di Universitas Negeri Jakarta.
Komentator politik dan intelektual publik, Rocky Gerung membuka mimbar bebas pertama pada malam itu. Ia menerangkan persoalan negara yang sebenarnya tidak memiliki tanah. Negara baru hadir saat rakyat memberi sebagian tanahnya untuk dibangun istana.
“Tapi kemudian negara kembali merampas tanah rakyat untuk membuat istana yang lebih besar lagi, IKN. Hak kita dipecundangi oleh mereka yg berkuasa,” ujar Rocky Gerung, yang dijuluki sebagai presiden akal sehat.
Rocky Gerung menyinggung soal para penguasa yang mengemis suara rakyat saat masa pemilu, tapi merampas hak rakyat saat berkuasa. Makanya ia menyebut, siapa yang percaya pada sistem pemilu yang dinilai ada persiapan kecurangan di dalamnya.
Rocky Gerung menilai bahwa pemilu tidak akan menghasilkan keadilan karena sejak awal tidak pernah adil. Ia menyebut bahwa pemilu adalah alatnya raja, para penguasa. Makanya rakyat perlu mencari cara alternatif untuk merebut keadilan.
“Jadi kalau kita berkumpul di sini demi Festival Keadilan, itu artinya kita mau rebut kembali hak kita. Kebebasan itu bukan hadiah dari negara, bukan hadiah dari pemimpin. Tapi hak yang mesti kita rebut dan pertahankan setiap hari dengan cara sendiri maupun bersama-sama,”
Aktivis HAM sekaligus dosen di Fakultas Ilmu Sosial (FIS) di Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robert dalam mimbar bebasnya menyampaikan berbicara tentang oligarki. Ia menyebut oligarki adalah sistem politik di mana orang kaya menggunakan politik untuk menggandakan kekayaannya.
Akibat dari sistem ini adalah demokrasi yang dibangun tidak lagi menyediakan “peralatan” untuk masyarakat. Karena seluruh fisik dan roh “peralatan” sudah direbut untuk kepentingan oligarki. Robert menggaris bawahi, bahwa bukan artinya kita membenci orang kaya dan kekayaan. Tetapi menolak pencampurbauran kepentingan privat seakan-akan kepentingan umum. Pencampurbauran ini yang menjadi satu pangkal persoalan melemahnya demokrasi dan cita-cita republik.
Robert kemudian menjelaskan, kalau demokrasi adalah sebuah sistem yang dipilih oleh pendiri Indonesia yang berarti yang menyangkut kemaslahatan umum. Sistem republik, yang terdiri dari kata res dan publica membedakan dengan les privat. Artinya, pendiri bangsa Indonesia sejak awal ingin mendirikan kepolitikan yang betul-betul berfungsi untuk kemaslahatan umum, bukan untuk kemaslahatan pribadi.
“Kalau hari ini justru mengantarkan politik yang menguntungkan untuk sebagian orang, maka yang kita hadapi adalah sistem yang sudah jauh dari republik, yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa,” tegas Robert.
Robert menyebut bahwa masyarakat yang hadir pada Festival Keadilan sejatinya berkumpul untuk semangat mengembalikan cita-cita republik. Sebab masa depan Indonesia ditentukan oleh sejauh mana masyarakat mau bertindak untuk republik, bukan ditentukan oleh segelintir orang. Robert juga berpesan bahwa perjuangan saat ini adalah kembali kepada semangat masa lalu untuk merebut kembali republik di masa depan.
“Rakyat dididik dalam pendidikan, tetapi penguasa musti dididik oleh kritik dan perlawanan. Sering kali untuk membangun kembali republik kita, kita memang terpaksa harus memberikan kritik yang keras.”
Baca Juga: Mahasiswa Bandung Mengawal Dago Elos
Warga Dago Elos Geruduk Jakarta demi Hak atas Tanah
Sigma, Solidaritas Ekonomi Rakyat untuk Dago Elos Melawan
Dago Elos dan Upaya Pembungkaman
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muh. Isnur berbicara dalam mimbar bebasnya dengan mengingatkan semangat proklamasi pada 78 tahun yang lalu yang disusun dengan janji bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, janji melindungi segenap bangsa dan warganya, dan janji mencerdaskan bangsanya.
