• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Sudahkah Keadilan Berpihak kepada Warga Dago Elos?

MAHASISWA BERSUARA: Sudahkah Keadilan Berpihak kepada Warga Dago Elos?

Kasus sengketa tanah Dago Elos tidak menampilkan citra hakim yang bertindak adil dan melanggar prinsip kepastian hukum.

Andrew RGM Manurung

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

The RW hall of Dago Elos, Bandung, June 2022. (Photo: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

29 Januari 2024


BandungBergerak.id – Keadilan bagi warga Dago Elos yang seharusnya didapatkan sebagai hak warga negara telah dirampas oleh keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha melalui putusan hakim. Hakim dalam representasi sebagai wakil negara telah keliru dalam membuat putusan. Putusan yang dijatuhkan tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Pada kasus sengketa tanah antara warga Dago Elos dengan keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha, peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk menyelesaikan kasus ini adalah Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Dasar 1945. Warga yang memiliki bukti-bukti kuat yang seharusnya dimenangkan malah mengalami kekalahan di Pengadilan.

Jika kita melihat kembali ke dalam sejarah, Indonesia termasuk ke dalam salah satu negara yang menganut sistem hukum civil law (Eropa Kontinental). Hukum tertulis menjadi acuan tertinggi dalam sistem hukum civil law. Sebagai contoh dalam kasus ini, mengacu kepada sistem hukum civil law, hakim harus membuat putusan yang tidak hanya sesuai dengan apa yang telah tertulis di peraturan perundang-undangan melainkan juga harus mencerminkan rasa keadilan sesuai dengan Pancasila sebagai cita hukum tertinggi yang mana tercantum dalam sila ke 5 yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Baca Juga: Mengapa Hukum Kolonial Belanda masih Punya Kuasa di Dago Elos?
Warga Dago Elos Melengkapi Bukti-bukti Dugaan Pemalsuan Dokumen Tanah oleh Keluarga Muller
Mendengarkan Suara Perlawanan dari Festival Keadilan di Dago Elos

Eigendom Verponding

Kericuhan yang terjadi antara aparat kepolisian dengan warga Dago Elos yang terjadi pada hari Senin, 14 Agustus 2023, malam tidak terjadi tanpa sebab. Pada tahun 2016, keluarga Muller bersama dengan P.T Dago Inti Graha mengajukan gugatan dengan mengklaim tanah dengan bukti kepemilikan berupa Eigendom Verponding nomor 3740, 3741, 3742. Adapun Eigendom Verponding merupakan hak atas tanah yang berasal dari hak-hak barat yang menurut Undang-undang Pokok Agraria, hak barat atas tanah tersebut harus dikonversi menjadi hak milik selambat-lambatnya pada 24 September 1980 yaitu sejak Undang-undang Pokok Agraria berlaku (selanjutnya disebut UUPA). Eigendom Verponding ini tidak dikonversi menjadi hak milik oleh keluarga Muller.

Pada Agustus 2017, Hakim Pengadilan Negeri Bandung mengeluarkan putusan tanah-tanah yang menjadi objek sengketa adalah sah milik keluarga Muller. Pada putusan ini, warga Dago Elos mengajukan banding atas putusan tersebut. Hakim Pengadilan Tinggi juga mengeluarkan putusan yang sama dengan putusan Pengadilan Negeri. Tidak puas atas putusan Pengadilan Tinggi, warga Dago Elos pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa keluarga Muller tidak berhak atas tanah sengketa tersebut dikarenakan mereka tidak melakukan konversi atas tanah tersebut sehingga tanah tersebut menjadi tanah milik negara. Putusan Mahkamah Agung sudah tepat dan sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-hak Barat yang berbunyi:

 “Tanah Hak Guna, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak barat, jangka waktu akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara”.

Keluarga Muller mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Mahkamah Agung tersebut dan dimenangkan dalam putusan Peninjauan Kembali. Saat itulah keadilan milik warga Dago Elos dirampas oleh keluarga Muller melalui putusan yang hakim yang keliru.

Mengutip dari halaman website LBH Bandung, masih banyak lagi kejanggalan-kejanggalan dari Putusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi. Akibat dari Putusan tersebut sekitar 331 KK dan ribuan jiwa warga dago elos yang tinggal di atas lahan seluas 69.346 M2, terancam diusir dari rumah dan tempat tinggal yang telah mereka tempati selama puluhan tahun. Padahal mereka telah menempati lahan tersebut secara legal dan beritikad baik dengan  tertib membayar pajak, sebagian rumah bahkan telah diterbitkan sertifikatnya oleh BPN.

Dari uraian kasus di atas, apakah putusan hakim sudah sesuai dengan ketentuan UUPA? Apakah ada keadilan dalam putusan tersebut?

Putusan Hakim yang Menyimpang

Putusan hakim tersebut telah menyimpang dari Undang-Undang dan mengabaikan rasa keadilan. Dalam kasus sengketa tanah Dago Elos, contoh yang paling jelas terlihat adalah mengabaikan bukti-bukti yang mendukung klaim pemilik tanah yang sah, memihak kepada pihak yang mengklaim tanah tanpa dasar hukum yang kuat dan mengeluarkan putusan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

Eigendom Verponding yang sudah tidak berlaku malah dianggap sebagai dasar pembenaran terhadap gugatan keluarga Muller. Eigendom Verponding yang merupakan bukti kepemilikan tanah pada masa kolonial seharusnya tidak bisa dijadikan bukti untuk memenangkan gugatan keluarga Muller. Eigendom Verponding yang dimiliki oleh keluarga Muller tidak dikonversi pada batas tanggal yang ditentukan oleh Undang-undang Pokok Agraria yaitu tanggal 24 September 1980. Keluarga Muller jelas sudah tidak memiliki hak sama sekali karena Eigendom Verponding yang mereka jadikan dasar gugatan tidak berlaku lagi.

Putusan hakim yang diharapkan oleh warga Dago Elos untuk membela keadilan malah tidak sesuai dengan Undang-undang Pokok Agraria. Ini merupakan bentuk pelanggaran hukum yang merugikan masyarakat dan mengancam kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Kasus sengketa tanah Dago Elos tidak menampilkan citra hakim yang bertindak adil dan melanggar prinsip kepastian hukum. Hal ini terbukti dengan putusan hakim dalam perkara tersebut yang tidak mengikuti ketentuan yang sudah diatur dalam UUPA dan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1979.

Hemat saya, diperlukan tindakan hukum yang tegas terhadap hakim yang telah keliru dalam membuat putusan sengketa, pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial dan masyarakat sipil, serta reformasi sistem peradilan yang lebih transparan, akuntabel dan independen. Dengan demikian, rasa keadilan dan kepastian hukum akan semakin tinggi sehingga hak-hak warga Dago Elos yang telah dirampas dapat dikembalikan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//