MAHASISWA BERSUARA: Enigma Kendaraan Listrik bagi Masyarakat Indonesia
Masih banyak pekerjaan rumah untuk membenahi ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Kendaraan listrik belum bisa menjadi pilihan yang praktis bagi warga.
Marvin Mekaroonvidhya
Mahasiswa Fakultas Teknik Industri Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
16 Januari 2024
BandungBergerak.id – Indonesia pada saat ini merupakan salah satu negara yang sangat padat populasi akan kendaraan bermotor, terutama pada kendaraan roda dua yang merupakan sarana transportasi bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Kendaraan roda empat juga semakin bertambah populasinya. Banyak pabrikan mobil ternama yang menawarkan model-model mobil yang lebih terjangkau untuk masyarakat, contohnya kelas mobil Low Cost Green Car (LCGC) seperti Daihatsu Sigra, Toyota Agya, Honda Brio, Suzuki Karimun, dan banyak lainnya. Mobil-mobil tersebut memiliki ukuran mesin (cc) yang kecil, umumnya 1.000-1.200 cc. Mesin-mesin tersebut relatif ramah lingkungan karena ukurannya yang kecil, oleh karena itu irit bahan bakar.
Pada spektrum lain, banyak tersedia mobil dengan pilihan mesin diesel, seperti Toyota Innova, Hyundai Santa Fe, Mitsubishi Pajero Sport, Isuzu MU-X, dan lain-lain. Untuk kelas roda empat diesel, kebanyakan mobil tersebut memiliki ukuran mesin yang lebih besar dibanding mesin bensin, bahkan beberapa mobil, contohnya Toyota Fortuner GR, dibekali mesin sebesar 2.800 cc. Mesin yang lebih besar tentunya akan lebih boros bahan bakar, walaupun mesin diesel diklaim lebih sedikit polusinya dan lebih hemat bahan bakar dibanding mesin bensin.
Sudah merupakan fakta bahwa semua tipe mesin, mau itu berbahan bakar bensin maupun diesel menghasilkan gas buang yang berbahaya untuk lingkungan. Salah satu alternatif yang dapat diimplementasikan untuk mengurangi polusi gas buang adalah untuk mengganti kendaraan bermesin bahan bakar minyak ke kendaraan bertenaga listrik. Namun dengan tergantungnya warga Indonesia dengan kendaraan bermesin BBM, apakah alternatif itu dapat tercapai sesuai target waktu yang ditentukan?
Baca Juga: Membaca Masa Depan Kendaraan Listrik di Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Subsidi Kendaraan Listrik hanya Memindahkan Polusi
Membayangkan Bandung Lautan Kendaraan Listrik
Dilema Hybrid
Belakangan ini, sudah banyak pabrikan otomotif yang sudah mengimplementasikan sistem-sistem untuk membuat kendaraan mereka lebih efektif dan ramah lingkungan. Salah satu metode yang paling populer adalah untuk membuat model hybrid. Kendaraan hybrid memanfaatkan dua jenis mesin, yaitu mesin BBM dan motor listrik, yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja dan efisiensi mobil. Motor listrik akan men-support kendaraan pada kecepatan rendah dengan menggunakan motor listrik sebagai media penggerak, dan saat kendaraan sudah bergerak dengan cepat, penggerak dipindahkan ke mesin BBM. Pada umumnya, motor listrik yang terdapat pada kendaraan hybrid relatif lebih lemah dibanding dengan motor listrik untuk kendaraan full electric yang sepenuhnya menggunakan motor listrik sebagai sumber tenaganya.
Salah satu pabrikan yang memproduksi dan memasarkan mobil hybrid paling banyak di Indonesia adalah Toyota, dengan menawarkan model mobil bensin dan memberikan versi hybrid sebagai pilihan trim. Beberapa model contohnya adalah Camry Hybrid, Yaris Cross HEV, dan salah satu yang paling barunya adalah Innova Zenix Hybrid, yang menggantikan pendahulunya Toyota Innova Reborn yang menggunakan mesin diesel. Semua mobil tersebut sudah mengimplementasikan sistem hybrid, yang tentunya akan meningkatkan efisiensi dan membantu dalam penghijauan lingkungan Indonesia.
Lalu mengapa mobil hybrid jumlahnya masih bisa dibilang sedikit di Indonesia?
