• Berita
  • Mahasiswa Merespons Pemilu dengan Festival Bandung Lautan Api

Mahasiswa Merespons Pemilu dengan Festival Bandung Lautan Api

Pemilu 2024 akan melahirkan pemimpin baru. Mahasiswa diharapkan menjadi lumbung gagasan kritis pada calon presiden dan wakil presiden di Pilpres 2024.

Danny dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat (kiri) dan Yasar dari ICW (tengah) saat sesi diskusi di Festival Bandung Lautan Api, Taman Musik, Bandung, Kamis, 25 Januari 2024. (Foto: RaihanMalik/ BandungBergerak.id)

Penulis Raihan Malik27 Januari 2024


BandungBergerak.id - Aliansi Mahasiswa Bandung Raya menginisiasi Festival Bandung Lautan Api sebagai respons terhadap Pemilu 2024 yang semakin dekat. Festival yang berlangsung di Taman Musik Bandung, Kamis, 25 Januari 2024 ini mengingatkan bahwa mahasiswa sebagai kaum intelektual memiliki peran sebagai hati dan mata masyarakat khususnya soal politik. Mereka berperan melawan politik jahat, juga menjadi lumbung gagasan bagi masyarakat.

Festival Bandung Lautan Api dilatarbelakangi dengan sejarah Bandung sebagai episentrum pergerakan. Diharapkan semangat zaman tersebut bisa kembali bangkit di saat pergerakan saat ini mulai meredup. Mahasiswa menilai, para pemimpin atau calon pemimpin di Indonesia tidak mengedepankan gagasan, visi, dan misi. Mereka hanya mengedepankan uang.

Alwi, perwakilan mahasiswa, mengatakan mahasiswa sebagai kaum intelektual perlu menggampar wajah para calon pemimpin atau calon koruptor dengan tamparan menyakitkan. Mahasiswa mesti memperlihatkan kebusukan mereka di depan generasi muda, agar tahu bahwa yang memimpin negara hari ini bukan orang yang tepat.

Alwi kemudian membeberkan rekam jejak para pasangan calon presiden dan wakil presiden Pilpres 2024. Ia menyebut, PKB yang mengusung Anies Baswedan dan Gus Muhaimin memiliki catatan kasus suap dan gratifikasi total 18 kasus dengan kerugian 35,8 miliar rupiah. Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo Subianto memiliki catatan kasus suap dan gratifikasi 23 kasus dengan total kerugian 62,3 miliiar (rupiah).

Berikutnya, PDI-P memiliki catatan suap dan gratifikasi 66 kasus dengan total kerugian 311 miliar (rupiah), ditambah kasus kerugian uang negara 39,8 miliar rupiah.

“Tiga pasangan calon juga mempunyai kasus pelanggaran HAM. Anies dengan 76 kasus penggusuran di era kepemimpinannya di Jakarta, Prabowo dengan penculikan aktivis '98, dan Ganjar Pranowo dengan kasus di Wadas tanpa kejelasan hingga sekarang,” beber Alwi.

“Jadi, kepada siapa masyarakat Indonesia akan menggantungkan nasibnya? Kita mahasiswa dan masyarakat tidak boleh terpengaruh oleh keuntungan mereka. Mari kembalikan bara api dari kota lahirnya lautan api, dan Festival Bandung Lautan Api menjadi entry point untuk mengaktifkan ruang membuat para birokrat gemetar. Jangan diam! Lawan, jangan diam! Lawan," papar Alwi.

Kalangan seniman Bandung juga turut mendukung aksi mahasiswa ini, salah satunya Gusjur Mahesa. Menurutnya sudah saatnya mahasiswa bergerak menyuarakan ketidakadilan di tengah maraknya korupsi. Salah satu kasus yang mencolok mata adalah Mahkamah Konstitusi (MK) yang mestinya menjadi gerbang keadilan tetapi kini justru tidak adil.

"Sekarang konstitusi diobrak-abrik. Mengapa mahasiswa diam? Kenapa yang bergerak sedikit tidak semasif zaman Omnibus Law? Ini tidak masuk akal bagi saya, ini sudah merusak konstitusi. Anda bayangkan, MK diobrak-abrik seperti itu. MK itu lembaga apa? Yudikatif, legislatif, atau eksekutif? MK itu yudikatif, dia yang mengadili, bukan yang membuat undang-undang yang sudah diobrak-abrik," kata Gusjur Mahesa, mengacu pada keputusan MK untuk memuluskan jalan bagi anak presiden agar bisa maju ke Pilpres 2024.