“Lalu mengapa darah dan semangat penjajahan masih hidup di Dago Elos? Mengapa legasi penjajah masih diakui di pengadilan? Di mana kalimat sakti itu? Di mana janji dalam konstitusi itu?” ujar Isnur.
Ia juga menyayangkan saat tragedi 14 Agustus 2023 lalu, saat polisi melakukan penyerangan di Dago Elos. Menurutnya, polisi Indonesia masih berlaku sama dengan polisi Belanda yang menduduki Hindia Belanda zaman dahulu yang memukuli rakyat. Ia meragukan semboyan polisi “Melindungi dan Mengayomi”.
Insur menyayangkan banyak yang lupa bahwa telah hidup sejarang panjang perlawanan di Indonesia, terkhusus fakta sejarah Bandung Lautan Api. Ia menyebut apa yang diperjuangkan oleh warga Dago Elos, perjuangan hak akan tanah selaras dengan semangat dalam Islam dalam konsep tujuan syariah.
“Jadi teman-teman yang meyakini agama, yakinilah membela Dago Elos adalah membela sepenuhnya agama kalian,” terang Isnur.
Isnur mengambil tiga poin atas apa yang terjadi di Dago Elos. Pertama, pergerakan yang tumbuh atas dasar kesadaran dan keyakinan. Keyakinan di mana keadilan tidak cuma-cuma, melainkan harus direbut, dilawan, dan diambil. Atas perjuangan yang dilakukan itu, membutuhkan solidaritas, kesatuan, dan kekompakan yang harus dirawat dengan sebaik-baiknya dengan saling jaga, saling bantu, dan tidak mudah dipecah-belah.
Satu poin lainnya adalah kebutuhan akan pengembangan kapasitas dan pengetahuan baru. Dalam perjuangan hal ini penting. Sebab, pihak lawan menggunakan cara-cara baru. Untuk menghadapi lawan, perlu mengetahu bagaimana cara lawan menjalankan taktiknya. Isnur memberikan contoh untuk tahu bagaimana caranya melawan setan tanah, maka harus tahu bagaimana cara yang kerap digunakan oleh setan.
Direktur Social Movement Institure, Eko Prasetyo menyebutkan bahwa yang tengah terjadi di Festival Keadilan menghidupkan kembali api perlawanan yang sudah lama padam. Rakyat sepenuhnya berdaulat dan kedaulatan dimiliki oleh rakyat, bukan oleh oligarki. Menurutnya, Dago Elos memberi batas keras kalau warga Dago Elos merdeka.
Ia menunjuk pada banyaknya poster-poster perlawanan sejak dari terminal hingga di kawasan balai RW Dago Elos. Poster perlawanan tersebut seharusnya juga ada di sekolah-sekolah dan kampus-kampus, di mana sistem pendidikan mengajarkan keberanian dan perlawanan.
“Kita kehilangan pendidikan yang mengajarkan anak-anak pemberontakan. Sekolah-sekolah tidak mengajarkan energi subversif, tapi kepatuhan buta,” ungkap Eko.
Ia juga mengeluhkan pendidikan di Indonesia yang mengasingkan anak dari persoalan-persoalan dan tidak mengajarkan keadilan. Maka semestinya, lanjut Eko, Dago Elos menjadi kampus terbaik di Bandung untuk mengajarkan keberanian dan perlawanan. Menurutnya, pendidikan harus menyentuh emosi dan keberanian.
“Pendidikan semestinya berani mengajarkan kebenaran, berani melatih anak untuk punya semangat perlawanan,” kata Eko.
Ia mengajak agar semangat Dago Elos turut serta masuk ke dunia pendidikan. Siswa dan mahasiswa diajarkan agar punya jiwa pemberontakan dan perlawanan. Ia juga menyarankan agar Dago Elos menjadi tempat pendidikan alternatif.
