• Berita
  • Pemilih Muda dalam Peta Kerawanan Pilpres 2024

Pemilih Muda dalam Peta Kerawanan Pilpres 2024

Presiden BEM Unpas M. Reza Zakki Maulana berharap, orang muda menjadi pemain kunci dalam menentukan arah bangsa lima tahun ke depan.

Suasana Nobar film Kejarlah Janji yang diproduksi KPU di Studio 3 XXI Ciwalk, Rabu, 11 Oktober 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana7 November 2023


BandungBergerak.idTahun 2024 setidaknya akan ada dua hajatan politik, yaitu Pemilu serentak yang terdiri dari pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) 14 Februari. Masih di tahun yang sama, pada pada 27 November akan berlangsung Pilkada serentak. Tak heran jika tahun 2024 memiliki tingkat kerawanan tersendiri karena meningkatnya eskalasi politik.

Sebagai pihak yang ada dalam peta Pemilu 2024, pemilih muda tentu memiliki peran penting. Presiden BEM Universitas Pasundan (Unpas) M. Reza Zakki Maulana menuturkan, orang muda punya peran signifikan dalam menentukan arah bangsa lima tahun ke depan.

Mahasiswa Bandung tersebut berharap baik di Pilpres, Pileg, maupun Pilkada generasi muda menjadi pemain kunci (game changer) dalam memilih calon pemimpin.

“Jangan memilih karena diiming-imingi sesuatu, tapi karena kita yakin calon pemimpin yang dipilih betul-betul baik, amanah, berdisiplin ilmu, dan dapat memberikan pandangan baru untuk peradaban bangsa,” ujar Reza, dikutip dari laman Unpas, Bandung, Selasa, 7 November 2023.

Diketahui, dalam peta Pemilu 2024 pada level Pilpres terdapat tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang sudah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo dan Mohammad Mahfud MD, dan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Pada level Pileg pun sejumlah partai sudah mengusung calon anggota DPR. Sementara di level Pilkada, masing-masing daerah juga tengah menyiapkan tahapan pemilihan kepala daerah. Di Bandung Raya, sejumlah daerah juga bersiap menghelat pilkada, di antaranya Pilwalkot Bandung. Ada juga Pilgub Jabar di level provinsi.

Dengan demikian, wajar jika kerawanan politik patut diwaspadai. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) sebagai upaya pemetaan dan deteksi dini terhadap potensi pelanggaran dan kerawanan Pemilu.

Dalam IKP tersebut terdapat 15 wilayah yang memiliki skor IKP tertinggi. Semakin tinggi skor artinya semakin tinggi pula tingkat kerawanannya.

Kabupaten Bandung, Jawa Barat, menempati posisi ketiga dalam daftar ini dengan skor 91,59. Artinya, Kabupaten Bandung memiliki kerawanan dan kasus pelanggaran yang berpotensi menyumbang kerawanan dalam pemilu. 

Baca Juga: Tiga Pasang Kontestan Pilpres 2024 Dianggap Belum Bisa Mewadahi Aspirasi Pemilih Muda
Reklame Politik Mengepung Kampus
Membaca Kerapuhan Mahkamah Konstitusi menjelang Pemilu 2024

Kerawanan Pemilu juga Terkait Faktor Sejarah dan Ekonomi

Menyoal kerawanan pemilu ini, mahasiswa UGM telah melakukan penelitian penyelenggaraan pemilu. Hasil penelitian menunjukkan, menjelang Pemilu 2024 potensi terjadinya konflik dan polarisasi masyarakat semakin tinggi. Terlebih karena seluruh pelaksanaan pemilu dilakukan secara serentak, maka wacana akan keamanan saat pemilu menjadi urgensi tersendiri.

“Semua lapisan masyarakat pastinya akan merasakan hal yang sangat berbeda dari masa pemilu sebelumnya. Kemeriahan dari tahun politik ini pastinya tidak akan bisa terlepas dari konflik yang otomatis timbul karena fanatisme terhadap sebuah pihak. Potensi adanya konflik yang terjadi tidak bisa dipandang secara sebelah mata,” ucap Sherlly Rossa, mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan yang merupakan salah satu peneliti UGM, dikutip dari laman UGM. 

Sherlly menjelaskan, penelitian ini berkaca dari pemilu-pemilu sebelumnya yang juga diwarnai konflik yang disebabkan fanatisme di antara satu pihak dengan yang lainnya.

Sherlly dan tim juga mengungkapkan terdapat indikasi pemicu konflik yang berasal dari organisasi di bawah partai politik. Konflik ini kemudian tidak hanya terkait politik, namun ada hubungannya dengan faktor sejarah, ekonomi, dan personal.

“Awalnya kami menduga konflik ini dipicu oleh adanya perbedaan ideologi antar dua kubu, tetapi temuan di lapangan menunjukkan adanya praktik politik ekonomi formal dan informal,” ungkap Sherlly.

Penemuan ini mengacu adanya kecenderungan organisasi untuk membuat masyarakat turun ke jalan, berkampanye, dan memperlihatkan fanatisme terhadap kelompok tertentu. Ada pun faktor yang paling kuat dilatarbelakangi oleh faktor historis, ekonomi, dan personal.

Meskipun begitu, penelitian juga menjelaskan kesadaran masyarakat akan keutamaan hasil suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) itu sendiri.

“Salah satu informan kami itu mengatakan kalau menang di jalanan juga belum tentu menang suara di TPS, kan sayang. Lebih baik bikin program yang tujuannya menang di TPS,” tutur Sherlly.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut artikel-artikel lain tentang Pilpres atau Pemilu 2023

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//