Gusjur juga menyoroti koruptor yang masih bisa berpolitik. Ia menilai, tidak ada budaya malu di kalangan elite politik. Seharusnya ada undang-undang yang melarang koruptor berpolitik.

“Kalau yang sudah pernah korupsi itu tidak boleh ikut lagi, ya minimal 20 tahun tidak boleh terlibat dalam politik. Artinya, manehna enggeus kolot moal ngilu politik deui, enggeus teu laku," ucapnya.

Ia berharap aksi mahasiswa terus bergulir untuk mengingatkan masyarakat agar tidak memilih calon-calon koruptor. Menurutnya masih ada waktu bagi mahasiswa untuk menyuarakan kebenaran.

Gagasan perempuan disuarakan Ajeng dalam Festival Bandung Lautan Api ini. Ia mengatakan, banyak calon-calon legislator yang terjun di Pemilu 2024. Namun mereka kurang memiliki gagasan. Padahal Indonesia membutuhkan wakil perempuan yang memiliki kompetensi.

“Sayangnya, masih banyak yang mencalonkan diri tanpa kompetensi, hanya bermodal wajah di mana-mana. Mereka mengaku mewakili perempuan, tapi saat perempuan butuh bantuan terutama terkait kekerasan seksual, di mana mereka? Saya tidak percaya pada calon legislatif yang mengatasnamakan perempuan, karena akhirnya mereka hanya mencari keuntungan tanpa benar-benar mewakili perempuan Indonesia," ucap Ajeng.

Baca Juga: Upah Buruh-buruh Kafe di Bandung Sepahit Biji Kopi
Melihat Kembali Perampasan Ruang Hidup Masyarakat
Animal Friends Jogja Mendesak McDonalds Simpang Dago Mengakhiri Penderitaan Ayam Petelur

Tidak Percaya Pemilu

Yasar dari ICW setuju dengan label "TIDAK PERCAYA PEMILU" yang diusung di festival ini. Pascareformasi 1998, kemenangan masyarakat terhadap kediktatoran Orde Baru Suharto membawa dua perubahan utama. Pertama, penjabat korup dapat dipenjara dan KPK hadir sebagai instrumen hukum yang dianggap adil. Kedua, pemilu menjadi rutin dan independen secara konseptual.

Namun, di lapangan, perubahan tersebut terasa amburadul, terutama terlihat dalam silih berganti kasus korupsi politisi dari 2004 hingga 2022. Meskipun pemilu menjadi lebih rutin dan transparan dengan lebih banyak partai berpartisipasi, tidak ada perubahan signifikan pada pra kondisi oligarki. Pemodal tetap memodali politisi, dan pemilu tetap mahal dengan kontrak politik yang melibatkan pemodal dan politisi.

Pemilihan politisi pada akhirnya tidak dapat dilakukan secara individual, melainkan sebagai paket yang mencakup praktik-praktik korupsi setelah mereka menang. Undang-undang KPK dan Omnibus Law yang menguntungkan pebisnis kotor, juga memberikan gambaran bahwa kekuasaan masih terkonsentrasi dalam lingkaran elit.

"Ketidakpercayaan terhadap pemilu muncul karena perubahan yang diharapkan tampaknya hanya rotasi elite yang mempertahankan kepentingan oligarki," tutur Yasar.

Perwakilan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat Danny menyoroti hasil debat cawapres baru-baru ini yang membahas lingkungan. Menurutnya, para kandidat tidak memberikan perhatian serius terhadap lingkungan hidup. Contohnya, ketiga calon tidak menunjukkan keberanian untuk mencabut Undang Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) dan Undang Undang Minerba. Padahal undang undang ini sebagai faktor utama yang mendukung kerusakan lingkungan.

"Pemilu ini sebenernya mereka mengadakan debat satu sesi membahas soal lingkungan hidup, tapi secara substansi mereka tidak serius untuk membahas lingkungan hidup, mereka selalu beretorika dan memang tidak ada gagasan yang betul-betul ingin menyelamatkan lingkungan hidup," beber Danny.

*Kawan-kawan dapat membaca lebih lanjut tulisan Raihan Malik atau artikel lain tentang Pemilu 2024 dan Pilpres 2024

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//