• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Masih Efektifkah Ujian Sekolah?

MAHASISWA BERSUARA: Masih Efektifkah Ujian Sekolah?

Sistem pendidikan di Indonesia masih menggunakan ujian sekolah sebagai syarat kelulusan.

Ethan Reysan

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Murid kelas 6 SDN 025 Cikutra menjalani hari pertama Ujian Sekolah berbasis online di Bandung, Jawa Barat, Jumat (17/6/2022). Murid menggunakan ponsel pintar selama ujian. Ujian akan dilaksanakan selama 4 hari untuk 7 mata pelajaran. (Foto Prima Mulia/BandungBergerak.id)

13 Januari 2024


BandungBergerak.id – Sistem pendidikan di Indonesia menuntut pelajar untuk menyelesaikan studi selama 12 tahun. Dan untuk menyelesaikan studi tersebut kita harus mengikuti ujian sekolah yang merupakan penentuan kelulusan. Diikuti oleh siswa kelas 6,9, dan 12. Kelulusan akan ditentukan apabila siswa lulus dari kriteria ketuntasan minimal (KKM) dengan rata-rata nilai KKM sebesar 75. Pelajar harus lulus dalam seluruh mata pelajaran yang diujikan, rata-rata mata pelajaran yang diujikan sebanyak 12 mata pelajaran. Maka setiap pelajar harus mendapatkan nilai minimal 75 di setiap mata pelajaran.

Sistem asesmen sudah tidak dipakai oleh negara maju, dikarenakan relevansinya yang kurang dengan perkembangan zaman, sistem edukasi di Indonesia juga masih menggunakan US (Ujian Sekolah) sebagai syarat kelulusan. Sistem ujian sekolah dalam edukasi di Indonesia menjadi tidak relevan dengan perkembangan zaman. Mengapa assessment test dan sistem edukasi Indonesia menjadi tidak relevan lagi pada zaman sekarang ini?

Baca Juga: Sekolah Favorit yang Masih Mengakar
Tertib Administrasi Aset Sekolah
Implementasi Pengendalian Mutu Sekolah Berbasis Agama di Indonesia

Ketidakefektifan Sistem Ujian Sekolah

Pertama, tidak seluruh mata pelajaran akan dibutuhkan oleh setiap orang. Kita bisa melihat bahwa seorang dokter tidak harus mempelajari ekonomi, seorang atlet basket tidak harus mengerti tentang seni, seorang seniman tidak perlu mengetahui bagaimana cara menembak bola basket. Setiap manusia memiliki keunikannya masing-masing, memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Dengan persyaratan bahwa setiap peserta didik minimal mendapatkan nilai sebesar 75 dalam 12 mata pelajaran, itu menjadi sebuah pemaksaan yang menjadi tidak bijak.

Seorang ilmuan Albert Einstein mengatakan bahwa “Semua orang jenius. Tetapi jika Anda menilai kemampuan seekor ikan dengan kemampuannya untuk memanjat pohon, ia akan hidup dengan percaya bahwa itu bodoh”. Apa yang dikatakan Einstein ini merupakan cerminan dari para pelajar di Indonesia. Inilah juga teriakan hati para pelajar bahwa “saya suka sains, mengapa saya tetap harus belajar dan lulus mata pelajaran sejarah yang tidak ada korelasi dengan bidang yang ingin saya pilih”. Tidak adanya korelasi dari pelajaran yang diujikan , juga memengaruhi kualitas lulusan. Pada dasarnya hal yang diujikan tidak memiliki pengaruh terhadap bidang yang dipilih sehingga hal tersebut hanya membuang waktu.

Kedua, 12 mata pelajaran yang diujikan dapat menjadi beban mental tersendiri bagi setiap pelajar. Hal ini dapat diproyeksikan dengan nilai UN karena sistemnya yang sama dengan US yaitu assessment test dengan rata-rata nilai UN SMA (MIPA) Indonesia pada tahun 2019 adalah 50. Nilai rata-rata tersebut merupakan indikator keefektifan dari assessment test. Bahkan yang lebih dahsyatnya nilai UN 2019 tersebut merupakan perolehan dari 4 mata pelajaran saja. Empat mata pelajaran saja sudah membuat para pelajar keberatan dengan angka 50 yang menunjukkan bahwa rata-rata dari pelajar tidak sukses dalam menjalani ujian tersebut. Dengan begitu, hal ini dapat menambah beban mental dan stres yang dialami oleh pelajar.

Survei yang dilakukan oleh seorang psikolog Helen Damayanti (2015) tingkat stres para pelajar meningkat sebesar 44,24% menjelang ujian beserta dengan fakta bahwa ujian ini akan menjadi penentu kelulusan mereka hanya menambah stres mereka sebagai seorang pelajar. Tumbuh dalam lingkungan yang stressful itu adalah tidak baik untuk kesehatan setiap pelajar, seharusnya edukasi merupakan hal menarik yang menubuhkan rasa ingin tahu, bukan stres dikarenakan ujian.