Salah satu faktor terbesar dalam isu ini adalah faktor harga. Mobil hybrid masih dapat digolongkan mahal, dengan mayoritas harga OTR (on the road) mobil hybrid yang diatas Rp 300 juta, dengan selisih harga yang lumayan jauh dengan versinya yang non-hybrid, seperti Yaris Cross Hybrid yang memiliki selisih harga Rp 90 jutaan dengan versinya yang non-hybrid. Dilansir dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO), penjualan mobil hybrid di Indonesia pada periode Januari – November 2022 mencapai 7.325 unit, sedangkan untuk mobil listrik (EV) mencapai angka 7.923 unit. Angka tersebut mungkin terlihat banyak, tetapi jika dibandingkan dengan jumlah penjualan kendaraan bermesin bensin, jumlah tersebut masih kalah jauh. Pada periode yang sama, Toyota sendiri sudah menjual sebanyak 243.080 mobil, dan jika jumlah penjualan dari pabrikan lain disatukan, total penjualan kendaraan bermotor roda 4 pada periode itu mencapai 758.216 unit.
Opini Publik dan Komparasi
Dengan tingginya harga mobil listrik ataupun hybrid, tentunya akan membuat warga Indonesia untuk berpikir dua kali sebelum memilih kendaraan yang ingin mereka beli. Mari kita membuat perbandingan dari dua pilihan kendaraan. Kendaraan pertama adalah Alva Cervo, motor listrik dengan desain yang futuristik yang diproduksi langsung di Indonesia. Kendaraan kedua adalah Honda PCX 160, motor matic bermesin bensin yang bisa disebut “matic premium” atau “maxi scooter” buatan Honda. Kendaraan tersebut dibanderol dengan harga yang hampir sama, yaitu Rp 36 juta (OTR Jabodetabek). Dengan faktor harga yang sudah seimbang, yang akan dibandingkan sekarang hanyalah fitur dari kendaraan itu sendiri.
Honda PCX 160 terbaru memiliki fitur ABS dan HSTC (Honda Selectable Torque Control) sebagai fitur keamanannya. Kualitas skutik ini sudah terbukti karena model PCX sudah dipasarkan sejak lama dan generasi yang paling baru tentunya adalah generasi yang sudah lebih disempurnakan. Dalam segi mesin, maxi scooter ini menggunakan mesin 4 langkah 157cc, 4 katup, dan dilengkapi eSP+ (Enhanced Smart Power). Mesin ini on paper memproduksi 16 PS dan 14,7 Nm torsi. Konsumsi bahan bakar motor ini dengan tangki bensinnya yang berkapasitas 8 liter dapat menempuh 42,2 km/liter dengan gaya berkendara yang sesuai.
Sedangkan Alva Cervo adalah motor listrik dari pabrikan Alva, yang dipegang oleh PT Ilectra Motor Group, Indonesia. Skutik listrik ini sudah dilengkapi ABS, dan 3 pilihan riding mode, masing-masing pilihan disesuaikan dengan kebutuhan kecepatan pengendara. Untuk motor penggeraknya sendiri, on paper, Cervo memiliki power 13 PS, kurang sedikit dibanding PCX, tetapi angka torsinya yang mencapai 53,5 Nm membuat PCX kalah telak dalam perlawanan akselerasi. Jarak tempuh motor ini dengan menggunakan 2 baterai diklaim dapat mencapai 125 km.
Selain dari sisi teknis, Alva Cervo juga memiliki beberapa keunggulan dibanding lawannya, yaitu subsidi dari pemerintah yang berbentuk potongan harga sebesar 7 juta rupiah, yang membuat harga motor ini setara dengan Honda PCX. Harga yang awalnya mencapai Rp 43 juta turun menjadi Rp 36 juta saja. Pajak dari semua kendaraan motor listrik juga ditiadakan, sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 6 Tahun 2023 Pasal 10 Ayat 1 yang berbunyi , "Pengenaan PKB Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai untuk orang atau barang ditetapkan sebesar 0 persen dari dasar pengenaan PKB.” Lalu karena Cervo adalah motor listrik, pengendara dapat menghemat biaya BBM, karena pengisian daya dapat dilakukan di rumah dengan di-charge.
Dengan semua keunggulannya, Alva Cervo terdengar lebih unggul dibandingkan PCX. Dengan kekurangan yang minim, warga seharusnya akan lebih berpihak ke Alva, kan? Tetapi kenyataannya belum tentu. Ada 1 faktor lagi yang bermain dalam pemilihan kendaraan, yaitu kepercayaan dan reputasi sang pabrikan.
PT Astra Honda Motor (AHM) sudah mengaspal di jalanan Indonesia mulai dari tahun 1971, dan sejak itu sudah mengeluarkan banyak sepeda motor yang sudah teruji dan terbukti ketangguhan dan performanya oleh masyarakat Indonesia, seperti seri Astrea, seri Supra, seri Revo, seri BeAT, seri Vario, seri CB, dan banyak lainnya. Oleh karena itu opini dan citra publik brand Honda di Indonesia sudah dicap dan ditempa dalam sejarah otomotif Indonesia. Sebaliknya, PT Ilectra Motor Group baru meluncurkan Alva pada Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2022 kemarin. Kehadiran brand Alva di Indonesia yang baru 1 tahun membuat beberapa warga Indonesia ragu-ragu akan keandalannya, walaupun ada juga warga yang langsung membeli moto-motor produksi Alva, penjualan dan reputasi AHM masih mendominasi.
