• Buku
  • RESENSI BUKU: Menjala Cinta dari Tiga Tokoh Fiksi

RESENSI BUKU: Menjala Cinta dari Tiga Tokoh Fiksi

George Orwell, Eka Kurniawan, dan Muhidin Dahlan menyampaikan ide mereka tentang cinta laki-laki pada perempuan. Kebanyak tokoh tak berdaya kehilangan kekasih.

Buku Burmese Days karya George Orwell, Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan, dan bawah Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta karya Muhidin Dahlan. (Foto: Ryan Zulkarnaen/Penulis)

Penulis Ryan Zulkarnaen14 Januari 2024


BandungBergerak.id - Orang-orang dan buku mengatakan, seorang lelaki patah hati penawarnya ialah wanita itu sendiri. Sedalam itu keberadaan wanita bagi kehidupan dunia lelaki yang menggantungkan alasan hidup bertumpu pada perempuan. Lihat saja, ketika seorang lelaki ditinggal kekasih, bagaimana kalut dan badai kekacauan merubungi dirinya. Tak ada yang lain. Terkulai, tertatih-tatih menanggung beban kenyataan hidup. Tak berdaya dan lenyap ditelan cinta. Sebab, tidak semua orang bisa berdamai dengan dirinya.

Hubungan antara dua anak manusia itu petanda kehidupan sebagaimana terlihat dalam kerinduan Nabi Adam dan Hawa selepas terusir dari Taman Firdaus. Puluhan tahun lamanya mereka berpisah sampai akhirnya bertemu di bukit kasih sayang.

Kisah pasangan pertama dunia saja didesain saling merindu sesama manusia. Memang, cinta bukan angka-angka, orang bebas mengartikan sesuai latar historis, sosial, dan intensitasnya.

Manusia kadang naif, apabila menganggap kekuasaan, kesejahteraan, martabat, manusia mati-matian memperjuangkannya. Cinta pun dapat bermata dua. Orang-orang rela berjuang, bahkan saling membunuh atas nama cinta. Sejarah mencatat, bagaimana Qabil membunuh saudara kandungnya Habil, karena tidak patuh, dan pengorbanannya tidak diterima Maha Kuasa. Jangan tanya, anak manusia lahir jauh berabad setelahnya, membabi buta demi mempertahankan mahligai cintanya. Apa pun itu, semua atas nama cinta.

Dalam konteks fiksi, kita saksikan bagaimana tiga tokoh lelaki mengalami momen kehilangan sang kekasih, yang paling berharga, paling menyakitkan. Pertama, John Flory dalam Burmese Days karya George Orwell. Dia ditinggalkan kekasihnya, Elizabeth, karena perempuan itu lebih tertarik kepada Verral, seorang militer kolonial Inggris, berpostur tinggi, suka berkuda, dan kaya raya. Segala harapan Flory berujung kandas.

Kedua, Mama Gendeng dalam “Cantik itu Luka” karya Eka Kurniawan. Cinta pertama Mama Gendeng kepada Mama Iyang lenyap tatkala orang tua Mama Iyang diancam menyerahkan anaknya dikawin lelaki Belanda. Mama Gendeng bertindak irasional, geger orang sekampung.

Mama Iyang berjanji enam belas tahun akan kembali. Sayang, enam belas tahun berlalu, orang Belanda tidak melepaskan Mama Iyang. Ajakan Mama Gendeng membangun rumah tangga itu mustahil. Mama Iyang mengambil jalan lain, ia melompat ke bawah tebing. Kelak warga Halimunda menyebutnya bukit Ma Iyang.

Ketiga, Aku dalam “Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta” karya Muhidin Dahlan. Si tokoh Aku mengekspresikan cinta kepada perempuan sekampus melalui buletin. Pertama, dia menulis empat halaman, satu artikel, dan beberapa iklan. Kedua, dia menulis buletin berisi dua artikel. Kedua buletin itu terlampau berat dicerna orang. Dia nekad bertandang ke rumah wanita.

Ketiga, dia menulis buletin berupa khotbah yang berat dan gelap. Tidak ada yang tahu apa nasib waktu. Dia menyaksikan seorang pujaannya tengah bersama lelaki lain di sebuah kamar. Sejak kesaksian itu, dia mengakhiri babak cinta kepada wanita karena tidak berani mengungkapkan perasaannya.

Yang Mengutuk, Yang Memuja

Mendengar istilah lokalisasi, masyarakat dan ajaran agama akan mengatakan ladang maksiat. Belum semburan api cemburu para istri. Kyai-kyai Jawa Timur pernah menyinggung keberadaan prostitusi ’Gang Dolly’ Surabaya. Nihil! Melalui regulasi pemerintah, aktivitas Dolly resmi ditutup tahun 2014. Ironinya, pemerintah Orde Baru melakukan akrobatik bahasa, merubah diksi pelacur menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Sekalipun nomenklatur berhasil mengeluarkan bias gender, pada waktu yang sama istilah ‘pekerja’ tidak menyeratakan status mereka dengan pekerjaan profesi lainnya.

Di sisi lain, keberadaan perempuan malam sebagai alternatif aktivitas seksual, pelarian bagi lelaki patah hati. Mengingat kisah John Flory, Mama Gendeng, dan Aku, ketika ketiga tokoh tersebut mengalami kehilangan kekasih dan wanita yang akan dicintainya mereka ditawari seorang wanita dan lokalisasi. Seolah tak ada jalan lain wanita hadir sebatas pemuas birahi setiap lelaki. Sudah di ujung gigir, dieksploitasi sudah.