Sistem Edukasi Berkembang Findlandia (No Standardized Test)

Berdasarkan The Economist, Finlandia berhasil mendapatkan ranking 1 dalam edukasi dan mendapatkan ranking 2 dalam performa kerja fresh graduate. Apa yang menjadi dasar kehebatan Finlandia ini? Apa yang menjadi dasar kehebatan performa kerja masyarakat Finlandia ini? Sejak hampir dari lima puluh tahun yang lalu, Finlandia sudah mulai memperbaiki sistem edukasinya. Dalam perbaikan tersebut Finlandia merasa bahwa assessment test menjadi tidak relevan lagi di masa modern ini. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Finlandia merasa bahwa setiap pelajar memiliki kecepatannya tersendiri dan tidak dapat dibandingkan. Mereka pun merasa bahwa lebih baik mengajarkan bagaimana menghadapi hidup daripada mengajarkan untuk mendapatkan nilai yang tinggi pada ujian. Secara garis besar kurikulum Finlandia mengajarkan setiap pelajar untuk berkolaborasi satu dengan yang lainnya. Akibat yang dihasilkan oleh kurikulum ini adalah setiap pelajar memiliki waktu luang yang lebih banyak dan tidak mengalami stres tinggi dikarenakan tekanan dari nilai yang buruk. Sedangkan di Indonesia kita tetap menerapkan assessment test yang sedikit banyaknya tetap membandingkan antar murid, tidak mengajarkan life skill, dan memberi tekanan stres yang tinggi bagi para pelajar di Indonesia.

Mulai tahun 2016 Finlandia juga menerapkan PBL yaitu Project Based Learning. PBL tidak lagi menerapkan pembelajaran berdasarkan mata pelajaran, tetapi menerapkan pembelajaran dengan pendekatan holistik. Sistem pembelajaran holistik mengarahkan pelajar untuk berpikir secara kritis dan mencari hubungan dari berbagai hal, sehingga pola pikir pelajar dapat terasah. PBL juga mengajarkan pelajar untuk berpikir kreatif dalam menyelesaikan sebuah masalah daripada menyelesaikan sebuah masalah dengan sistematis sesuai instruksi, PBL sangat menghargai kreativitas dalam memecahkan sebuah masalah. PBL menerapkan juga 21st Century Skills 7C yaitu : Critical thinking and problem solving ; Creativity and innovation; Cross cultural understanding; Communication, information, and media literacy; Computing and ICT literacy; Carrer and learning self reliance. Dari skills yang diasah oleh PBL menunjukkan bahwa PBL berfokus mengajarkan kreativitas daripada mata pelajaran semata-mata.

Fokus Sistem Edukasi Ujian Sekolah

Findlandia dalam sistem edukasinya lebih menekankan kolaborasi yang membuat antar pelajar lebih baik di level yang sama, daripada kompetisi yang membuat mereka saling bersaing. Dapat dilihat dalam sistem edukasi di Indonesia lebih menekankan kompetisi dibandingkan kolaborasi. Ujian sekolah secara tidak langsung memberikan kompetisi tersendiri antar pelajar, siapa yang mendapatkan nilai tertinggi akan dihargai dengan ranking di sekolah. Sistem yang mengharuskan setiap pelajar untuk mendapatkan nilai tertentu dan membuat pelajar yang satu dengan pelajar lainnya bersaing untuk mendapatkan nilai tertinggi. Membuat persaingan sering kali menjadi tidak sehat, menjatuhkan pelajar lainnya untuk mendapatkan nilai yang baik. Sedangkan Finlandia menekankan kolaborasi dari kurikulum PBL yang terfokus dalam kolaborasi dan kooperasi dengan kegiatan seperti : diskusi kelompok, kerja kelompok, dan group project based learning. Di dalam kegiatan seperti yang disebutkan pelajar ditempa untuk bekerja sama dan membuat setiap anggota kelompok lebih baik. Pada zaman sekarang ini kolaborasi lebih penting daripada kompetisi terutama karena kolaborasi mengutamakan kekeluargaan dan sinergi dari setiap orang yang bisa membuat setiap orang menjadi lebih baik . Dengan ini objektif kelompok menjadi tercapai secara efektif dan efisien. Berdasarkan ilmu Management setiap top level manager diharapkan untuk dapat berkolaborasi antar sejawatnya sehingga pekerjaan selesai dengan lebih efektif dan efisien. Terlebih dalam zaman kini tidak diperlukan lagi pengetahuan pasti, lebih diperlukan kreativitas, soft skills, dan life skills yang terdapat dalam kurikulum PBL ini.

Dari meningkatnya efektivitas dan efisiensi kelompok tentu produktivitas juga akan meningkat, tidak hanya karena kolaborasi, tetapi juga dikarenakan tumbuhnya sense of purpose dan sense of belonging yang dikembangkan dalam sistem edukasi ini. Sense of purpose adalah sebuah alasan yang jelas untuk melakukan apa yang sedang kita lakukan. Alasan tersebut terbangun dari rasa kekeluargaan yang terdapat pada kolaborasi yang diajarkan pada sistem edukasi. Sense of belonging adalah rasa kepemilikan dari setiap individu terhadap kelompok yang bertujuan untuk mencapai sebuah objektif. Rasa kepemilikan ini juga terbangun dari rasa kekeluargaan yang diajarkan dari sistem edukasi. Dengan dua rasa tersebut produktivitas akan terdorong dan akan menghasilkan suatu badan yang efektif dan efisien dengan lingkungan pekerjaan yang nyaman. Produktivitas juga didukung dengan kreativitas yang diasah dari 7C. Dengan adanya kolaborasi dan kreativitas, maka perkembangan suatu kelompok akan berkembang dengan cepat dan maju.

Kesimpulan

Dikarenakan sistem edukasi di Indonesia yang mengajarkan mata pelajaran semata dan menekankan kompetisi dibanding kolaborasi, kualitas lulusan di Indonesia menjadi kurang baik dan tidak relevan untuk zaman sekarang ini. Indonesia memiliki posisi ke- 111 dari 189 negara. Apakah ini yang dikatakan dengan negara macan Asia tertidur? Indonesia harus mengganti sistem edukasi agar menekankan kreativitas dan kolaborasi. Kita bangsa Indonesia harus bisa menggapai kualitas lulusan terbaik.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//