Dampak Negatif Akun Medsos Pemkot Bandung Mendengungkan Survei Kecantikan yang tidak Ada Hubungannya dengan Pelayanan Publik
Instagram Humas Pemkot Bandung mengamini survei kecantikan fisik seseorang. Berlawanan dengan semangat kesetaraan gender yang mendobrak standar kecantikan fisik.
Penulis Awla Rajul9 Januari 2024
BandungBergerak.id - Akhir Desember 2023 lalu, sebuah media yang berfokus menyajikan informasi dengan pendekatan data dan angka Goodstas merilis survei kecantikan fisik berjudul “Suku/Wilayah dengan Perempuan dan Laki-laki Paling Cakep di Indonesia”. Perempuan dan laki-laki dari suku Sunda berada di peringkat pertama sebagai yang “paling cakep”. Pegiat gender mengkritik survei ini karena dianggap tak penting dengan parameter tak berdasar. Cantik sendiri tak memiliki standar ilmiah.
Survei tentang perempuan dan laki-laki tercakep di Indonesia ini kemudian juga diamini oleh akun media sosial pemerintah. Humas Kota Bandung, misalnya, sekitar Kamis, 4 Januari 2024 menayangkan survei ini di Instagram resmi mereka. Mantan Wali Kota Bandung dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil tak ketinggalan ikut menayangkan survei ini di akun Instagram pribadinya, Senin 1 Januari 2024.
“Bagi saya teteh-teteh Sunda No Counter, logatnya alus dan meliuk- kebanyakan, kulitnya putih-putih, dan aga-aga manja gimana gitu. Jadi bikin pengin bawa pulang, deh,” Iskandar, 33 tahun, demikian salah satu pendapat responden Forum Group Discussion (FGD) survei kecantikan Goodstas yang kemudian turut dibagikan di Instagram Humas Pemkot Bandung.
Di era media sosial ini instansi pemerintah memang banyak yang memanfaatkan keberadaan media sosial untuk terhubung dengan masyarakat yang dilayani. Andhini Hastrida dari Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia menyatakan, media sosial menawarkan kepada pemerintah potensi untuk meningkatkan partisipasi demokrasi dengan mendorong publik untuk memiliki suara dalam pembuatan kebijakan, bekerja dengan publik untuk meningkatkan layanan, mengumpulkan ide, dan meningkatkan transparansi.
Andhini menggarisbawahi bahwa media sosial pemerintah memang seharunya menginformasikan layanan publik. “Dengan memanfaatkan media sosial, pemerintah dapat memberi informasi kepada masyarakat dan mempromosikan layanan publik, juga dapat memberdayakan masyarakat biasa dalam berbagi rancangan untuk ide layanan mandiri di masa depan,” terang Andhini Hastrida, diakses dari jurnal “Proses Pengelolaan Media Sosial Pemerintah: Manfaat dan Risiko”, Selasa, 9 Januari 2024.
Jika mengacu pada jurnal tersebut, maka media sosial sejatinya hanya dipakai pemerintah untuk mengunggah konten-konten yang tak berkaitan dengan pelayanan publik. Apakah konten survei kecantikan berkaitan dengan layanan publik?
Di sisi lain, substansi survei kecantikan yang diunggah di akun media sosial Pemkot Bandung mendapat kritik dari Perwakilan Bilik Pengaduan Women Studies Center (WSC) UIN SGD Bandung Matahari Yonagie (22) yang menyebutkan survei tersebut tidak ilmiah. Kecantikan bukan sesuatu yang ilmiah yang bisa dihitung oleh data atau angka. Sebaliknya jika dilihat dari kacamata feminisme interseksionalitas, survei ini bisa menyebabkan ketertindasan pada suatu ras maupun suku.
“Tidak hanya melihat itu sebagai sosok perempuan, tapi ada ras, suku, apa pun yang melekat di diri dia gitu. Jadi kan terstigma kepada kebanggaan atau keprimordialan pada suku masing-masing. Ketika kebanggaan itu jadi berlebihan, mungkin akan jadi kekuatan untuk menindas yang lain,” ungkapnya kepada BandungBergerak.id saat ditemui di Dago Elos usai Festival Keadilan, Sabtu, 6 Januari 2024.
Matahari survei tersebut perlu dianalisa secara seksama, tidak bisa ditelan mentah-mentah begitu saja. Akun pemerintahan maupun pejabat publik perlu kritis terhadap suatu informasi karena mereka menjadi rujukan publik atau audiens. Akan tetapi dengan mengunggah hasil survei mereka justru telah melakukan validasi sesuatu yang salah, mengamini persoalan kecantikan yang tak bisa diukur dengan standar baku.
