Warga Dago Elos Merebut Kemerdekaan di Tanah Sendiri
Ditunggu peran aktif Pemkot Bandung untuk turun melindungi warga Dago Elos sebagaimana dulu Pemkot Bandung aktif mempertahankan persoalan ahli waris lahan Gasibu.
Penulis Reza Khoerul Iman16 Agustus 2022
BandungBergerak.id – Sudah lima kali peringatan kemerdekaan Republik Indonesia dilalui oleh warga Dago Elos sejak terjadinya sengketa lahan yang dimulai awal Desember 2016. Namun selama itu pula warga masih belum mendapatkan kemerdekaan atas apa yang seharusnya menjadi hak mereka.
Pada tahun 2016 itu, warga Dago Elos digugat oleh PT. Dago Inti Graha dan tiga orang yang mengaku sebagai ahli waris atas tanah seluas 6,3 hektare yang ditempati warga berpuluh tahun lalu.
Kehidupan warga Dago Elos pun terus diselimuti oleh pikiran-pikiran yang membuat makan dan tidur mereka menjadi tidak nyaman. Gosip-gosip tentang penggusuran bulan depan atau enam bulan ke depan ramai diperbincangkan. Bahkan ada seorang ibu yang sudah pasrah apabila kendaraan excavator sudah berada di hadapan kedua bola matanya sendiri.
Meski hingga saat ini warga Dago Elos belum mendapatkan kemerdekaan sepenuhnya, seluruh warga Dago Elos dengan tegas menyatakan bahwa mereka akan mempertahankan tanah kelahirannya sampai sabubukna. Selain itu mereka akan terus memperkuat pertahanan dengan menjalin persatuan dengan seluruh warga Dago Elos dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga bantuan hukum di Kota Bandung.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh forum Dago Melawan yaitu menggelar diskusi terkait skema pencaplokan tanah rakyat melalui hak tanah barat. Hak tanah barat adalah hukum barat peninggalan kolonial Belanda (eigendom verponding) tentang hak penguasaan dan penggunaan terhadap tanah.
Diskusi tersebut diisi oleh Astro dari Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI) Jawa Barat, Heri Pramono dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Syafiq dari Agrarian Resource Center, dan Bambang.
“Diskusi pada malam ini, kita akan membahas soal bagaimana pola perampasan tanah yang ada di Indonesia, khususnya Jawa Barat. Kebetulan juga kita di Elos ada pola perampasan tanah menggunakan hak barat,” ucap Wisnu Prima dari LBH Bandung, saat membuka acara diskusi, pada Senin, (8/16/2022) malam.
Diskusi dan upaya yang dilakukan oleh forum Dago Melawan bersama lembaga-lembaga bantuan hukum di Kota Bandung diakui oleh warga sangat membantu mereka dalam memahami istilah-istilah hukum yang rumit dipahami. Selain itu bantuan dari para lembaga bantuan hukum itu cukup membantu warga untuk tetap melawan dan mempertahankan tanahnya sendiri.
Warga Dago Elos sangat berterima kasih atas segala upaya bantuan yang digulirkan oleh para lembaga bantuan hukum sehingga membuat tidur dan makan mereka cukup nyaman kembali.
“Saya atas nama warga mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada lembaga yang sudah turun hari ini. Bapak-bapak yang udah membantu kita mencarikan pencerahan pada warga yang sedang stres. Saya akui dari tahun 2017, saat ini kita merasa lelah, Pak. Dibohonginlah, diiming-iminginlah, ditakut-takutin, kita stres di sini. Tanpa adanya LBH atau dari para aliansi, kita gak bisa ngapa-ngapain, Pak. Mungkin hanya bisa pasrah, ada beko di depan juga mungkin hanya bisa pasrah, kalau tidak ada LBH dan aliansi,” tutur salah seorang ibu pada saat diskusi.
Skema Pencaplokan Tanah Rakyat Melalui Hak Barat
“Hukum Belanda itu bersifat hukum penjajahan. Penjajahan dulu musuhnya rakyat, sehingga watak atau segala sesuatu yang menggunakan potensi hak barat itu gak ada yang memihak kepada rakyat,” tutur Heri, pada saat diskusi.