Pakar HTN dari STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menerangkan pula bahwa sejak kecil kita diajarkan di sekolah untuk taat hukum. Tapi tak pernah diberi ruang untuk mempertanyakan apakah hukum itu adil dan apakah hukum itu sudah setara. Pada kasus Fatia dan Haris ia berpendapat bahwa tidak sepantasnya mereka dihukum. Dari kasus mereka, ia menyebut bahwa yang bisa berbicara hanyalah para penguasa, masyarakat tidak pantas untuk bersuara.
“Yang dibunuh adalah masyarakat. Yang akan kita liat hari Senin adalah upaya itu, membuat kita bungkam dan takut,” terang Bivitri.
Bivitri mendorong masyarakat untuk membentuk politik alternatif. Masyarakat membuat gerakan politik baru yang tidak bergantung pada pihak-pihak maupun sistem politik sekarang. “Kita yang harus bergerak, yang membuat hak kita sehari-hari menjadi hak kita bersama,” ujar Bivitri.
Mimbar Bebas Haris dan Fatia
Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar terjerat kasus pencemaran nama baik yang dituduhkan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Keduanya menghadapi sidang putusan pada Senin, 8 Januari 2024, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Fatia dalam mimbar bebasnya di Dago Elos menerangkan kalau Bandung harus dikembalikan menjadi Bandung Lautan Api perlawanan melawan oligarki dan lahirnya diktator baru. Warga Bandung harus merapatkan perlawanan, sebab rezim saat ini kembali seperti rezim yang pernah berkuasa 32 tahun lalu.
“Tidak hanya soal keputusan MK tapi selama sembilan tahun dia memimpin dia terus melanggengkan dan memberi karpet merah kepada pelaku pelanggar HAM. Dia terus melegitimasi brutalitas aparat, menggusur warga atas nama pembangunan yang sebenarnya pembangunan itu hanya memperkaya konglomerat,” terang Fatia.
Fatia menilai program pembangunan yang digagas sayangnya bukan untuk warga tertindas. Pada pemilu yang akan dihadapi pun tak beda. Terdapat konglomerat di balik ketiga pasangan calon presiden. Sehingga ia menilai, aktornya bukan hanya negara, tetapi juga non-negara, seperti perusahaan yang sudah saling kongkalikong dengan para penguasa.
Fatia berpesan agar semangat Bandung Lautan Api yang digagas anak muda perlu dirumuskan kembali. Anak muda Bandung harus melawan dan membantu di setiap titik-titik penggusuran. Fatia juga mengajak agar anak muda Bandung menolak menjadi angka dalam survei elektabilitas politik calon presiden.
Sebab anak muda bukanlah hanya angka, tapi nyawa yang harus diperhitungkan oleh negara. Ia juga berpesan agar anak muda jangan mau diperalat oleh sistem pendidikan yang menumpulkan otak atas ide perlawanan dan ideologi-ideologi politik.
Fatia menyebut, bahwa perlawanan bukan soal menang atau kalah. Tapi perlawanan berkaitan dengan penentuan teritorial, menentukan posisi bahwa kita bukanlah warga yang suaranya bisa diperdagangkan di tahun pemilu. Tapi setelah pemilu suara kita terus diabaikan.
“Dan itulah yang harus kita lakukan hari ini. ini bukan soal menang dan kalah, tapi kita harus menentukan posisi bahwa kita sudah melawan sehormat-hormatnya,” pungkas Fatia.
Haris Azhar melanjutkan mimbar bebas itu. Ia menyampaikan rasa kagumnya kepada warga yang berkumpul karena ada solidaritas, bukan seperti politisi yang berkumpul ketika mencari kekuasaan saja. Haris menerangkan kalau warga berkumpul untuk mempertahankan hak.
Banyak kondisi yang membuat warga berkumpul seperti di Dago Elos dan banyak titik-titik lainnya di Indonesia. Sebab warga mendambakan hidup yang baik-baik, kerja yang baik-baik, dan haknya tidak diganggu.
“HAM itu melekat pada manusia. HAM juga membahasakan perlawanan. HAM juga punya bahasa isyarat untuk mengatakan kalau kita diinjak, kita melawan. Karena tanpa hak kita tak bisa hidup,” ungkap Haris.
