• Berita
  • Mengapa Hukum Kolonial Belanda masih Punya Kuasa di Dago Elos?

Mengapa Hukum Kolonial Belanda masih Punya Kuasa di Dago Elos?

Hari kemerdekaan menjadi ironi bagi warga Dago Elos yang terlibat sengketa tanah dengan keluarga Muller dengan klaimnya berdasarkan hukum kolonial Belanda.

Suasana kawasan Jalan Dago Bandung ketika warga Dago Elos memblokir jalan, sebelum aparat kepolisian membubarkan massa dengan kekerasan, Senin (14/8/2023) malam. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana17 Agustus 2023


BandungBergerak.id - Sengketa tanah Dago Elos ramai di media sosial. Salah satu pertanyaan warganet, kenapa keluarga Muller yang berbekal bukti-bukti humum tanah di masa kolonial (Eigendom Verponding) bisa sampai menang di pengadilan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sudah 78 tahun merdeka?

Salah satu puncak konflik tanah Dago Elos terjadi Senin (14/8/2023) malam lalu. Langit Dago Elos membara, bentrokan tak seimbang terjadi antara warga dan aparat kepolisian, gas air mata meletus, penyisiran, dan ironisnya semua terjadi menjelang hari kemerdekaan 17 Agustus.

Banyak warga usia dewasa sampai anak-anak trauma dengan peristiwa malam mencekam tersebut. Konflik ini tidak tiba-tiba muncul tanpa penyebab. Ada proses gugatan hukum yang mengusik kehidupan warga Dago Elos setelah mereka berpuluh-puluh tahun hidup di alam merdeka.

Keluarga Muller mengklaim tanah Dago Elos sebagai warisan kakek mereka, George Hendrikus Wilhelmus (GHW) Muller, melalui penetapan ahli waris bernomor 687/pdt.p/2013 yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama kelas IA Cimahi.

Menurut penelusuran Tim Advokasi Dago Melawan pada dokumen yang diajukan keluarga Muller ke Pengadilan Agama Cimahi disebutkan, George Hendrikus Wilhelmus Muller ditugaskan oleh Ratu Belanda Wilhelmina di nusantara. Namun klaim utusan Ratu Belanda ini dibantah dokumen dari akta notaris yang dikeluarkan pada tahun 1891 di Den Haag, Belanda selatan.

Dokumen tersebut menyebutkan bahwa George Hendrikus Wilhelmus Muller bukanlah utusan Ratu Belanda, melainkan seorang pekerja swasta yang bermukim di Tegal Mauk, Sindangwangi, Cicalengka, Karesidenan Kabupaten Preanger, Hindia Belanda.

Berbekal dokumen tamah yang diduga palsu tersebut, keluarga Muller menggugat warga Dago Elos ke Pengadilan Negeri Kota Bandung pada 2016 dan Pengadilan Tinggi (2017) dengan putusan warga kalah. Namun putusan ini dianulir di tingkat kasasi yang menyatakan warga Dago Elos sebagai pemenang. Keluarga Muller kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung pada 2022 dengan hasil warga Dago Elos yang kalah. 

Selama proses pengadilan di tingkat pertama hingga PK, tampak putusan-putusan pengadilan saling bertentangan. Warga mencatat kemenangan di tingkat kasasi, namun dimentahkan pada tingkat PK.

Hukum Kolonial vs Hukum Nasional

Amalia Nurfitria Syukur, Hajriyanti Nuraini, Yusmiati Yusmiati (Amalia dkk) dalam Jurnal Poros Hukum Padjadjaran (Unpad) berjudul “Analisis Pertimbangan Hakim dalam Kasus Dago Elos” menganalisa kejanggalan proses hukum sengketa tanah Dago Elos mulai pengadilan tingkat pertama hingga Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. 

Amalia dkk menyimpulkan terdapat ketidakadilan bagi warga Dago Elos yang telah menduduki tanah objek sengketa serta telah memiliki pula Hak Milik dan Hak Guna Bangunan bagi sebagian tanah objek sengketa tersebut.

“Hakim sebagai salah satu penegak hukum diharapkan dapat menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” demikian kesimpulan Amalia dkk dalam menilai putusan Peninjauan Kembali hakim Mahkamah Agung, dalam jurnal yang diakses Kamis (17/8/2023).

