Visi Misi Calon Presiden tak Menyentuh Hulu Penyebab Buruknya Tata Kelola Sampah di Indonesia
Ketiga pasangan calon presiden di Pilpres 2024 lebih banyak mempersoalkan sampah di tingkat hilir, sedangkan masalah di hulu yang juga krusial tak diperhatikan.
Penulis Awla Rajul22 Januari 2024
BandungBergerak.id - Buruknya tata kelola persampahan menjadi salah satu sebab terbakarnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti akhir Agustus 2023 lalu. Bencana kebakaran TPA ini menyebabkan penetapan status darurat sampah di Bandung Raya selama empat bulan. Kota Bandung baru mencabut status darurat sampah pada 27 Desember 2023 lalu. Kendati demikian, tata kelola sampah masih jauh dari ideal.
TPA Sarimukti terbakar ditengarai sebab gas metana akibat sampah organik yang dikirimkan dari seluruh penjuru Bandung Raya yang meliputi Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kota Bandung, dan Kabupaten Bandung. Sampah yang dikirimkan ke TPA Sarimukti bukan sampah terpilah. Tata kelola TPA Sarimukti masih mengulang TPA Leuwigajah yang dilanda longsor maut sampai ditutup pada 2005 silam.
Buruknya tata kelola sampah tak hanya terjadi di TPA Sarimukti, tapi juga seragam di TPA se- Indonesia. Bahkan kebakaran TPA terjadi di 35 TPA di Indonesia sepanjang 2023. Dari rangkaian peristiwa persampahan ini jelas, bahwa sampah bukan persoalan sederhana. Tata kelola sampah memerlukan penanganan serius dari tingkat presiden sampai pemerintah daerah.
Maka, menganalisa dan memandang visi misi pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden Pilpres 2024 terkait tata kelola persampahan di Indonesia menjadi krusial. Pemilu 2024 menjadi momen strategis untuk menentukan seberapa cepat memperbaiki tata kelola persampahan di Indonesia.
Diketahui, ada tiga paslon Pilpres 2024. Nomor urut Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, Partai Keadilan Sejahtera atau PKS); nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Garda Republik Indonesia); dan nomor urut 3 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD (PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Perindo, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Masing-masing dari ketiga pasangan calon Pilpres 2024 mempunyai rencana pengelolaan sampah dan polusi plastik. Namun, Greenpeace Indonesia menilai solusi persoalan sampah dan plastik dari ketiga pasangan calon presiden masih bersifat hilir atau pascakonsumsi. Seharusnya ada penanganan juga di hulu.
Pasangan calon Anies-Muhaimin memiliki empat visi misi, seperti mendukung implementasi ekonomi sirkular dengan penerapan prinsip 9R, memastikan tersedianya infrastruktur persampahan yang memenuhi standar dari hulu ke hilir, menyediakan fasilitas persampahan dengan akses mudah dan biaya terjangkau, dan menjadikan Indonesia sebagai zona larangan impor sampah B3 dan mendorong Indonesia menjadi wilayah bebas kantong plastik.
Pasangan calon Prabowo-Gibran memiliki dua visi misi, yaitu mengkampanyekan budaya ramah lingkungan seperti mengganti penggunaan kantong plastik dengan bahan ramah lingkungan dan bisa didaur ulang, serta menyegerakan pemanfaatan bioplastik dalam kehidupan sehari-hari.
Pasangan calon Ganjar-Mahfud memiliki empat visi misi, yaitu pengelolaan lingkungan hidup berkualitas dengan gerakan kesadaran gaya hidup bebas sampah, Kampung Sadar Iklim sebagai program promotif di tingkat kampung untuk menahan laju perubahan iklim dengan berbagai fasilitas penunjangnya, ekonomi sirkuler yang meminimalkan kerusakan sosial dan lingkungan, serta Limbah Jadi Berkah atau pengelolaan sampah dan limbah yang terintegrasi.
Juru kampanye Greenpeace Indonesia di bidang plastik, Ibar Akbar menyebutkan para pasangan calon presiden seharusnya membuat rencana yang mengedepankan hierarki pengelolaan sampah dari hulu; dimulai dengan pengurangan produksi sampah plastik sekali pakai, khususnya sachet.
Ibar juga menambahkan, para paslon Pilpres 2024 harus berkomitmen mengawal implementasi peta jalan oleh produsen untuk mencapai target pengurangan sampah sebesar 30 persen di tahun 2030. Perbaikan tata kelola persampahan ini perlu agar tidak terulang kebakaran di TPA-TPA di Indonesia.
“Para capres-cawapres seharusnya membuat rencana yang mengedepankan hierarki pengelolaan sampah dari hulunya. Solusi yang hanya berfokus pada hilir (pascakonsumsi) tanpa dibarengi dengan proses di hulu (awal mula produksi plastikc tidak akan serta merta menyelesaikan masalah ini,” ungkap Ibar dikutip dari keterangan resmi Greenpeace Indonesia, diakses Jumat, 19 Januari 2024.
Ada beberapa catatan penting soal masalah sampah dan polusi plastik di Indonesia, misalnya, baru 39 persen sampah yang dapat terkelola berdasarkan data tahun 2020. Sisanya berakhir dibakar, dibuang sembarangan, atau berakhir ke laut dan sungai. Baru sepuluh persen yang berhasil didaur ulang.
