• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Sikap Ilmiah, Hoaks, dan Hal-hal yang Tak Selesai

MAHASISWA BERSUARA: Sikap Ilmiah, Hoaks, dan Hal-hal yang Tak Selesai

Anak muda terpapar berita bohong sangat tinggi, terutama melalui media sosial sebagai sumber utama informasi mereka. Hoaks paling banyak menyebar di media sosial.

Rizqi Mahbubillah

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Para jurnalis radio di Jawa Barat mendiskusikan langkah pembuktian hoaks dalam pelatihan cek fakta oleh AJI Bandung, di Kota Bandung, Minggu (24/7/2022). (Foto: Iqbal Kusumadirezza/AJI Bandung)*

23 Januari 2024


BandungBergerak.id – Pada zaman dahulu, dunia diselimuti mitos. Dalam artian, orang-orang pada era purba, memersepsi dunia dengan cerita-cerita yang tak dapat dibuktikan kebenarannya. Jalinan cerita ini mengisi imajinasi bersama di kepala orang-orang tentang bagaimana fenomena tertentu bekerja. Ambillah satu contoh, orang-orang Yunani percaya bahwa Zeus pengendali hujan. Seluruh fenomena alam yang terjadi disebabkan oleh suatu andaian bahwa di atas sana, yang tak kasat mata, ada kekuatan-kekuatan yang menjadi musabab di bawah, di bumi ini, sesuatu terjadi.

Mitos-mitos ini tampil dengan banyak pola, struktur, nama-nama, yang berbeda di setiap kebudayaan. Ke semuanya menjadi sumber pengetahuan orang-orang pada zaman dahulu. Jika kita berpelesir ke zaman itu lalu kita bertanya mengapa hujan turun atau mengapa siang-malam terjadi, jawaban yang mereka sediakan pastilah mitos-mitos yang mereka percayai. Di era yang lebih modern, tentu kita menganggap hal itu konyol karena kita memiliki sumber pengetahuan yang berbeda dari mereka, yakni apa yang kita sebut sebagai sains.

Secara sederhana, sains bekerja dalam hukum sebab-akibat atau logika kausalitas. Bahwa kejadian tertentu dilatarbelakangi oleh sebab-sebab tertentu. Polanya sesederhana jika-maka. Contoh berikut akan mengingatkan Anda pada masa sekolah dasar: Jika kita rajin belajar, maka kita pandai; jika kita berolahraga secara teratur, maka tubuh kita lebih bugar. Logika seperti itu yang dipakai ketika para sainstis menjawab pertanyaan tentang bagaimana hujan turun, bagaimana siang-malam terjadi dan segala peristiwa bekerja di dunia ini. Lebih jauh, apa yang membuat sains lebih lanyak kita ikuti adalah hadirnya bukti yang dapat kita cek kebenarannya. Sebab-sebab yang diberikan oleh sains itu dapat dibuktikan secara transparan oleh semua orang.

Paragraf di atas, yang secara praktis menggambarkan bagaimana sains bekerja, juga dapat mewakili bagaimana seharusnya kita berpikir tentang realitas ini. Segala sesuatu memiliki penyebab dan apa yang kita klaim sebagai penyebab ini haruslah dapat dibuktikan kebenarannya. Di sinilah, kemudian, saya ingin melanjutkan ke taraf yang lebih praktis, yakni sebagai cara bersikap. Dalam perbincangannya, sikap seperti ini biasanya disebut Sikap Ilmiah, atau dalam istilah lain dikenal Scientific Attitude/Scientific Tamper.'

Baca Juga: Masyarakat agar Mewaspadai Hoaks di Tahun Politik
Calon Pemilih Muda Rentan Menjadi Sasaran Hoaks Politik
Mewaspadai Hoaks pada Pemilu 2024

Banjir Informasi

McIntyre, dalam The Scientific Attitude (2019), mencatat ada dua prinsip yang harus diperhatikan, yaitu (a) kita peduli dengan bukti empiris dan (b) kita mau mengubah teori jika ditemukan bukti baru. McIntyre merumuskan itu guna memisahkan sains dengan para denialis dan pseudosains. Dijabarkan secara lebih luas, sikap ilmiah ini mensyaratkan di mana individu mampu berpikir logis, kritis, mengacu pada bukti yang dapat dipertanggungjawabkan dan kesediaan diri untuk terbuka jika ada informasi baru yang lebih akurat.

