Aksi Longmars Rakyat Bandung untuk Palestina
Longmars solidaritas untuk Palestina diinisasi komunitas atau kolektif di masyarakat. Aksi ini mengingatkan pembantaian terhadap kemanusiaan di Palestina.
Penulis Fitri Amanda 15 Januari 2024
BandungBergerak.id - “Free, free Palestine. From the river to the sea, Palestine will be free,” sorakan tersebut terus bergema tak terputus memenuhi udara Bandung, seolah menjadi mantra yang dihayati peserta yang longmars dari Taman Cikapayang menuju Jalan Dipatiukur, Sabtu, 13 Januari 2024.
Suasana longmars dipenuhi suara drum yang tak henti menderu, menciptakan denyut nadi militan. Rute yang diambil, dari Taman Cikapayang, melalui Dipatiukur, hingga kembali ke Taman Cikapayang, menjadi saksi bisu kebersamaan mereka yang bersatu untuk menyuarakan kebebasan Palestina.
Dengan inisiasi yang bermula dari sekelompok individu yang terbiasa menggulirkan aksi-aksi progresif di Kota Bandung, longmars ini menjadi bentuk nyata solidaritas terhadap Palestina.
Gofar (25 tahun), salah satu inisiator, menjelaskan langkah ini diambil sebagai respons terhadap kurangnya pemahaman sebagian orang terhadap kejahatan yang terjadi di Gaza dan Tepi Barat.
Gofar menegaskan bahwa aksi ini bukanlah tuntutan kepada pihak berwenang, melainkan sebuah panggilan kepada masyarakat untuk tidak melupakan tragedi kemanusiaan di belahan dunia lain. Di Palestina, anak-anak kehilangan segalanya akibat brutalitas Israel.
“Dan hari ini hadir di jalan itu sebetulnya ingin mengingatkan kembali ke kawan kanan-kiri. Tidak muluk-muluk untuk warga Bandung, tidak muluk-muluk untuk nasional atau apa pun itu, cuma lebih ke kawan kanan kiri aja bahwa ternyata di belahan dunia lain masih ada anak yang kehilangan kedua kakinya, kehilangan orang tuanya, bahkan kehilangan nyawanya,” jelas Gofar.
Memanfaatkan momentum Global Day of Action, aksi longmars solidaritas terhadap Palestina ini tidak hanya menjadi ekspresi kepedulian lokal, tetapi juga terhubung secara global. Gofar berharap peserta longmars dan warga yang menyaksikan aksi ini dapat memanfaatkan kesempatan ini sebagai panggilan untuk lebih aktif mencari informasi terkini terkait situasi di Gaza dan Tepi Barat.
"Minimal, seminimal mungkin mereka pulang ke rumah, kemudian kepo atau ingin mencari informasi mengenai berita terupdate di sana. Setiap malamnya minimal, sebelum tidur terus memikirkan apa yang terjadi di Gaza dan Tepi Barat itu, balik ke sini tuh pulang-pulang gak bisa tidur pulang-pulang mereka harus mencari berita ter-update di sana," harap Gofar.
Harapan tersebut mencerminkan upaya untuk membangkitkan kesadaran dan kepedulian terus-menerus terhadap situasi yang membutuhkan perhatian global. Dengan langkah sederhana seperti longmars, diharapkan peserta dan warga dapat terlibat aktif dalam penyebaran informasi dan pembicaraan mengenai genosida yang terjadi di Gaza.
Solidaritas juga ditujukan kepada para jurnalis yang dibunuh di Palestina. Gofar menggambarkan betapa beban psikologis dan mental yang tak terelakkan bagi Motaz Azaiza, jurnalis perang Palestina yang karena menyaksikan genosida secara langsung.
"Dalam catatan sejarah, ini adalah genosida yang dilakukan secara live, secara real time, ternyata tidak ada yang bisa memberhentikan semuanya," ungkap Gofar.
Motaz Azaiza di mata Gofar mungkin akan menghadapi tantangan sulit dalam pemulihan psikologisnya setelah konflik berakhir. Gofar meyakini bahwa peran aksi Motaz dan jurnalis lainnya berperan penting dalam memberikan dukungan terhadap Palestina.
Baca Juga: Menelisik Kolonialisme Pendudukan Israel terhadap Palestina
Ancaman Konflik Israel-Palestina terhadap Perekonomian Dunia
Seruan Palestina Merdeka dari Ibu Kota Asia Afrika terus Menggema
Performance Pemerintah
Hanva (21 tahun), peserta longmars yang sebelumnya juga pernah menghadiri aksi solidaritas serupa yang diadakan di Jakarta pada 2023, mengapresiasi bentuk-bentuk solidaritas aksi yang diinisiasi oleh masyarakat ini, tanpa campur tangan pemerintah. Aksi-aksi yang berasal dari inisiatif masyarakat memiliki nilai yang lebih tinggi daripada demonstrasi yang diorganisir oleh pemerintah.
Hanva mengevaluasi sikap pemerintah yang sering kali sebagai "performance" yang tidak tulus. Meskipun pemerintah menyatakan dukungan terhadap Palestina, namun kebijakan-kebijakan internal seperti penggusuran di tempat-tempat tertentu di Indonesia menunjukkan sikap yang bertentangan.
“Padahal dengan rakyatnya sendiri, mereka itu menutup mata, mereka melakukan penggusuran ke tempat-tempat itu sama saja kan? Itu bentuk juga penjajahan yang terjadi di negara kita sendiri. Jadi, ya, apresiasi aku lebih besar sih untuk kolektif-kolektif yang emang (dari) masyarakatnya sendiri," ucap Hanva yang merupakan lulusan Antropologi di salah satu universitas di Malaysia.
Dalam pandangan Hanva, apa yang terjadi di Palestina saat ini adalah suatu penderitaan yang seharusnya tidak dialami oleh siapa pun. Perasaan sedihannya muncul sejak awal melihat realitas di Palestina. Hanva menyampaikan bahwa sebagai warga Indonesia, yang di masa lalu pernah dijajah, seharusnya memiliki empati yang lebih pada yang sedang terjadi di Palestina.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain tentang Gaza, Tepi Barat, atau Palestina