Kritik Penuh Cinta dari Bobotoh kepada Persib
Persib bukan sekadar klub sepak bola. Persib memiliki suporter fanatik yang disebut bobotoh. Suara resah dan kritis bobotoh pada Persib mesti didengar.
Penulis Fitri Amanda 24 Januari 2024
BandungBergerak.id - "Kritik adalah bentuk cinta tertinggi dari bobotoh (suporter) kepada Persib," ucap Rizki Sanjaya, dalam bukunya "Persib dan Ilusi Suranjana" yang pada Jumat 19 Januari 2023 didiskusikan di Jumaahan ke-57 Kedai Jante, Bandung. Buku ini terdiri dari 17 tulisan, satu di antaranya carita pondok (carpon). Semua tulisan membicarakan Maung Bandung secara kritis.
Rizki Sanjaya mengupas berbagai aspek yang melibatkan Persib dengan perspektifnya yang tajam. Lebih dari sekadar membahas tahun kelahiran Persib yang kerap kali menjadi bahan perdebatan, ia mengupas ilusi yang terbangun seiring kepemimpinan PT Persib Bangun Bermartabat, entitas yang mengelola klub sepak bola kebaggaan warga Bandung, Jawa Barat.
Kritik Rizki terfokus pada gaya pengelolaan swastanisasi Persib pascadidanai APBD Pemkot Bandung, serta strategi-strategi yang, menurutnya, menyimpang dari esensi sepak bola. Sebagai contoh, akuisisi klub basket Prawira Bandung oleh PT Persib Bandung Bermartabat menjadi salah satu perbincangan kritisnya. Rizki mempertanyakan mengapa mereka memilih melibatkan PT Persib Bandung Bermatabat yang merupakan entitas dari sepak bola, alih-alih menciptakan unit bisnis berbentuk perusahaan terpisah.
Tagline "sepak bola untuk semua" yang diusung oleh Persib juga mendapat sorotan tajam. Rizki membahas ketidaksesuaian antara tagline dan kenyataan saat ini, salah satunya harga tiket yang melonjak yang menjadikan kehadiran di stadion hanya terjangkau bagi mereka yang mampu secara finansial.
Kritik meluas terkait pertandingan Persib melawan Persita Tangerang, Ia menyoroti kejadian di mana pendukung dari Tangerang dipulangkan hanya karena berasal dari daerah tersebut dan memiliki KTP Tangerang. Tindakan ini dinilai tak sejalan dengan semangat "sepak bola untuk semua”. PT Persib Bandung Bermartabat seharusnya memberikan pendekatan yang lebih inklusif.
“Karena bagi saya, mengerdilkan niat seseorang untuk menonton sepak bola hanya berdasarkan tempat lahirnya itu sudah merupakan diskriminasi. Jadi sangat jauh dari tagline sepak bola untuk semua,” ucap Rizki, dalam diskusi yang dihadiri orang-orang muda Bandung terutama bobotoh.
Keputusan Persib yang semakin menjauh dari nilai-nilai sepak bola juga menjadi sasaran kritik Rizki. Ada empat perusahaan yang kini menggunakan nama Persib di bawah naungan PT Persib Bandung Bermatabat. Ia mencemaskan mau ke mana Persib akan dibawa.
Kritik dari Akar Rumput
Perbedaan esensial buku "Persib dan Ilusi Sulanjana" dibanding karya-karya lain yang membahas Persib terletak pada keterlibatan penulisnya sebagai bobotoh yang berasal dari akar rumput. Perbedaan ini menurut Rizki bukanlah perihal memihak antara APBD dan swasta, melainkan sebuah refleksi kecocokan antara manajemen dan esensi sepak bola.
Dia menyampaikan kebingungan yang muncul ketika Persib dikelola oleh individu yang mungkin tidak sepenuhnya memahami dinamika sepak bola. Ketidakpahaman manajemen kemudian menghasilkan kebijakan yang meragukan.
Contohnya terkait kebijakan tiket. Soal ini, Rizki menjelaskan sepak bola dipengaruhi budaya suporternya, dalam hal ini perkembangan Persib dipengaruhi oleh bobotoh. Rizki merindukan masa di mana orang-orang dari berbagai daerah dapat dengan mudah berkumpul di stadion, membentuk solidaritas kolektif.
Namun yang terjadi saat ini, bobotoh menghadapi kendala dalam verifikasi dan penukaran tiket. Salah satu penyebab fenomena ini karena lokasi stadion yang menghambat aksesibilitas masyarakat daerah atau bobotoh yang berasal dari luar Bandung.