Mengapa sikap ini penting, lebih-lebih untuk kaum muda, para Gen Z?

Dunia kita saat ini dirubung banyak sekali informasi, bahkan banjir informasi. Saya tidak tahu apakah pemakaian istilah “informasi” ini juga tepat untuk sesuatu yang sifatnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebab persis di situlah masalahnya. Tidak semua kabar yang membanjiri kita hari ini, lewat ponsel, komputer dan “perangkat terhubung” lainnya itu berbasis fakta. Ada banyak sekali informasi yang “miring”, bias, tak lengkap, bahkan diniatkan untuk menipu dan menyebar kebohongan.

Kita mungkin akan penasaran dan bertanya, misalnya, persentase risiko dari anak muda terpapar kabar bohong? Untuk menjawab pertanyaan itu, terlebih dahulu kita lihat sumber informasi apa yang paling sering mereka akses.

Kita bisa melihat statistik. Badan Pusat Statistik (Maret, 2023) mencatat sebanyak 94,16% anak muda Indonesia usia 16-30 tahun mengakses internet dalam tiga bulan terakhir. Dari kelompok tersebut, mayoritasnya menggunakan internet untuk mengakses media sosial, yakni sebanyak 84,37%, sedangkan mengakses berita sebanyak 84,28%, dan untuk sepenuhnya hiburan menyentuh angka 83,78%. Sementara itu, dalam data lain, waktu penggunaan ponsel rata-rata penduduk Indonesia secara umum mencapai 4 jam 53 menit per hari, melampaui rerata dunia yang hanya 3 jam 46 menit per hari sebagaimana dicatat We Are Social (Januari 2023).

Informasi Hoaks

Mari kita terbelalak akan riset ini: Ipsos dan UNESCO (Agustus—September 2023) melakukan survei terkait sumber informasi yang dianggap menjadi lumbung berita bohong atau hoaks. Survei ini melibatkan 8.000 responden berusia 18 tahun ke atas yang tersebar di 16 negara (500 responden per negara). Lokasi survei yang dipilih adalah negara-negara yang akan menggelar pemilihan umum pada 2024, termasuk Indonesia.  Hasilnya, ulala, seperti yang kita duga, mayoritas (68%) responden menilai hoaks paling banyak menyebar di media sosial.

Mari kita lihat rumusan logis dari data tersebut: Jika sumber informasi menentukan tingkat kemungkinan terpapar berita bohong dan mayoritas orang Indonesia menggunakan media sosial sebagai sumber informasi sementara hasil survei Ipsos dan UNESCO menunjukkan bahwa mayoritas responden melihat media sosial sebagai tempat berita bohong banyak tersebar maka, kesimpulannya, kemungkinan anak muda terpapar berita bohong sangat tinggi, terutama melalui media sosial sebagai sumber utama informasi mereka.

Terlalu banyak sudah kita menemukan berbagai bentuk kasus hoaks, dari sekala kecil hingga yang menimbulkan keresahan global macam teori konspirasi—yang bahkan memiliki massa sendiri dengan kekeraskepalaannya sendiri. Hal ini pernah sangat masif saat wabah beberapa waktu lalu. Dan, jelang pemilu, mengingat seperti yang kita tahu pada data pemilu 2019, kasus penyebaran berita bohong berpotensi akan semakin meningkat. Sepanjang Juli—Nopember, Kominfo menemukan setidaknya 96 hoaks terkait Pemilu 2024. Dari sini kita tahu, literasi bermedia sanga lah dibutuhkan. Sementara itu,  ketiadaan sikap ilmiah dalam memproses informasi akan memperparah keadaan.

Saya ingin menutup catatan kecil ini dengan memohon. Tolong, saudara-saudaraku, tanamkan dan tumbuhkan sikap ilmiah dalam diri kita dengan menggunakan daya berpikir logis, serta mengacu pada bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Pastikan untuk mengecek dan memvalidasi setiap informasi. Setidaknya, jika kita tidak tahu atau belum tahu atau mungkin malas mencari tahu apakah informasi itu valid atau tidak, tolong jangan sebarkan. Dengan tidak turut membiakkan kabar yang masih belum jelas, itu sudah merupakan penghargaan besar bagi saya, bagi Bangsa Indonesia yang kita cintai, bagi Ilmu Pengetahuan, bagi Sang Kebenaran.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//