Perwakilan WSC UIN SGD Bandung lainnya, Puspita Sari (19 tahun) menilai dalam survei tersebut perempuan tampak menjadi objek. Walaupun dalam survei juga mengakomodir ketampanan laki-laki, tetapi kecantikan perempuan tampak digarisbawahi.
“Yang jadi pertanyaanku pas pertama kali (melihat survei), ini ada indikatornya? Indikatornya apa? Emang ada indikator yang pasti gitu, cantik itu begini. Perempuan menjadi objek,” kata Puspita Sari.
View this post on Instagram
Tidak Ada Standar Kecantikan
Divisi Internal bagian Riset dan Data Great Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Nazmi Kusumawantari (23) pun menyayangkan akun Instagram pemerintahan menayangkan hasil survei kecantikan ini. Meski menurutnya ada hal yang dapat “dimengerti” dari postingan akun pemerintah itu, seperti rasa bangga karena merupakan bagian suatu komunitas tertentu, sehingga ikut euforia dalam menyebarkan informasinya.
“Cuma dari situ dampak buruknya menurut aku kayak kan mungkin perempuan Sunda kebanyakan putih, terus langsing dan semacamnya. Itu tu bisa memicu standar kecantikan yang gitu-gitu aja. Jadi yang dianggap cantik itu yang putih. Jadi itu sih, melanggengkan standar kecantikan yang sebenarnya gak harus ada standarnya juga,” terang Nazmi saat dihubungi BandungBergerak.id, Senin, 8 Januari 2024.
Dengan kata lain, kata Nazmi survei tersebut tidak penting. Persoalan cantik dan ganteng adalah hal yang relatif. Bahkan survei tentang cantik dan cakep ini malah cenderung memiliki lebih banyak negatifnya.
Nasmi mengatakan, dampak dari survei bisa memecah-belah, memunculkan candaan seksis, melanggengkan suatu labeling atau stigma. Sebagai contoh, survei tersebut menyematkan atribut cantik pada perempuan Sunda. Atribut ini kemudian berkembang bahwa perempuan cantik identik dengan gemar berdandang atau bahkan matre.
“Jadi menurutku selain memunculkan candaan seksis, ini juga melanggengkan labeling terhadap suku-suku tertentu. Kayak ya contohnya itu tadi, cewek Sunda disebut matre dan suka dandan, padahal itu dipengaruhi sama zaman dahulunya lingkungan Bandung kayak itu (perkembangan fesyen),” lanjut Nazmi.
Mendobrak Definisi Cantik dan Standarnya
Cantik ataupun ganteng memang tak ada standar baku atau indikator tertentu yang bisa ditentukan. Setiap zaman, bahkan setiap orang memiliki definisi cantik dan ganteng masing-masing yang terkonstruksi dari banyak penyebab, persoalan, agenda, dan latar belakang tertentu.
Jika mengacu pada teori feminism queer, Matahari Yonagie justru mempertanyakan hal paling dasar dari definisi perempuan dan laki-laki. “Perempuan itu apa, laki-laki itu apa, dan cantik itu bisa disematkan kepada siapa? Begitu pun ganteng,” kata Matahari.
Menurutnya definisi cantik adalah subjek yang bisa memutuskan dan menentukan haknya tanpa mau ditindas oleh orang lain. Puspitas Puspa sependapat dengan Matahari, bahwa kata cantik sepantasnya tak hanya terkungkung sebagai kata sifat, tapi juga bisa diartikan sebagai kata kerja.
“Misal perempuan memilih untuk memutuskan sesuatu dengan merdeka, itu cantik, gitu. Luas banget (definisi cantik),” tandas Puspa.
Nazmi pun memiliki definisi cantik sendiri. Baginya, cantik merupakan kemampuan seseorang yang bisa menerima diri sendiri apa adanya. Nazmi menegaskan, setiap orang memiliki definisi cantiknya sendiri. Sayangnya, definisi cantik kadang terkonstruksi oleh lingkungan sosial yang kemudian diamini media.
Contohnya, kata Nasmi iklan lotion sering menampilkan perempuan berkulit putih. Hal ini menyebabkan banyak orang yang akan terinternalisasi dan memunculkan standar bahwa perempuan cantik seperti yang ada di iklan tersebut. Sayangnya, persoalan standar kecantikan ini telah mendunia. Standar kecantikan seperti ini justru harus didobrak.