Bagaimana Amalia dkk bisa sampai pada kesimpulan tersebut? Pada awal jurnal dijelaskan masuknya Belanda ke nusantara pada 1912 memaksa diberlakukannya hukum Negara Belanda yang mengakibatkan terjadinya dualisme hukum pertanahan, yakni hukum barat dan hukum yang ada di nusantara.

Akan tetapi, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960, dualisme hukum pertanahan resmi berakhir, “...hak-hak yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini semua akan dikonversi menjadi salah satu hak yang baru menurut UUPA,” tulis Amalia dkk.

Sebagai negeri yang pernah mengalami dualisme hukum pertanahan, yakni hukum kolonial dan hukum nusantara (termasuk hukum adat), Indonesia memiliki banyak sekali potensi sengketa tanah. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, hingga tahun 2020 tercatat sebanyak 12.458 kasus pertanahan yang masuk ke BPN RI.

Bahkan Konsorsium Pembaruan Agraria menyebutkan bahwa tahun 2020 adalah tahun perampasan tanah berskala besar, sebab yang terjadi adalah perampasan pertanahan yang difasilitasi oleh hukum dan disetir oleh modal. Jika diakumulasi sejak tahun 2015 hingga 2020 maka total kasus pertanahan sebanyak 2.288 kasus. Dari sekian banyak kasus pertanahan, salah satunya melibatkan warga Dago Elos dengan keluarga Muller.

Warga Dago Elos membentangkan spandung menolak penggusuran, Bandung, Selasa (15/8/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Warga Dago Elos membentangkan spandung menolak penggusuran, Bandung, Selasa (15/8/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Kronologi Kasus Hukum Dago Elos

Amalia dkk meringkas profil keluarga Muller. Singkatnya, mereka yang menggugat warga Dago Elos terdiri dari Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller, adalah keturunan dari George Hendrik Muller, seorang warga Jerman (dalam berita sebelumnya ditulis warga Belanda) yang tinggal di Bandung pada masa kolonial Belanda.

Pada tahun 2016, keluarga Muller bersama dengan PT Dago Inti Graha (perusahaan properti di Bandung), mengajukan gugatan dengan mengklaim tanah tersebut dengan kepemilikan Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741, 3742. Di atas tanah yang diklaim tersebut sekarang terdapat Kantor Pos, Terminal Dago, dan ditempati oleh rumah-rumah warga RT 01 dan 02 dari RW 02 Dago Elos yang berjumlah 335 orang.

“Eigendom Verponding adalah hak tanah yang berasal dari hak-hak barat yang menurut Undang-Undang Pokok Agraria, hak barat atas tanah tersebut harus dikonversi menjadi hak milik selambat-lambatnya pada 24 Desember 1980 yaitu sejak UUPA berlaku,” terang Amalia dkk.

Sejak berlakunya UUPA di Indonesia, ada ketentuan bahwa semua tanah barat (Eigendom Verponding) dikuasi negara. Tanah dengan status Eigendom Verponding bisa dikonversi menjadi hak jika pemilik memiliki bukti melakukan pendaftaran konversi. Lalu, semua tanah-tanah yang tidak dikonversi sampai dengan tanggal 24 September 1980, statusnya berubah menjadi tanah yang dikuasai oleh negara.

Jika dikaitkan dengan kasus yang terjadi antara Warga Dago Elos dan keluarga Muller diketahui bahwa tanah-tanah yang termasuk dalam Acte Van Eigendom Verpondings Nummer 3740, 3741 en 3742 Aan George Hendrik Muller (yang menjadi objek sengketa) adalah Tanah Negara bekas Hak Barat.

Mengacu pada UUPA, sampai jangka waktu yang ditetapkan yaitu 24 September 1980 George Hendrik Muller atau Keluarga Muller lainnya tidak ada yang mengajukan permohonan untuk melaksanakan konversi Hak atas Tanah yang dimilikinya.

“Alih-alih melakukan kewajibannya dengan melakukan pencatatan ulang atas tanah yang dimilikinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Keluarga Muller memilih untuk menghilang dan kembali dengan membawa gugatan untuk para Warga Dago Elos,” tulis Amalia dkk.

