• Opini
  • Pakaian, Kambing Hitam Pelecehan Seksual

Pakaian, Kambing Hitam Pelecehan Seksual

Kecanduan pornografi membuat pecandunya memiliki potensi lebih besar untuk melakukan pelecehan seksual.

Clairine Abraham

Penyuka Menulis dan Membaca

Sejumlah aktivis memperingati International Women's Day di Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Masa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Perempuan menyatakan sejumlah tuntutan, salah satunya penegakan hukum atas tindakan kekerasan seksual. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

10 Januari 2024


BandungBergerak.id – Pelecehan seksual merupakan permasalahan umum yang sering menimpa korban wanita. Sebanyak 13.162 kasus kekerasan seksual pada perempuan telah dilaporkan sepanjang tahun 2023 (Damarjati, 2023).

Namun mirisnya, pakaian dari pihak korban justru yang sering kali disalahkan. Padahal menurut data, pakaian wanita yang paling banyak mendapat pelecehan adalah rok panjang dan celana panjang sebanyak 17,47 persen (Jessica, 2023). Data menunjukkan bahwa pakaian yang tertutup tetap menjadi sasaran pelecehan seksual. Bahkan, santri yang merupakan seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren turut menjadi korban. Santri yang berpakaian tertutup yang turut mengalami pelecehan seksual menjadi bukti penyebab utama pemerkosaan adalah nafsu buruk lelaki.

Pada dasarnya setiap orang memiliki nafsu yang mendasarinya dalam melakukan suatu tindakan baik hal positif maupun negatif. Nafsu tersebut harus dapat dikendalikan agar mengarah pada hal yang positif. Namun, pornografi membuat pecandunya kesulitan mengendalikan nafsunya sehingga gairah seksualnya meningkat.

Saat seseorang mulai menonton film porno, maka akan timbul rasa kecanduan/addict yang membuatnya sulit berhenti dan selalu ada keinginan untuk menonton lagi dan lagi. Saat seseorang yang sudah kecanduan ingin berhenti, rasanya akan sangat sulit karena akan timbulnya rasa gelisah jika ia tidak menonton film tersebut. Film porno benar-benar menimbulkan banyak sekali dampak negatif bagi kehidupan bermasyarakat. 

Baca Juga: Peran Masyarakat dalam Mencegah Pelecehan Seksual terhadap Perempuan
Melontarkan Ucapan Berbau Seksual di Muka Umum adalah Bentuk Kekerasan Seksual
UPI Sudah Berani Membuka Data Kasus Kekerasan Seksual, Kampus-kampus Lain Kapan?

Kecanduan Pornografi

Kecanduan pornografi membuat pecandunya memiliki potensi lebih besar untuk melakukan pelecehan seksual. Menurut dr. Denny, H (2023) “pecandu pornografi membutuhkan rangsangan yang lebih besar sehingga mereka cenderung mengakses jenis-jenis pornografi yang lebih ekstrem dan melakukan perilaku berisiko untuk mendapatkan sensasi yang lebih kuat melalui ketakutan korban”. Kecanduan pornografi merupakan masalah serius yang harus segera ditangani.

Mayoritas orang menganggap menonton film porno merupakan hal yang normal terutama bagi laki-laki karena laki-laki memang dianggap memiliki nafsu yang harus disalurkan. Normalisasi terhadap film porno ini tentu memiliki dampak yang sangat buruk bagi masa depan bangsa.

Mungkin beberapa orang untuk saat ini hanya menonton saja dan tidak merugikan orang lain. Namun jika dibiarkan, dari yang menonton sesekali, menjadi kecanduan. Saat sudah kecanduan, orang tersebut membutuhkan "hal" yang lebih lagi untuk memuaskan dirinya. Hal itu tentu bisa ia salurkan dengan benar-benar melecehkan perempuan di dunia nyata. Dari yang sebelumnya hanya berfantasi dan menonton film porno, menjadi pelaku kejahatan seksual di dunia nyata. Tentu saja hal ini dapat terjadi karena adanya normalisasi dan menganggap remeh anak yang mulai menonton film porno.

