• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Implikasi Globalisasi terhadap Deforestasi di Kalimantan

MAHASISWA BERSUARA: Implikasi Globalisasi terhadap Deforestasi di Kalimantan

Deforestasi di Kalimantan yang berkorelasi dengan globalisasi bukan hanya berakibat pada tumbuhan, namun juga manusia dan orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus).

Nadine Hannah Natania

Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)Bandung

Orangutan Kalimantan koleksi Kebun Binatang Bandung, Kamis (29/7/2021). Kebun binatang ini termasuk kawasan wisata yang paling terdampak selama pandemi Covid-19. (Prima Mulia/BandungBergerak.id)

17 Januari 2024


BandungBergerak.id – Jika kita berpikir tentang globalisasi, apa yang muncul dalam pikiran Anda? Jawabannya bisa jadi seputar mobilisasi, teknologi, impor, ekspor, atau yang lain. Namun, jika kita telusuri lebih dalam, globalisasi mencakup hampir seluruh aspek kehidupan manusia, seperti ekonomi, politik, budaya, ide, dan bahasa.

Globalisasi menurut Anthony McGrew (dalam Reich 1998) menyatakan bahwa sistem dunia modern dibentuk melalui berbagai interkoneksi dan keterkaitan yang tidak dibatasi oleh negara-bangsa (secara implikasi adalah masyarakat). Globalisasi adalah sebuah proses di mana masyarakat (berbagai komunitas dan individu) di bagian dunia lain yang cukup jauh mendapatkan pengaruh penting dari segala sesuatu yang dilakukan oleh satu bagian dunia (kegiatan, peristiwa, dan keputusan). Globalisasi menyebabkan keterhubungan mobilisasi barang dan manusia dikarenakan teknologi yang berkembang dan membuat interaksi satu dengan yang lain menjadi lebih mudah.

Di tengah maraknya globalisasi, pasti ada dampak baik maupun buruk yang dirasakan dunia. Contoh dampak baik dari globalisasi adalah mendapatkan barang secara mudah melalui platform belanja online dan kemudahan akses media dan berita internasional. Namun, globalisasi juga berdampak buruk untuk dunia yaitu melalui deforestasi.

Deforestasi dirasakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Indonesia, sebagai negara yang sekitar 59% daratannya merupakan hutan tropis (KLHK:2021), terus mengalami kegiatan deforestasi. Sebenarnya, deforestasi di Indonesia telah mengalami penurunan sebesar 75,03% selama periode 2019-2020 (KLHK:2021). Tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa deforestasi besar terus terjadi.

Barri et. al (2018:21) memandang bahwa faktor utama penyebab deforestasi di tiga provinsi di Indonesia (Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Sumatera Utara) adalah berbagai aktivitas industri ekstraktif yang rakus akan ruang. Contohnya adalah PT Toba Pulp Lestari di Sumatra Utara yang melanggar komitmen dengan bukti hasil analisis citra satelit yang menyatakan ada sekitar 2.108 hektare hutan alam yang hilang dalam konsesi perusahaan di wilayah HTI perusahaan ini dari tahun 2013-2016 (Barri et. al:2018). Peristiwa ini merupakan bukti nyata bahwa era globalisasi berdampak untuk eksistensi lingkungan di Kalimantan, Indonesia, salah satunya dalam bentuk deforestasi.

Baca Juga: Cara Perhutana Membangun Hutan di Majalengka ala Kavling Properti
Mengurai Kebakaran Hutan di Bromo dan Rekomendasi
Memberdayakan Ekonomi Rakyat dengan Minyak Jelantah, Mencegah Deforestasi

Deforestasi dan Globalisasi

Sebenarnya, hubungan globalisasi dan deforestasi sangat erat. Implikasinya berawal dari transfer ide mengenai cara hidup masyarakat (lifestyle) yang memengaruhi negara lain sehingga masyarakat lain memiliki keinginan untuk mengikuti cara hidup mereka. Junior Hendri Wijaya (2023) menyatakan bahwa di era globalisasi ini, pola konsumsi dan konsumerisme berpengaruh pada transformasi cara hidup di Indonesia dan dampak dari budaya negara lain.

Keinginan masyarakat terhadap sebuah barang dari negara lain ditambah dengan teknologi yang berkembang pesat dan akses ekspor dan impor yang besar mendorong jumlah produksi akan barang tersebut. Akibatnya, perusahaan harus memperbesar dan meningkatkan jumlah faktor-faktor produksinya. Pabrik dan transportasi pun harus diperbanyak. Namun, terdapat beberapa perusahaan yang mendirikan pabrik di negara yang memiliki regulasi lingkungan yang rendah dan memindahkan polusinya ke sana. Mereka mengambil keuntungan dari tenaga kerja dan standar lingkungan yang lebih rendah dan membuat negara tersebut menanggung biayanya (Yue Maggie Zhou:2017). Perusahaan internasional dapat berkontribusi dalam deforestasi dan tanpa disadari, peristiwa deforestasi telah terjadi di Kalimantan, melalui PT Royal Golden Eagle Group (RGE Group).