Sebagai respons terhadap masalah tersebut, Rizki mengusulkan solusi praktis berupa penukaran tiket di area dekat stadion atau kurasi melalui verifikasi di ring 4 dengan metode scan barcode handphone sebelum penukaran tiket fisik di stadion. Hal ini perlu dilakukan agar bobotoh Persib bisa lebih praktis dalam mengakses pertandingan Persib.
Diskusi tersebut menghadirkan penulis sejarah yang juga menulit tentang Persib, Atep Kurnia. Ia mengapresiasi Rizki sebagai seorang bobotoh literat yang membaca dan menulis. Buku yang ditulis Rizki sebagai bukti konkret dari keterlibatannya sebagai penganut sepak bola yang mengakar dalam budaya Sunda.
Atep menekankan bahwa buku ini bukan hanya berisi opini atau pandangan pribadi, melainkan juga menyajikan informasi dan fakta yang dapat memberikan pemahaman bagi mereka yang tidak mengikuti perkembangan sejarah Persib secara terperinci. Ia menyoroti aktualitas buku ini, terutama dalam mengomentari peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan Persib, seperti manajemen PT Persib Bandung Bermatabat, bobotoh, pelatih, dan pemain, termasuk figur legendaris seperti Adeng Hudaya.
Terkait dengan permasalahan tiket, Atep mencatat bahwa buku ini mengulas kesulitan dan intrik yang terjadi, memberikan pemahaman mendalam tentang kompleksitas masalah tersebut. Rizki, menurut Atep, dengan argumentasinya sering kali menghadirkan perspektif yang menerawang ke belakang, mengambil peristiwa masa lalu dalam sejarah Persib untuk membaca dan memberikan komentar terhadap realitas masa kini.
Baca Juga: Mencurigai Naskah Akademik Hari Lahir Persib, Menengok Skripsi Fajar Salam
Persib Lupa Tanggal Lahirnya Sendiri
Sejarah Maenbal di Bandung dan Lahirnya Persib
Persib dan Bobotoh
Atep Kurnia juga mengulas penamaan suporter Persib yang disebut bobotoh. Atep telah menelusuri Koran Sipatahoenan dari tahun 1920-an hingga 1940-an (1924-1942) untuk sebutan superter sepak bola ini, ternyata istilah bobotoh belum digunakan. Pada masa itu pendukung Persib masih mengacu pada sebutan umum.
Atep kemudian membahas semangat militan para pendukung Persib pada masa tersebut, khususnya antara tahun 1930-an hingga 1940-an. Meskipun istilah bobotoh belum eksis, para pendukung Persib tetap sama militannya dengan masa sekarang. Mereka mendukung Persib dengan antusias, datang ke mana pun Persib bermain.
Atep menggambarkan kesan mendalamnya saat Persib meraih juara pada tahun 1937, yang terdokumentasi dalam Koran Sipatahoenan. Foto-foto dan liputan meriah pada halaman pertama mencerminkan bagaimana militansi para pendukung Persib saat itu. Istilah bobotoh juga dikenal pada masa tersebut.
Ketika ditanya mengenai perbedaan militansi antara zaman dulu dan sekarang, Atep menyatakan perbedaan terletak pada perkembangan teknologi dan pandangan dunia yang berbeda. Pada masa lalu, akses informasi lebih sulit, terutama bagi masyarakat di perdesaan yang bergantung pada koran-koran.
Namun, sekarang, dengan perkembangan teknologi, informasi dapat diakses dengan mudah, misalnya melalui internet; jika ingin menonton pertandingan Persib, bobotoh bisa melalui streaming. Teknologi digital mempengaruhi persebaran dan diseminasi informasi. Hal ini pada akhirnya membentuk opini publik, menciptakan perbedaan dalam cara para bobotoh atau pendukung Persib memperoleh dan merespons informasi, seiring dengan evolusi zaman.
Persib merupakan klub sepak bola dengan sejarah panjang. Karena itu, Persib memiliki banyak arsip dan jejak sejarah. Arsip sejarah ini penting untuk dijadikan acuan hari ini.
“Jadi kalau kita mempelajari masa lalu, melalui arsip bisa dibilang sama artinya dengan mempelajari hari ini, hari sekarang. Jadi membaca masa lalu untuk masa sekarang,” kata Atep.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain tentang Aksi Kamisan Bandung