Percik Api Haris Fatia untuk Bandung
Vonis Haris Fatia sebagai kemenangan kecil yang menjadi penyemangat bagi warga Dago Elos dan kaum yang dipinggirkan lainnya. Sebuah percik untuk dibesarkan.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah12 Januari 2024
BandungBergerak.id - Gawai milik Nada, pengiat HAM dari LBH Bandung, tak pernah sepi. Pesan masuk dan keluar sama ramainya. Sejak malam hari sebelum sidang vonis Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS 2020-2023) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru), Nada sibuk mengontak orang-orang prodemokrasi untuk memberi dukungan langsung ke Jakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Timur kemudian memvonis bebas Haris Fatia, Senin, 8 Januari 2024 – sebuah kemenangan kecil di tengah rezim antkritik.
Meski kemenangan kecil, solidaritas dari Bandung datang tak sia-sia. Menegakkan demokrasi bukanlah simsalabim. Mereka melakukan persiapan dari Bandung sejak jauh-jauh hari. Nada menjadi salah satu aktivis yang mengundang peserta yang kebanyakan orang-orang muda. Mereka menuju Jakarta menggunakan bus.
“Kita kumpul dibale RW Dago Elos sekitar jam 4 atau 5 subuh,” demikian pesan yang ditulis Nada pada detik-detik sebelum keberangkatan ke Jakarta.
Pesan tersebut ia kirimkan sejak Minggu, 7 Januari 2024, sehari sebelum sidang. Kursi bus masih bisa diisi. Siapa saja yang ingin ikut bersolidaritas bagi kedua aktivis hak asasi manusia (HAM) itu dipersilakan.
Senin subuh keesokan harinya ketika mata masih rapat-rapatnya, beberapa orang yang tidur di Bale RW Dago Elos sudah terbangun, sebagiannya lagi baru datang dari masing-masing tempat tinggalnya.
Bus berwarna ungu sudah terparkir di dekat Terminal Dago Elos. Nada, Fayadh, aktivis Aksi Kamisan Bandung mulai sibuk mempersiapkan keberangkatan. Tak lupa perangkat-perangkat aksi untuk dibentangkan di pengadilan.
Terminal Dago mulai penuh dengan orang-orang berjualan. Selain terminal, lokasi ini juga sebagai pasar tradisional. Para pedagang menjajakan sayur-sayur segar, kue-kue, dan aneka kebutuhan lainnya.
Fayyadh sibuk menghubungi dan mengonfirmasi kembali beberapa aktivis yang akan ikut ke Jakarta. “Sok ditungguan,” kata Fayyadh, kepada orang yang ia telepon.
Matahari malu-malu bersinar. Suasana dingin Bandung yang belakangan selalu diguyur hujan terasa menggigit. Setelah semua kumpul, mereka menuju bus. Tak ada yang memakai kaos, semuanya memakai jaket dan kameja, rapi. Rombongan semuanya ada 30 orang.
“Kamarana atuh ieu marake kameja,” kata Ozan, pengiat Aksi Kamisan Bandung, berseloroh.
“Edek ngilu sidang, biar bisa masuk,” jawab yang lain.
“Kita absen dulu yah,” ujar Ozan, sembari memegang microphone yang ada di bus. Bus pun melaju menuruni Dago, masuk jalan layang Pasupati yang mengantarnya ke Tol Pasteur.
Duduk nyaman di dalam bus, sebagian peserta kembali terlelap. Pukul 9 rombongan tiba di Ibu Kota. Di pengadilan, massa dari Bandung dikejutkan dengan pengamanan ketat dari aparat kepolisian. “Padahal (kita) mau bersolidaritas,” cetus Ozan.
Laman resmi KontraS mencatat, kasus kriminalisasi terhadap Fatia Haris mendapat pengamanan lengkap dari aparat keamanan bersenjata, dilengkapi banyak mobil taktis. Adapun aparat berjaga berasal dari ragam satuan mulai dari Polda Metro Jaya, Polres Jakarta Timur hingga Polsek Cakung. Kesatuannya pun beragam, mulai dari Brimob, Ditpamobvit, Sabara, bahkan hingga unsur Tentara Nasional Indonesia.
“Hal ini jelas sangat eksesif, sebab pengerahan aparat keamanan dengan jumlah besar tidak memiliki urgensi, serta tidak sesuai dengan asas proporsionalitas sebagaimana diatur dalam Perkap No. 1 Tahun 2009,” demikian catatan KontraS.
Menang!
Massa solidaritas dari Bandung bergabung dengan massa solidaritas lainnya yang lebih dulu tiba di PN Jakarta Timur. Mereka terdiri dari mahasiswa, buruh, dan lain-lain. Pamplet, poster, dan spanduk dukungan untuk Fatia dan Haris tertempel di depan gedung pengadilan. Mobil komando dari solidaritas buruh terparkir di depan gerbang pengadilan.
Gemuruh suara “bebaskan Fatia-Haris” bergema di luar dan di dalam ruang sidang. Di luar pengadilan massa solidaritas menyaksikan langsung melalui audio live streaming yang diputar di mobil komando kawan buruh.
Saat amar putusan dibacakan oleh Majelis Hakim dan membebaskan terdakwa dari segala dakwaan, suara gemuruh “bebaskan Fatia-Haris” semakin bergema. Suara itu semakin membucah seusai sidang.
Sebelumnya, Fatia Haris dilapokan Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan dengan pasal pencemaran nama baik. Di persidangan yang berlangsung selama 8 bulan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Fatia Haris dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) jo Pasal 55 ke (1) KUHP hukuman 4 tahun serta denda 1 juta rupiah dengan subsider 6 bulan kurungan. Jaksa juga meminta agar video link YouTube Haris Azhar dihapus dari jaringan internet. Fatia dituntut 3 tahun 6 bulan.