Praktek-praktek perampasan tanah rakyat yang menggunakan skema hak barat bukan hanya terjadi di Dago Elos, ada sejumlah tempat juga yang memiliki kasus-kasus perampasan tanah menggunakan eigendom verponding atau skema hak barat lainnya.
Wisnu Prima menyebut, sejak 2015 sampai 2022 terdapat delapan peristiwa penggusuran di Kota Bandung yang menggunakan skema hak Barat. Hal ini menjadi pertanyaan mengapa hak-hak Belanda pada zaman kolonial dihidupkan kembali yang mengakibatkan terjadinya penggusuran pada sejumlah tempat di Kota Bandung.
Padahal semenjak diterbitknya Undang-undang Pokok Agraria (UU PA), dijelaskan bahwa hak eigendom atau segala tanah-tanah yang sudah diakui oleh Belanda itu harus segera dikonversi. Negara juga sudah memberi waktu selama 20 tahun sejak diterbitkannya UU PA, dan apabila sudah melewati batas waktunya maka tanah hak eigendom menjadi kuasa negara.
“Sudah 77 tahun Indonesia merdeka, seharusnya yang namanya Eigendom Verponding itu sudah tidak dipraktikkan lagi. Tapi yang aneh itu di pengadilan, sudah berpuluh-puluh kali melewati Agustus tapi di pengadilan masih menggunakan bahan-bahannya yang Belanda. Ini menjadi pertanyaan, apa kita ini sudah merdeka atau belum?” kata Heri.
Baca Juga: Dago Elos Melawan: Nepi Sabubukna
Dago Elos dalam Angka, Warisan Kolonial Merongrong Warga
Terminal Dago Ada di Pusaran Sengketa Lahan Dago Elos, Kenapa Pemkot Bandung Selama Ini Diam?
Langkah Berikutnya
Permasalahan yang dihadapi oleh warga Dago Elos sudah menjadi kekisruhan yang berlarut. Mereka berbondong-bondong mempertanyakan langkah apa lagi yang mesti mereka lakukan untuk mempertahankan tanah yang sudah ditinggalinya semenjak mereka lahir. Salah satunya Iwan, warga yang menanyakan langkah hukum apa lagi yang mesti mereka lakukan.
Heri Pramono saat ini sedang mengupayakan hak-hak yang memang menguntungkan untuk warga. Sementara soal novum atau bukti baru, ia mengaku masih mencari-cari celah agar hal tersebut bisa menjadi counter, baik itu dengan cara PK di atas PK, gugat baru, atau dengan gugatan sebuah perlawanan.
“Sertifikat Hak Milik dapat menjadi bukti kuat, soalnya kami melihat secara formil gugatan yang dilakukan oleh Muller cs dan PT. Dago Inti Graha itu serampangan. Kita sudah menuangkan tersebut di beberapa tahun lalu yang di mana pihak-pihak sudah ada yang meninggal, pihaknya ada yang dobel, kemudian antara pihak dan kesesuaian lahan itu tidak sesuai,” ucap Heri.
Sementara Astro dari PBHI Jawa Barat mengungkapkan ada beberapa langkah yang mungkin dapat dilakukan oleh warga Dago Elos selain bertahan sampai sabubukna, misalnya dengan mendesak Mahkamah Agung, mendesak kepada BPN supaya tidak menerbitkan sertifikat, atau mendesak Pemerintah Kota Bandung untuk turut aktif melindungi warganya sebagaimana dulu Pemerintah Kota Bandung sangat aktif mempertahankan persoalan ahli waris lahan Gasibu.
“Saya gak tau kenapa Pemerintah Kota Bandung tidak aktif mempertahankan terminal yang menjadi asetnya. Ke mana saat banding pengadilan tinggi, ke mana saat di Mahkamah Agung, ke mana pemerintahnya saat di PK. Itu berarti pembiaran atau jangan-jangan ada main mata dengan yang menjadi lawannya. Nah, itulah yang seharusnya diprotes oleh warga Dago Elos, harus direwelin,” tutur Astro.
Dalam kondisi yang sekarang ini, Astro menyarankan selain bertahan sampai sabubukna, juga perlu dicari dasar hukum yang menguntungkan bagi warga Dago Elos. Di sisi lain, persatuan seluruh warga yang bekerja sama dengan lembaga-lembaga bantuan hukum perlu terus diperkuat.