Haris membeberkan kalau ia menghadapi sidang vonis atas dugaan pencemaran nama baik atas video podcast terkait laporan sembilan organisasi yang mengungkap ada rencana untuk menghapuskan hutan di Papua diganti dengan industri tambang.
Haris menyebutkan, sederhananya, negara tidak pernah mengumumkan ada ribuan hektar hutan yang akan diubah menjadi industri pertambangan. Sembilan organisasi ini membantu memberi informasi itu kepada masyarakat untuk mengungkap siapa yang bakal dapat, siapa yang sudah mengerjakan, atau siapa yang terlalu rakus mengambil terlalu banyak.
“Diungkap potensi kerusakan alam, potensi kerusakan moral manusianya, diungkap kecurangan-kecurangan pejabatnya tapi mereka justru menganggap itu sesuatu yang haram di mata kekuasaan. Itu artinya mereka menguasai informasi dan mereka merencanakan diam-diam dan ketika diungkap, itu dianggap sebagai kejahatan,” kata Haris Azhar.
Makanya, Haris Azhar berpendapat kalau pemilu bukan pesta demokrasi. Ada cacat pikir di mana rakyat disuruh berpesta ketika tanahnya mau diambil, ketika hutannya mau dibakar, ketika rakyat mau diadili. Rakyat ingin berpesta tapi saat mau bikin sendiri tidak boleh.
“Maka pesta demokrasi macam apa yang akan dilaksanakan oleh negara? Itu adalah pestanya mereka. Kita sudah berkumpul ketika ada darah yang tercecer, ada hak yang tercederai. Kita berkumpul tidak disuruh oleh partai politik, kita tidak menunggu ada agenda pemilu. Tapi kita berkumpul ketika ada hak yang tercederai,” lanjut Haris Azhar
Haris menilai sudah saat rakyat bergerak bersama-sama dan merumuskan politik warga saat situasi agenda nasional dan komunitas politik nirkepekaan pada agenda rakyat. Warga merumuskan agenda politik sendiri, bukan menunggu dibuatkan agenda mereka. Haris juga menekankan pada unsur-unsur keadilan, kebenaran, keberanian dan perlawanan dalam perumusan politik warga.
“Kalian tidak usah takut dengan penjara. Penjara hanya membatasi diri dan badan kalian. Tapi dia tidak akan membatasi pikiran dan kebenaran. Penjara hanya menunda partisipasi kita untuk turun serta bersama warga dan mencium bau-bau keringat itu. Tapi kita yakin bahwa penjara tidak akan cukup untuk mengisi jutaan warga yang semakin menderita itu,” pesan Haris Azhar.
Haris menutup mimbar bebasnya dengan menyatakan bahwa Dago Elos lebih penting daripada visi-misi para calon presiden. Sebab Dago Elos disusun oleh keringat dan darah, bukan visi-misi para pejabat yang mendamba kekuasaan.
Perwakilan Forum Dago Elos Melawan, Angga menutup mimbar bebas malam itu. Ia menerangkan kalau tak ada bedanya zaman penjajahan dengan sekarang saat 2.000 jiwa di Dago Elos terancam akibat pembangunan. Maka, sebelum warga menang, Dago Elos akan terus melawan.
Ia juga mengajak untuk menyuarakan dan memperjuangkan titik konflik lainnya, tidak terbatas pada satu konflik yang ada. Sebab, yang masyarakat hadapi adalah musuh yang sama. Sebuah genderang perang yang bukan ditabuh oleh rakyat.
“Sebelum kemenangan itu benar-benar terwujud, perjuangan kita masih panjang,” ungkap Angga.
Selain mimbar bebas, ada penampilan tari dan musik dari warga Dago Elos. Anak-anak Dago Elos yang berpakaian seragam kaos hitam bertuliskan "Dago Elos Never Lose" dengan gambar pria bertopeng dan tulisan "Sabubukna" menguasai panggung. Opet, salah seorang anggota aliansi bermain gitar. Mereka bernyanyi bersama. Di pertengahan lagu, dengan diiringi petikan gitar Opet, beberapa anak membaca puisi dari kertas kecil.
Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Dago Elos.