Divonis bebas dan tak bersalah, Haris dan Fatia serta Tim Advokasi untuk Demokrasi saling berpelukan, tangisan haru menyebar di segala ruang, rasa bahagia bercampur dengan air mata. Mereka kemudian mengibarkan bendera berwarna merah bertulisan “Kami Bersama Haris & Fatia”.
Haris memeluk keluarga. Fatia menangis juga sembari memeluk keluarga. “Ini semua berkat perjuangan dan solidaritas serta doa orangtua. Aktivis sosial yang di luar sana bersolidaritas, dan doa orangtua kita, serta lawyers dari YLBHI yang senantiasa berjuang delapan bulan dengan kita, awak media yang setia mengabarkan datang setiap Senin,” kata Haris, kepada awak media.
Aliansi dari mahasiswa Papua yang berdomilisi di Jabodetabek menyambut mereka dengan tarian. Suara drum mengiringi teriakan-teriakan “Luhut Kalah!”. Kedua aktivis prodemokrasi tersebut kemudian menaiki mobil komando. Mereka berorasi agar tidak takut menyampaikan kebenaran dan fakta kerakusan pejabat publik.
Selanjutnya Haris Fatia dan massa bertolak ke LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat. Begitu juga dengan massa dari Bandung. Di dalam bus, massa dari Bandung merayakan kemenangan Haris Fatia dengan menyanyikan lagu sebagai ekpresi kebahagiaan.
“Country roads, take me home, to the place I belong, West Virginia, mountain mama, take me home, country roads,” demikian petikan lagu yang mengiringi perjalanan menuju Kantor LBH Jakarta.
Bebasnya Haris Fatia, kata Fayyad, menjadi amunisi semangat bagi segala gerakan untuk merembut kembali ruang kebebasan sipil.
Setibanya di LBH Jakarta, massa solidaritas merayakan kemenangan kecil dari penyempitan kebebasan sipil akibat dibungkamnya kritik dan suara. Mereka berdansa bersama-sama mahasiswa dari Papua, tulisan “Kita Berhak Kritis” pun tertempel di depan jalan Kantor LBH Jakarta. Refleksi kemenangan kecil diorasikan juga oleh Fatia dan Haris.
“Kita tidak takut untuk mengkritik, kita akan terus mengkritik apa pun yang menjadi ancaman di depan, dan ketika kalah justru harus melawan lebih keras,” kata Fatia.
“Mengungkap kejahatan dan membuktikan kita tidak takut, lebih penting dari kemenangan formal,” tutur Haris.
Kemenangan itu kecil. Amnesty International Indonesia menyatakan, kebebasan sipil di Indonesia terancam dalam beberapa tahun ke belakang. Saat melakukan aktivitas-aktivitas yang sah untuk mendorong penegakkan hak asasi manusia (HAM), para pembela dan organisasi HAM menghadapi ancaman dan serangan, baik secara langsung maupun digital.
Selama periode Januari 2019 sampai Mei 2022, Amnesty International mencatat terdapat setidaknya 328 kasus serangan fisik dan/atau digital terhadap masyarakat, dengan setidaknya 834 korban. Korban-korban ini mencakup pembela HAM, aktivis, jurnalis, pembela lingkungan, mahasiswa, dan demonstran. Terduga pelaku dari serangan dan intimidasi ini adalah aktor negara dan non-negara.
Selama kurun tersebut terjadi 316 kasus dan kriminalisasi menggunakan UU ITE dengan pasal pencemaran nama baik (kriminalisasi) sebanyak 332 korban. Kriminalisasi aktivis kemanusiaan sering kali dilakukan melalui kampanye kotor dan stigmatisasi.
“Pihak berwenang dan berkuasa membuat pernyataan yang merusak reputasi pembela HAM, misalnya dengan menuduh pembela HAM sebagai pembela penjahat, antek ‘asing’, musuh negara, separatis, provokator, pengacau, dan lain-lainnya,” tulis Amnesty Internasional, dalam Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia (2022).
Baca Juga: Kemenangan Haris Fatia Jadi Bukti Nyata Bahwa Hasil Riset tak Bisa Dipenjara
Pembungkaman Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi terhadap Aktivis HAM Haris-Fatia
Vonis Bebas Haris Fatia sebagai Simbol tidak Boleh Takut Mengkritik Pejabat Publik
Percik Api
Secuil kemenangan ini sangat berarti bagi massa solidaritas dari Bandung. Lewat pukul 21 mereka tiba di Dago Elos. Oleh-oleh kemenangan ini ibarat percik api bagi solidaritas dan warga yang mempertahankan ruang hidup dari ancaman penggusuran, pembungkaman, dan perlakuan sewenang-wenang lainnya.
“Ini penting, Bandung banyak kekerasan dan pembungkaman, arti kemenangan hari ini itu menjadi menyala api tersendiri semacam bensin buat mengupas semangat teman-teman di Bandung untuk menyuarakan pendapatnya,” ujar Ozan.
Ozan menyebut, kemenangan ini menjadi tanda bahwa power kuasa negara bisa direbut oleh rakyat. Sementara bagi Nada, semangat Fatia merupakan semangat perempuan yang tidak boleh takut untuk selalu bersuara.
Wiji Thukul dalam Sajak Suara (Aku Ingin Menjadi Peluru, 2004) menegaskan, “Sesungguhnya suara itu bukan perampok yang ingin merayah hartamu, ia ingin bicara, mengapa kau kokang senjata dan gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan”.
Kemenangan Haris Fatia penyemangat bagi warga yang dipinggirkan di kota-kota di Indonesia, khusunya bagi warga Dago Elos yang sedang melawan penggusuran.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau membaca artikel-artikel tentang perkara Haris Fatia