Sepanjang tahun 2023, terdapat 35 TPA di Indonesia yang mengalami kebakaran. Sektor persampahan juga menyumbang emisi gas rumah kaca nasional sebesar 12 persen. Timbulan sampah pun naik setiap tahunnya. Misal pada tahun 2022 menghasilkan 35,93 juta ton, angka itu naik 22,04 persen dari tahun 2021 sebanyak 29,44 juta ton.
Baca Juga: Darurat Sampah, Sekolah, dan Kampanye Pengelolaan Sampah
Pilpres 2024 Membutuhkan Orang-orang Muda yang Mewaspadai Politisasi Identitas
Pemilih Muda dalam Peta Kerawanan Pilpres 2024
Desakan dari Organisasi Lingkungan
Organisasi lingkungan lainnya pun mengkritik persoalan visi misi para paslon yang mewacanakan perbaikan tata kelola persampahan di hilir saja. Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menilai, visi misi para paslon belum menjadikan persoalan tata kelola persampahan sebagai isu arus utama dalam membangun kebijakan pemerintah. Isu lingkungan selain sampah dinilai lebih “seksi”, seperti isu energi, tata kelola sumber daya alam, dan perubahan iklim.
“Kebijakan terkait tata kelola sampah perlu dipahami sebagai isu multisektor, yang berkaitan dengan perubahan iklim, konservasi sumber daya alam, penggunaan lahan, tata kota, kesehatan masyarakat, pendidikan dan budaya serta berbagai aspek lainnya. Pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan ini harus komprehensif dan tidak terbatas pada pembangunan infrastruktur dan hanya berfokus di hilir saja,” demikian siaran pers Aliansi Zero Waste Indonesia yang diterima BandungBergerak.id, Jumat, 19 Januari 2024.
AZWI menyebut, dampak dari buruknya tata kelola sampah akan dirasakan oleh seluruh pihak, sebab sampah beririsan dengan isu lingkungan hidup lainnya.
Direktur Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) David Sutasurya berpendapat, tata kelola sampah perlu dilihat sebagai isu lingkungan. Pengelolaan sampah harus mendorong penghematan sumber daya alam, pengurangan emisi karbon, dan polusi bahan beracun.
“Karena itu, perbaikan sistem pengelolaan sampah nasional harus dimulai dengan menetapkannya isu lingkungan sebagai prioritas utama pembangunan. Tentu saja sebuah kebijakan prioritas harus terwujud nyata, misalnya dalam skala prioritas anggaran dan konsistensi penegakan hukum,” ujar David.
Direktur Yayasan Gita Pertiwi Surakarta Titik Eka Sasanti menegaskan, penyebab kebakaran TPA disebabkan ledakan timbulan gas metana yang dipicu kemarau panjang dan sistem open dumping (pembuangan sampah di TPA terbuka tanpa dipilah). Gas metana dihasilkan dari timbulan sampah organik. Data Bappenas (2021) menyatakan timbulan sampah pangan di Indonesia masih tinggi, rata-rata 115 -184 kg/kapita/tahun yang berkontribusi 7,29 persen emisi gas rumah kaca Indonesia.
“Perlu upaya mitigasi dalam bentuk kebijakan dan program pengurangan food loss dan food waste pada rantai produksi, distribusi, dan konsumsi. Untuk memperpanjang umur TPA, sampah organik juga sebaiknya tidak dikirim ke TPA dan dikelola di dekat sumber atau di kawasan. Dengan demikian pendekatan zero waste akan mendukung pencapaian low carbon development,” terang Titik Eka Sasanti.
Penyebab mandeknya peningkatan kinerja pengelolaan sampah adalah buruknya tata kelola pengelolaan sampah pada semua tingkatan pemerintahan. Makanya AZWI menilai, pengelolaan sampah ke depan membutuhkan koordinasi lintas lembaga dan kementerian, serta sinergi kebijakan dan peraturan, termasuk kebijakan terkait pemantauan kesehatan dan lingkungan.
Setiap paslon pun harus paham dan menunjukkan bahwa ekonomi sirkular bukan hanya sebatas daur ulang. Sebab jika yang didaur ulang adalah produk sekali pakai, maka akan tetap menimbulkan masalah polusi dan emisi. Sehingga kehadiran negara harus memberikan fasilitas dan sistem guna ulang yang komprehensif. Paslon juga harus memprioritaskan kebijakan pelarangan berbagai jenis plastik sekalai pakai secara nasional
“Perbaikan tata kelola sampah yang signifikan, khususnya pada kelembagaan dan anggaran yang berfokus pada upaya pengurangan sampah sejak dari hulu atau produksi, serta kebijakan terkait tanggung jawab produsen dalam pengurangan produksi dan penggunaan kemasan plastik, harus menjadi prioritas dari para calon presiden dan wakil presiden,” ucap Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup the Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
AZWI mengusung tata kelola sampah yang perlu dilakukan oleh semua paslon di antaranya menetapkan target dan peta jalan pengurangan produksi dan konsumsi plastik nasional. Peta jalan ini bisa dimulai dengan pengurangan produksi polimer problematik dan sulit didaur ulang seperti PVC (Polyvinyl Chloride), dan substitusi dengan material yang lebih aman.
“Membatasi rencana pembangunan industri petrokimia baru dan meninjau kembali kebijakan insentif tax holiday 100 persen untuk 20 tahun, memperketat standar pengendalian pencemaran dan emisi karbon industri petrokimia, mengatur desain dan pola produksi barang dan kemasan agar lebih mudah dipilah, didaur ulang, dan diguna ulang,” tulis AZWI.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Pemilu 2024 atau Pilpres 2024