Salah satu contoh kasus deforestasi di Kalimantan adalah pelanggaran komitmen yang dilakukan PT Royal Golden Eagle Group (RGE Group). PT RGE merupakan perusahaan yang mengelola berbagai perusahaan internasional berbasis sumber daya alam (RGE Pte Ltd:2009-2023). Berdasarkan Environmental Paper Network et al (2023), PT ini merupakan produsen utama pulp, kertas, dan kemasan global melalui anak usaha yaitu Asia Pacific International Limited (APRIL) di Indonesia, Bracell di Brasil, dan Tiongkok; dan merupakan produsen serat viscose terbesar di dunia melalui Sateri dan Asia Pacific Rayon.

Permasalahan ini berawal dari PT RGE yang menyatakan komitmen “Bebas Deforestasi” dalam rantai pasoknya pada bulan Juni 2015. APRIL dan Asia Symbol juga membuat kebijakan keberlanjutan yang mirip. Namun, dibalik citra “pemimpin global dalam hal berkelanjutan”, sejak sebelum tahun 2015 sebenarnya APRIL dan RGE juga mendapat kritikan keras oleh organisasi masyarakat sipil karena membuka ratusan ribu hektar hutan alam untuk mendirikan perkebunan monokultur yang besar dan memenuhi suplai serat kayu untuk pabrik pulpnya. Nyatanya, ada bukti kuat yang menyangkal komitmen RGE yaitu setelah bulan Juni 2015, beberapa perusahaan RGE tetap membeli kayu dari perusahaan yang melakukan pembukaan hutan alam.

Salah satu bukti pendukungnya adalah studi yang merekam bahwa terdapat tiga konsesi perkebunan hutan di Kalimantan yang melakukan deforestasi sebesar lebih dari 37.000 hektare (periode 2016-2022). Tiga konsesi ini menyuplai hasil deforestasi tersebut ke sebuah pabrik serpih kayu yang dikelola PT Balikpapan Chip Lestari yang berhubungan dengan PT RGE (Environmental Paper Network et. al.: 2023). Peristiwa ini merupakan salah satu contoh deforestasi yang berhubungan dengan perusahaan internasional di Kalimantan sebagai akibat dari globalisasi.

Globalisasi Mendorong Deforestasi

Deforestasi di Kalimantan yang berkorelasi dengan globalisasi bukan hanya berakibat pada tumbuhan, namun juga manusia dan habitat orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Manusia dapat terganggu dari polusi penebangan hutan ataupun pabrik produksi. Menurut Koalisi Anti Mafia Hutan et. al. (2019), terjadi kebakaran tumbuhan, lahan pertanian, dan hutan yang terbakar di beberapa provinsi di Sumatra dan Kalimantan pada tahun 2019. Hal ini menyebabkan Indonesia, Singapura, dan Malaysia mendapatkan polusi berbahaya yang mengganggu kesehatan manusia dan kehidupan sehari-hari. Salah satu contohnya adalah seorang bayi berumur 50 hari yang terpapar kabut pada bulan September 2019, mendapat perawatan oksigen di ICU di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Penyebab utama kebakaran ini adalah beberapa perusahaan besar yang mengeringkan lahan gambut luas untuk menjadi perkebunan monokulturnya (Koalisi Anti Mafia Hutan et al.:2019). Ini artinya globalisasi menjadi penyebab tidak langsung dari ancaman kesehatan manusia. Selain itu, investigasi yang dilakukan Environmental Paper Network et al. (2023) menyatakan bahwa dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, sebagian besar hutan tropis yang dibabat oleh perusahaan-perusahaan dan digunakan pabrik pulp RGE di Tiongkok sebelumnya merupakan habitat orang utan Kalimantan. Habitat orang utan yang seharusnya dijaga dengan baik malah dirusak karena globalisasi melalui deforestasi.

Globalisasi menyebabkan keterhubungan dalam mobilisasi barang dan manusia yang bisa berdampak terhadap deforestasi di Kalimantan, Indonesia. Globalisasi membuat adanya transfer ide mengenai gaya hidup yang membuat keinginan masyarakat terhadap barang impor bertambah sehingga perusahaan harus meningkatkan faktor produksinya. Beberapa perusahaan pun mendirikan pabrik di negara yang memiliki regulasi lingkungan yang rendah dan mendapat keuntungannya. Salah satu contoh kasus deforestasi di Kalimantan adalah PT RGE yang melanggar komitmennya terkait rantai pasok dan ikut andil dalam mendapatkan suplai kayu dari perusahaan yang melakukan pembukaan hutan alam.

Deforestasi di Kalimantan berakibat pada habitat orang utan Kalimantan yang menurun dan kesehatan manusia yang terganggu. Namun, kerusakan ini dapat kita cegah dan kurangi dengan peningkatan regulasi dari pemerintah seperti pengetatan luas daerah konsesi, melakukan pengawasan terhadap PT secara berkala, dan memberikan sanksi hukuman kepada PT yang melanggar peraturan terkait hutan dan deforestasi secara adil dan transparan. Secara keseluruhan, era globalisasi berdampak untuk eksistensi lingkungan di Kalimantan, Indonesia, salah satunya dalam bentuk deforestasi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//