• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Legalitas Kepemilikan Tanah Menurut Undang-undang Pokok Agraria

MAHASISWA BERSUARA: Legalitas Kepemilikan Tanah Menurut Undang-undang Pokok Agraria

Hukum Agraria mengatur tanah dari aspek yuridis yang berkaitan langsung dengan hak atas tanah.

Daniel Valentino Rajagukguk

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Petani membawa hasil bumi dan produk pertanian saat unjuk rasa Rakyat Tani Nyaba ka Menak di Bandung, Senin (26/9/2022). Konflik agraria terus terjadi, perhutanan sosial sebagai salah satu solusi pemberdayaan petani penggarap di Jawa Barat. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

10 Januari 2024


BandungBergerak.id – Perkembangan pembangunan di berbagai daerah di Indonesia telah menjadikan tanah sebagai suatu komoditas yang strategis serta bernilai sangat penting untuk masyarakat. Selain strategis dan penting, tanah juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi di Indonesia karena masyarakat Indonesia secara sosial dan budaya masih memiliki corak agraris. Luas tanah yang relatif tetap harus mampu menampung seluruh aktivitas penduduk baik itu residensial, komersial, dan industri dengan laju pertumbuhan yang relatif pesat sehingga dituntut adanya pola pemanfaatan tanah dengan cara yang sesuai, seimbang, dan adil bagi semua kepentingan tanpa terkecuali.

Banyak penyimpangan yang berkaitan dengan tanah disebabkan oleh banyaknya benturan yang terjadi di bidang pertanahan. Terlepas dari fakta bahwa kebutuhan akan tanah terus meningkat setiap tahun sebagai akibat dari pertumbuhan populasi, masih banyak tanah yang belum dimanfaatkan secara optimal, bahkan ada yang sama sekali tidak dimanfaatkan. Menurut data dari Kementerian ATR/BPN, 8.959 kasus sengketa tanah terjadi pada 2019. Sengketa antar masyarakat adalah yang paling umum, diikuti oleh sengketa antara badan hukum dan masyarakat (Sekretariat Kabinet, 2019).

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, selanjutnya disebut dengan singkatan resminya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), di mana dalam Pasal 2 mengenai Hak Menguasai Negara atas Tanah telah diuraikan bahwa kewenangan-kewenangan dari negara tersebut berupa : (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; serta (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Negara memiliki otoritas untuk memberikan hak atas tanah, meskipun tidak secara eksplisit diatur. Proses pemberian hak atas tanah memerlukan analisis hukum selain aspek prosedur. Tidak cukup hanya melihat apakah pemohon memenuhi syarat, apakah permohonan telah diumumkan, diperiksa secara fisik, diukur, dibuat fatwa, atau hal-hal lain yang merupakan aspek prosedur,

Tanah dalam UU PA didefinisikan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi, tanah adalah salah satu objek yang diatur oleh Hukum Agraria. Tanah yang diatur di dalam Hukum Agraria itu bukanlah tanah dalam berbagai aspeknya. Akan tetapi tanah yang dilihat dari aspek yuridis yaitu yang berkaitan langsung dengan hak atas tanah yang merupakan bagian dari permukaan bumi yang dapat diberikan kepada dan dapat dipunyai oleh orang-orang-orang, baik itu sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain maupun badan hukum.

Walaupun tanah menjadi objek Hukum Agraria, negara juga mengakui hukum adat atas tanah sepanjang itu tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara karena selain menjadi komoditas strategis karena memiliki nilai yang tinggi tanah juga memiliki fungsi sosial, maka dari itu demi kepentingan umum kepemilikan dan penguasaan tanah tidak bisa melampaui dari batas yang diperkenankan. Selain itu, kepemilikan tanah secara sepenuhnya hanya dapat dimiliki oleh warganegara Indonesia.

Baca Juga: Warga Dago Elos Merebut Kemerdekaan di Tanah Sendiri
Refleksi Hari Tani: Hak Atas Tanah Pakel
Gugus Tugas Reforma Agraria Jawa Barat untuk Siapa?

Hak atas Tanah

Hak-hak atas tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria (UU PA) adalah (a) hak milik; (b) hak guna-usaha; (c) hak guna-bangunan; serta (d) hak pakai.

Hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh adalah hak milik karena bisa dimiliki turun temurun, demi melindungi kepentingan bangsa Indonesia hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik selain itu badan-badan hukum juga dapat memiliki hak milik. Untuk kepentingan umum serta kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti rugi yang layak dan menurut cara yang diatur oleh undang-undang.

Selain hak milik, ada pula hak guna-usaha yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang langsung dikuasai oleh negara dan dalam jangka waktu tertentu sebagaimana diatur oleh undang-undang, hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar dan dengan ketentuan jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak. Sama seperti hak guna-usaha tersebut dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, ada perbedaan jangka waktu antara hak milik dan hak guna-usaha. Untuk hak guna-usaha diberikan jangka waktu paling lama 25 tahun dan paling lama 35 tahun sesuai keadaan dari pemegang hak guna-usaha. Jika hak milik hanya bisa dimiliki oleh perseorangan yang dapat memiliki hak guna-usaha adalah warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Selanjutnya ada, hak guna bangunan yang merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama yaitu 30 tahun, atas permintaan hak dengan mengingat keperluan dari pemilik hak maka hak guna bangunan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun, hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak guna bangunan dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan di Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Ada pula hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang, hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Hak pakai dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia serta badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Sepanjang tanah itu dikuasai oleh negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.

Jadi walaupun dalam UU PA mengakomodasi hak-hak minoritas seperti hukum adat untuk tanah serta mempertimbangkan kepentingan nasional dalam menerbitkan dan mencabut hak kepemilikan tanah, masih banyak hak atas tanah yang tumpang tindih ini karena banyaknya tanah yang dahulunya dimiliki oleh warga negara Belanda dengan bentuk kepemilikan (eigendom verponding), padahal menurut undang-undang hak milik atas tanah itu wajib dilepaskan dan jika kepemilikan hak atas tanah itu dilepaskan maka hak kepemilikan tanah itu hapus karena hukum dan tanah itu jatuh kepada negara.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//