Kecanduan pornografi tidak memandang usia, gender, bahkan jabatan seseorang. Seorang guru agama di salah satu pondok pesantren di Batam nekat mencabuli santrinya karena tidak dapat menahan nafsu akibat kecanduan film porno (Realita.co, 2023). Guru agama yang memiliki kedudukan lebih tinggi dan merupakan sosok yang harus dihormati membuat para santri tidak memiliki kuasa untuk menolak keinginan bejat pelaku. Ia memanfaatkan kedudukannya untuk menekan para santri baik secara fisik maupun psikis. Santri yang merasa tidak berdaya karena ia merasa sendirian dan banyaknya ancaman membuatnya tidak bisa melakukan perlawanan. Bahkan dengan tidak tahu malunya, guru agama tersebut menjanjikan bahwa para santri akan masuk surga jika menuruti keinginan pelaku. Sungguh ironis, guru agama yang seharusnya menjadi contoh dan mengajarkan hal yang baik dan benar bagi muridnya justru memperlihatkan perlakuan tidak senonoh yang bahkan dilakukannya di tempat pendidikan Islam, yaitu pesantren.

Pesantren menjadi urutan ke-2 lingkungan pendidikan dengan kasus kekerasan seksual dari tahun 2015-2020 (Meiliana, 2021).  Pesantren yang didominasi oleh para wanita dengan pakaian tertutup menjadi bukti nyata bukan pakaian yang menjadi penyebab, namun nafsu buruk pelaku . Mayoritas pesantren  menyediakan pendidikan 6 tahun atau 3 tahun untuk SMP dan 3 tahun untuk SMA. Di waktu yang panjang tersebut, santri menghabiskan waktu yang lama di luar pengawasan orang tua dan dituntut untuk hidup mandiri. Para orang tua mempercayakan anak mereka karena berpikir anak mereka berada di lingkungan yang aman dan menggunakan pakaian yang sopan dan tertutup sehingga tidak “memancing” nafsu lelaki.  Bahkan para santri tentu menggunakan hijab yang menutup rambut mereka. Para santri dikenal sangat menjaga dirinya terutama dengan para lawan jenis, untuk sekedar menyentuh tangan saja ada peraturannya. Sungguh ironis,  pada kenyataannya, di pesantren pun nafsu buruk tetap ada tanpa memandang pakaian yang dikenakan. Hal tidak senonoh itu justru dilakukan oleh orang yang bisa dibilang sebagai ahli agama.  Rendahnya pengawasan dan tingginya tingkat kepercayaan  kepada pesantren menjadi salah satu penyebab nafsu buruk pelaku dapat terlaksana .

Dengan demikian, pemerkosaan merupakan salah satu kejahatan yang dapat menimpa setiap orang yang tidak berdasarkan pada pakaian maupun tempat. Setiap orang harus mengetahui pokok permasalahan yang harus diatasi agar permasalahan ini dapat terselesaikan.

Pikiran kotor dan nafsu buruk laki-laki merupakan hal yang sepantasnya disalahkan. Selama ini, mayoritas orang fokus menyalahkan pihak perempuan dan berpendapat bahwa perempuanlah yang “memancing” laki-laki dengan pakaiannya. Laki-laki seakan seperti makhluk yang tidak pernah salah walaupun sudah melecehkan perempuan. Padahal, setiap perempuan memiliki hak untuk memilih pakaiannya sendiri. Mereka berhak menggunakan pakaian yang mereka gemari. Impian perempuan tidaklah susah, mereka hanya ingin bebas berpakaian tanpa dipandang sebagai "penggoda".

Kesenangan berpakaian sebenarnya untuk diri sendiri, bukan untuk digoda terutama oleh lawan jenis. Mulailah mengubah mindset dari “jagalah anak perempuanmu” menjadi “didiklah anak laki-lakimu” karena pada dasarnya, tidak ada perempuan yang mau dilecehkan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//