Kabar baiknya, kata Nazmi, belakangan sudah mulai banyak upaya mendobrak standar kecantikan, contohnya menyerukan bahwa cantik tidak harus putih. Beberapa merek produk kecantikan kemudian mengganti khasiat produk mereka dari white menjadi glow atau semacamnya.
Contoh lainnya, mulai banyak brand-brand make up dan skincare lokal maupun luar negeri yang mengeluarkan shade foundation (bedak) dari warna yang paling cerah hingga warna gelap.
“Itu tu kayak inklusivitas gitu, semua orang bisa masuk, semua orang bisa menggunakan produk ini dari berbagai kulit warna. Terus dengan menggunakan model-model yang warna kulit dan bentuk tubuh yang beragam itu juga bisa berusaha merubah kalau semua perempuan itu cantik, gak peduli warna kulitnya dan rasnya,” terang Nazmi.
Baca Juga: Sayangnya, Bentuk-bentuk Bias Gender Sudah Ditanamkan sejak Sekolah Dasar
Menimbang Penghargaan Bidang Gender di Tengah Lonjakan Kasus Kekerasan pada Perempuan selama Pagebluk
Mengganti Budaya Patriarki dengan Kesetaraan Gender, Dimulai dari Keluarga dan Sekolah
Hasil Survei Goodstas
Isu kecantikan fisik yang diunggah akun media sosial Pemkot Bandung dan dikutip oleh banyak media berawal dari survei kecantikan yang dilakukan Goodstas, media di bawah naungan Good News From Indonesia. Media ini menerbitkan survei perempuan cantik dan laki-laki ganteng pada 30 Desember lalu.
Pada survei “Suku/wilayah dengan Cewek-cewek Paling Cantik di Indonesia” disebutkan berdasarkan peringkat, Sunda sebesar 77 persen, Chindo 65 persen, Manado 45 persen, Dayak 24 persen, Aceh 22 persen, Bali 15 persen, Jawa 13 persen, Lainnya 23 persen.
Sedangkan pada survei “Suku/wilayah dengan Cowok-cowok Paling Ganteng” disebutkan berdasarkan peringkat, Sunda 56 persen, Jawa 53 persen, Minang 40 persen. Chindo 31 persen, Ambon 30 persen, Melayu 22 persen, Batak 15 persen, Manado 13 persen, Aceh 12 persen, Lainnya 25 persen.
Survei ini dilaksanakan pada 23-27 Desember 2023 dengan jumlah responden sebanyak 978 responden. Para responden berasal dari 38 provinsi di Indonesia, 55 persen dari responden berdomisili di Pulau Jawa. Survei dilakukan dengan metodologi survei online dengan panel responden GoodStats.
Forum Group Discussion (FGD) dilakukan untuk memperkuat data dan analisa hasil survei. Adapun setiap responden memilih maksimal tiga jawaban, atau dengan metode multiple answer. Lainnya merupakan suku-suku yang lain di Indonesia, termasuk di antaranya blasteran. Adapun Chindo adalah sebutan populer salah satu ras/suku/kelompok etnis di Indonesia.
“Nah, daripada hanya sekadar berasumsi, mari kita coba buktikan lewat survei. Sekaligus kita sajikan juga pernyataan dari perwakilan responden dalam Forum Group Discussion (FGD). Tapi balik lagi, cakep itu relatif, tiap orang memiliki standar yang berbeda. Satu lagi, No Hard Feeling, Yes!,” mengutip keterangan dari laman goodstats.id.
Selain kutipan responden di atas, Goodstas juga menyajikan komentar-komentar peserta FGD lainnya, sebagai berikut:
“Menurut gw Chindo ga ada obat sih, mukanya khas pada bening-being. Makanya gw betah bet kali nangkring di PIK, Pakuwon Mal, dan lewat kampus-kampus swasta borjuis. Cuma aga sulit digapai aja,” Dimas 29 tahun.
“Gw pernah tinggal di beberapa kota besar, soal ganteng-cowok Sunda no damage. Coba lu perhatiin aja, banyakan cakep-cakep, outfitnya juga ga pernah gagal,” Cintya 29 tahun.
“Menurut gw mas-mas Jawa juaranya. Selain manis, mereka tuh pinter banget ngetreat dan keliatannya pada pekerja keras, itu yang bikin kegantengan mereka naik berkali-kali lipat,” Salma, 25 tahun.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang isu Survei Kecantikan