Apa yang mereka dapatkan setelah bercinta? Bukankah cinta sejati tak terbagi. Apa yang bisa diharapkan dari seorang perempuan malam? Satu malam, mereka dapat bercinta dengan lebih dari satu lelaki. Mereka tidak bekerja dengan cinta melainkan imbalan uang. Bayangkan, ketika judi, alkohol, dan buku tidak berdaya sebagai media penyucian diri dari bala bahaya. Tak peduli rupa, perangai, dan hati wanita. Lelaki patah hati membutuhkan keberadaan wanita untuk meredam kecamuk dan gemuruh dalam sisa hidupnya.

Apa pun pelabelan orang terhadap perempuan malam. Mereka itu manusia dan perempuan. Biar mereka nista secara sosial dan agama, lelaki memerlukan tubuh perempuan? Tak sedikit perempuan malam dilamar menjadi istri dari pelanggannya. Laiknya cerita kawan ihwal suara hati perempuan malam, “biar tubuh saya dinikmati banyak lelaki, tapi bibir manisku, hanya untuk orang tercinta”. Fakta-fakta ini membuat lelaki berkeyakinan bahwa ada cinta dalam palung hati perempuan malam.

Menurut Ester Pandiangan dalam Sebab Kita Semua Gila Seks (2021), terdapat ragam tujuan aktivitas seksual: kesenangan, kepuasan, balas dendam, iseng, pelampiasan, ekonomi, stres, mengikat pasangan, rasa kasihan, mencari cinta, dan olah raga. Tapi jangan harap lelaki bercinta dengan perempuan malam untuk memproduksi anak biologisnya. Maman Gendeng, Flory, dan  Aku pergi ke lokalisasi untuk menumbuhkan gairah terhadap wanita yang telah merobek hatinya. Bagaimanapun, dalam diri wanita terdapat kehangatan, kelembutan, dan keindahan.

Baca Juga: George Orwell, Eka Kurniawan, dan Muhidin Dahlan menyampaikan ide mereka tentang cinta laki-laki pada perempuan. Kebanyak tokoh tak berdaya kehilangan kekasih.
RESENSI BUKU: Membilas Duka dengan Mencuci Piring
RESENSI BUKU: Membaca Buku Sejarah Dunia Seasyik Mendengarkan Dongeng Hebat

Yang Merangkak di Titian Cinta

Cinta adalah sumber segala-galanya. Manusia dianugerahi energi besar itu. Tinggal bagaimana manusia mengolah dan mengaktivasi agar saling terhubung satu sama lain. Dalam konteks manusia, cinta merupakan suatu interaksi dua lawan jenis yang bertolak pada ketertarikan hingga menumbuhkan kepedulian dan rasa aman. Sama halnya dengan kisah cinta tokoh-tokoh dalam karya fiksi setelah mereka melewati fase kalut.

Dunia terlalu kecil bagi seorang lelaki patah hati. Hari-hari begitu suram, waktu-waktu berotasi kilat mempesiang maut. Meski John Flory tak berdaya melawan beban kecamuk pikiran—gemuruh perasaan tak menentu, dia menembakkan pistol ke arah kepalanya. Terkecuali Maman Gendeng dan Aku merawat kemelut asmara yang merupa letupan-letupan sebagai energi kehidupan yang layak diperjuangkan, sekaligus meludahi pakaian kekalahan—lencana pecundang dalam dirinya.

Perubahan berlaku bagi orang yang bergerak. Tokoh Aku mulai disibukkan kembali dengan dunia literasi yang tak bisa berpaling dari Yogyakarta. Menyunting naskah di sebuah penerbit dan kerja-kerja kreatif lainnya. Tak menyana aktivitas itu melupakan cinta kepada seorang wanita. Dia menempuh jalur kesunyian, menjadi penulis yang hidup dari kerja menulis hingga dia mengeluarkan empat manifes: ‘’terus membaca, terus menulis, terus bekerja, dan bersiap hidup miskin’’. Setidaknya dengan mengimani dan mengamalkan empat manifes, manusia tidak segera bertindak bunuh diri dan mengutuk Maha Kuasa.

Sejak kepergian Mama Iyang, Maman Gendeng memertahankan komitmen cinta sejatinya. Sayang, di usia senja Mama Gendeng dipaksa menikahi seorang wanita muda, terpaut antara kakek dan cucu. Puncak ketakutan Mama Gendeng membuncah pada malam pertama perkawinan. Dia berselisih dengan Dewi Ayu hingga kabur menuju bukit Ma Iyang. Mama Gendeng mengikuti cara Ma Iyang kabur dari kawin paksa. Kelak, orang menyebutnya monumen cinta.

Berkaca pada apa yang dialami ketiga tokoh fiksi tersebut, ketiga penulisnya menyampaikan pesan bahwa sejauh mana manusia tersungkur pada titik nadir, selama matahari masih terbit di ufuk timur, keberuntungan hidup akan berpihak kepada setiap anak manusia berjuang di titian cinta. Meskipun berdarah-darah dan menjelma dalam piranti sosial budaya.

Informasi Buku  

Judul: Hari-Hari di Burma

Penulis: George Orwell

Penerbit: Diva Press

Cetakan: 2019

Halaman: 482

ISBN: 9796023916689

 

Judul: Cantik itu Luka

Penulis: Eka Kurniawan

Penerbit: Gramedia

Cetakan: 2012

Halaman: 481

ISBN: 9789792278804

 

Judul: Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta

Penulis: Muhidin Dahlan

Penerbit: Scrift Permanent

Cetakan: 2016

Hal: 382

ISBN: 9799956131

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Ryan Zulkarnaen atau tentang Resensi Buku

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//