Epistemologi Islam Pembebasan Hasan Hanafi
Hasan Hanafi menawarkan tafsir pembebasan bahwasanya tafsir harus direkonstruksi ulang karena konteks zaman telah berbeda dan kebutuhan umat semakin bertambah.
Nurul Lita Dewi
Mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung
14 Januari 2024
BandungBergerak.id – Islam adalah sebuah agama yang telah lama ada di dunia, bahkan secara historis makna Islam (bukan sebagai agama melainkan misi) sudah ada sejak manusia pertama, nabi Adam, hingga disempurnakan pada era kenabian Muhammad SAW. Jika melihat dari sisi formal, maka Islam memang secara resmi lahir ketika misi nabi Muhammad Saw telah usai sekitar 14 abad yang lalu. Sejak abad tersebut hingga kini, Islam yang direpresentasikan oleh para penganutnya telah banyak memberikan sumbangsih dalam peradaban manusia, termasuk cikal-bakal era renaisans di Eropa terjadi sebab adanya persentuhan dengan dunia Islam.
Islam dalam perkembangannya memang menoreh peradaban gemilang yang dulu menjadi sentral dari peradaban manusia di muka bumi ini. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Gibb dalam bukunya Wither Islam, ia mengatakan “Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam bukan hanya tentang permasalahan Tuhan saja, melainkan merupakan peradaban yang sempurna). Dari hal ini, dapat dikatakan jikalau Islam secara konstruksi memang tidak di dudukkan sebagai sebuah agama saja, melainkan dalam berbagai aspek bahkan yang paling sederhana pun.
Pada faktanya, meski Islam merupakan konstruk ideal tentang sebuah peradaban, namun nyatanya tidaklah sedemikian rupa. Pasalnya, Islam sebagai peradaban harus mengalami kemunduran di penghujung terakhir kekhalifahan Abbasiyah sekitar tahun 1200-an oleh Mongolia yang secara kebudayaan masihlah berada di bawah Islam. Hal ini menunjukkan sebuah hal, yaitu ada kekurangan maupun kesalahan dalam memahami Islam itu sendiri.
Pada periode pertengahan di era kerajaan-kerajaan kecil hingga Usmani, Islam sebagai peradaban tidak lagi menorehkan prestasi yang gemilang, meski kebudayaan Islam tidak bergerak mundur melainkan transformatif, namun hal ini tidak menampakkan sebuah hasil yang sama.
Hal ini haruslah di apresiasi sebab tidak sedikit para ilmuwan muslim berusaha mengeluarkan ide dan gagasannya untuk mengembalikan Islam kepada kemilau peradaban di masa lampau (Aisyah, 2026). Usaha-usaha ini terus berlanjut hingga era modern di mana Islam sebagai peradaban benar-benar diluruh lantahkan oleh negeri barat lewat proyek imperialisme-kolonialisme dengan slogan Gold-Glory-Gospel.
Negeri-negeri Islam berada dalam kekuasaan barat, melemahkan suprastruktur politik dan menghancurkan infrastruktur, ditanami trauma inferioritas. Pada situasi tersebut, tampilah berbagai tokoh Islam modern dengan segenap pemikirannya. Hasan Hanafi ialah salah satu dari sekian ilmuwan modern Islam dengan gagasan Epistemologi Turats wa Tajdid.
Situasi Islam di tengah superioritas peradaban barat telah menyebabkan Hasan Hanafi mengemukakan sebuah gagasan cemerlang. Interaksi dan kesadarannya dalam melihat situasi dan kondisi yang berbeda antara Perancis dan Mesir telah membuat ia dengan semangat intelektualnya menata epistemologi dalam menjawab tantangan tersebut.
Baca Juga: Ustaz E Abdullah dan Majalah Iber, Dakwah Persatuan Islam dalam Bahasa Sunda
Semangat Penerbit Buku Pemikiran Islam di Kota Bandung
Pemikiran Modernisme Islam Muhammad Abduh dan Pengaruhnya di Indonesia
Sekilas Tentang Hasan Hanafi
Hasan Hanafi seorang tokoh modern Islam yang lahir dari keluarga yang bernafaskan seni. Ia lahir pada 1935 di Kairo, Mesir. Karena keluarganya adalah seniman, maka ia pun memiliki bakat seni yang kuat terutama dalam bidang biola.