Permasalahan Baterai
Jadi kita sudah mengetahui bahwa kendaraan listrik masih belum tersebar luas karena reputasinya yang masih belum mumpuni di atas aspal Indonesia dan karena harganya yang tinggi. Namun sebenarnya apa yang menyebabkan harga dari kendaraan bertenaga listrik, terutama kendaraan roda 4, sangat mahal? Jawabannya terdapat pada baterai kendaraan tersebut. Mayoritas dari kendaraan bertenaga listrik, mau itu hybrid atau full electric menggunakan baterai lithium-ion, dan tipe baterai itulah yang membuat harga kendaraan listrik melonjak tinggi.
Baterai lithium-ion dipatok dengan harga yang tinggi karena kombinasi beberapa faktor yang mempengaruhi biaya produksinya. Pertama, bahan yang digunakan dalam baterai lithium-ion, seperti lithium, kobalt, nikel, dan logam lainnya, bisa jadi mahal dan dapat berfluktuasi harga berdasarkan permintaan dan ketersediaan. Proses manufakturnya sendiri melibatkan teknologi canggih dan memerlukan lingkungan yang terkendali, sehingga berkontribusi terhadap biaya keseluruhan. Selain itu, standar keamanan dan kualitas yang ketat semakin meningkatkan biaya, karena produsen berinvestasi dalam penelitian dan pengujian untuk memastikan baterai memenuhi persyaratan keselamatan.
Untuk kendaraan roda dua, kita dapat melihat harga baterai untuk motor listrik Alva ONE, di mana satu unit baterai tambahan dibanderol dengan harga setinggi Rp16.299.000, dan jika kita lihat ke pabrikan Polytron, untuk motor listrik Fox R dibanderol dengan harga Rp 20.500.000 OTR Jabodetabek, namun Polytron menggunakan sistem penyewaan baterai dengan biaya Rp 250 ribu per bulan. Dengan biaya bulanan untuk menyewa baterai, salah satu keunggulan dari motor listrik, yaitu untuk menghemat biaya BBM, akan sia-sia.
Untuk kendaraan roda empat, dilansir dari CNBC Indonesia, Assembly Processing Engineer Hyundai Motor Manufacturing Indonesia (HMMI), Fajar Ahya, berkata bahwa satu unit baterai standar untuk Hyundai Ioniq 5 dicap dengan harga sekitar Rp 300 jutaan, sedangkan untuk baterai long range mencapai kisaran harga Rp 400 jutaan. Sedangkan untuk Wuling Air ev, Product Planning Wuling Motors, Danang Wiratmoko, mengutip bahwa harga untuk 1 unit baterai long range berkisar Rp 100 jutaan.
Jika satu unit baterai harganya bisa menembus Rp 400 juta, tentunya warga Indonesia akan lebih memilih untuk membeli mobil bertenaga mesin bensin, dibanding mengambil risiko membeli mobil listrik yang suatu hari nanti harus melakukan penggantian baterai.
Infrastruktur Indonesia Belum Siap untuk Kendaraan Listrik
Faktor terakhir yang membuat warga Indonesia enggan untuk membeli kendaraan listrik, terutama yang menyukai berjalan jauh, adalah masih kurang tersebarnya charging station untuk pengisian daya kendaraan listrik. Walaupun lebih murah, pengisian daya baterai kendaraan listrik memakan waktu yang lebih banyak. Selain dari charging station, masih sedikitnya bengkel reparasi yang spesialis untuk kendaraan listrik membuat warga Indonesia khawatir untuk perawatan kendaraan jika suatu saat kendaraan malfungsi dan tidak ada bengkel resmi yang dekat.
Sebagai kesimpulan, Indonesia masih membutuhkan banyak kemajuan, baik itu dalam sektor ekonomi maupun sektor infrastruktur dan produksi, karena kondisi Indonesia saat ini masih bisa dibilang kurang cocok bagi kendaraan listrik untuk mengaspal dalam skala besar. Walaupun saat ini sudah banyak motor atau mobil listrik yang berlalu-lalang di jalanan, tetapi transisi lalu lintas Indonesia menjadi sepenuhnya bertenaga listrik masih menjadi pilihan yang kurang praktis untuk warga Indonesia. Oleh karena itulah kendaraan bermesin BBM masih diminati oleh masyarakat sampai saat ini.