Hingga akhirnya, pada Agustus 2017, Hakim Pengadilan Negeri Bandung memutuskan tanah-tanah yang menjadi objek sengketa adalah sah milik keluarga  

Muller dan memerintahkan agar warga dan pihak lainnya yang berkedudukan sebagai tergugat untuk meninggalkan lahan Dago Elos.

Merasa putusan tersebut tidak adil, Warga Dago Elos mengajukan banding atas putusan tersebut. Sayangnya, dalam Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Bandung pun menyatakan kepemilikan tanah-tanah yang objek sengketa tersebut tetap diberikan kepada Keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha.

Warga Dago Elos kemudian menempuh kasasi. Hakim kasasi menyatakan keluarga Muller tidak berhak atas lahan Dago Elos dikarenakan tidak melakukan konversi atas Eigendom Verponding atas nama kakeknya yang menyebabkan tanah tersebut menjadi Tanah Negara, sehingga warga Dago Elos dinyatakan sah untuk menduduki objek sengketa karena telah menguasainya dalam kurun waktu lama, terus menerus, dan sebagian sudah diberikan sertifikat hak milik.

Kebahagiaan warga Dago Elos tidak berlangsung lama. Di tengah-tengah pengajuan sertifikat oleh Warga Dago Elos kepada Kantor Pertanahan Kota Bandung, keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha mengajukan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung, yang hasil akhirnya kembali memenangkan keluarga Muller.

Amalia dkk lalu mengutip pernyataan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung terkait pusutan Peninjauan Kembali. “Putusan dalam kasus yang melibatkan Warga Dago Elos dengan Heri Hermawan Muller tersebut telah menginjakinjak kebenaran dan rasa keadilan Warga Dago Elos dan juga telah menghina hukum nasional,” tulis Amalia dkk.

Dalam putusan-putusan kasus Dago Elos, khususnya putusan yang dikeluarkan oleh hakim tingkat pertama, banding, dan Peninjauan Kembali menimbulkan banyak kejanggalan dan tidak mencerminkan adanya perlindungan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. 

Baca Juga: Duduk Perkara Dugaan Penipuan Dokumen Klaim Tanah Dago Elos
Haris Azhar Menyemangati Warga Dago Elos untuk Terus Melawan Mempertahankan Tanahnya
Dago Elos dalam Angka, Warisan Kolonial Merongrong Warga

Kelemahan Eigendom Verponding Keluarga Muller

Analisis hukum yang dilakukan Sryani Br. Ginting dan Wilson Lidjon dari Program Studi Hukum UPH Kampus Medan dalam jurnal "Analisis Kasus Sengketa Tanah Di Dago Elos Akibat Hukum Eigendom Verponding" juga semakin menguatkan posisi warga Dago Elos melawan kaluarga Muller.

Sryani Br. Ginting dan Wilson Lidjon menulis, kedudukan hak atas tanah yang dimiliki oleh warga di Dago Elos lebih kuat dibandingkan dengan kedudukan eigendom verponding yang dimiliki oleh keluarga Muller.

“Karena berdasarkan ketentuan konversi Pasal I UUPA, hak eigendom harus dikonversi sedangkan hak atas tanah (warga Dago Elos) tidak perlu dikonversi berdasarkan UUPA,” tulis Sryani Br. Ginting dan Wilson Lidjon.

Status eigendom verponding yang dimiliki oleh keluarga Muller merupakan tanah negara, bukan merupakan tanah dari barat lagi karena telah melewati tanggal 24 September 1980 sesuai dengan ketentuan UUPA dan dalam Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979.

Sementara hak atas tanah yang dimiliki oleh warga di Dago Elos, lanjut kedua penulis, tidak perlu dikonversi karena merupakan hak baru yaitu Hak Milik yang ada sejak berlakunya UUPA.

“Sedangkan eigendom verponding merupakan hak lama yaitu hak yang sudah ada sebelum berlakunya UUPA sehingga harus dikonversi karena Hukum Agraria yang berlaku di Indonesia sekarang tidak bersifat dualisme lagi sehingga Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah Hukum Adat dan tidak didasarkan lagi atas Hukum Tanah Barat,” terang kedua peneliti hukum tersebut.   

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//