Ia mengenyam pendidikan pertama di Pendidikan dasar yang selesai pada tahun 1948. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, Kairo hingga 1952. Pada kala itu, ia mulai aktif dalam berbagai kegiatan dan sering ikut diskusi dengan Ikhwanul muslimin dan bahkan ia sempat mempelajari pemikiran Sayyid Quthub sebagai seorang ideolog utama Ikhwanul Muslimin.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Perancis dan negeri barat lainnya hingga ia kembali ke Mesir. Melihat perbandingan negerinya dengan negeri Perancis yang maju, maka Hasan Hanafi banyak mengemukakan ide-ide untuk menjawab kondisi yang terjadi di masyarakat sekitarnya. Gagasannya muncul sebagai konsekuensi logis atas perjalanan intelektual dan berbagai latar kondisi yang saling berbeda.
Epistemologi Islam konstruksi Hasan Hanafi
Konstruksi epistemologi Hanafi berpangkal pada tiga aspek, yaitu; Oksidentalis, Tafsir Pembebasan dan Kritik Historis. Pada dasarnya, ketiga ini merupakan sistem epistemologi yang saling terkait satu sama lainnya. Secara konstruktif, ketiga hal ini membentuk konsep integral tentang Islam dan peradabannya. Hanafi tidak meniadakan aspek historis Islam, justru menjadikannya pangkalan utama dasar dari pemikirannya.
Konsep ini mendasari dari pengklasifikasian masa yang sangat terikat dengan kritik sejarah. Dalam konsep periode dalam kacamata Hanafi ialah konsep masa lampau (Turats Al-Qadim) yang mewakili jika Islam memiliki sejarah yang panjang dan menjadi tempat pembelajaran bukan tempat romantisme saja.
Selanjutnya ialah ada masa kemajuan (Turats Al-Gharb) yang merupakan pandangan atas barat yang sedang mengalami kemajuan, dalam hal ini untuk dapat mencapai kemajuan barat maka Hanafi mengharuskan ilmuwan Islam untuk menjadikan barat sebagai kajian untuk melakukan pemisahan sekat budaya.
Hingga masa kini yang disebutnya sebagai masa di mana realitas berkembang dan merupakan tantangan utama (Turats Al-Waqi). Jadi, secara konsep Turats wa Tajdid merekonstruksi kontinuitas dalam sejarah dengan mengaitkannya pada aspek yang perlu dikaji ulang.
Pengakuan terhadap khazanah Islam merupakan aspek yang paling penting terutama ialah realitas bahwasanya Islam memang memiliki dasar-dasar yang sudah matang untuk dijadikan tumpu. Hanafi tetap menjadikan warisan Islam sebagai tempat memulai pemikirannya.
Hanafi berangkat juga pada pengkajian barat sebagai medium perbandingan untuk mengintegrasikan antara budaya Islam dengan budaya barat. Sekat-sekat yang saling menutup perlu dibuka agar konstelasi kolaborasi dapat dilakukan.
Kemudian, Hasan Hanafi memperlihatkan tentang kondisi umat Islam era kini sebagai masalah utama yang mesti diselesaikan, di sini ia menawarkan tafsir pembebasan bahwasanya tafsir harus direkonstruksi ulang karena konteks zaman telah berbeda dan kebutuhan umat semakin bertambah.
Pada hakikatnya, konsep ini biasa orang-orang kenal sebagai teologi sosial di mana menjadikan agama sebagai basis ideologis yang terikat erat dengan konsep pembebasan manusia dari hal-hal yang mengekangnya seperti hegemoni barat dan lain sebagainya. Hasan Hanafi secara tidak langsung mengatakan jika Islam adalah peradaban yang sempurna hanya saja dalam konteks pelaksanaan masih banyak kekurangan.