Festival Kampung Kota 3: Dago Elos Melawan Klaim Investor dengan Solidaritas
Ketika muncul klaim lahan untuk investasi, warga Dago Elos bisa melawan dengan modal sosial dan budaya, seperti menggelar Festival Kampung Kota.
Penulis Nur Aulia Rahman11 Juli 2023
BandungBergerak.id - Orang-orang duduk berderet di bawah tenda Festival Kampung Kota 3 di Dago Elos, Bandung, Minggu sore (9/7/2023). Mereka menyimak rangkaian diskusi yang disampaikan para ahli tentang pentingnya warga Dago Elos untuk mempertahankan tanah mereka dari penggusuran oleh penguasa maupun pengusaha.
Festival Kampung Kota 3 tersebut mengundang beberapa akademikus yang membedah sejumlah tema terkait penggusuran, salah satunya Bedah Buku Gentrifikasi: The New Urban Frontier Karya Neil Smith.
Semangat Melawan Sabubukna
Diskusi bedah buku di Dago Elos itu menghadirkan Gregorius Sri Wuryanto, dosen arsitektur Universitas Kristen Duta Wacana, dan Hilma Safitri, peneliti senior Agrarian Resource Center sebagai pembicara, serta Pandu sebagai moderator.
Berangkat dari gagasan bahwa lingkungan yang kumuh dan tidak berkembang harus dimodernisasi, beberapa titik kampung kota menjadi tempat gentrifikasi. Gentrifikasi kemudian diartikan sebagai penaikan nilai lahan akibat investasi lahan kota. Penaikan nilai itu berimplikasi pada transformasi sosial ekonomi yang seringkali tidak bisa diikuti oleh masyarakat, sehingga membuat masyarakat yang menetap di wilayah tersebut menjadi tergeser secara sistemik.
Mengangkat bahasan tentang pemahaman ruang dan kuasa, Greg memulai dengan gagasan bahwa ruang dan kuasa bisa menimbulkan kontestasi, konflik, dan negosiasi. Begitu adanya realitas persaingan kekuasaan yang terjadi, bagaimana warga yang sudah sekian lama mendiami bidang tanah tempat mereka tinggal, tiba-tiba datang pihak-pihak yang mengklaim tempat tersebut. Namun, dijawab oleh Pandu, bahwa baik di Dago maupun di tempat-tempat lain yang terkena penggusuran, warga tidak akan bernegosiasi, karena di Dago sendiri, warga memiliki semangat melawan “sabubukna” yang artinya akan bertahan sampai habis.
Ruang di tengah perkotaan sebagai hasil dari interaksi sosial yang mencerminkan berbagai peran dalam struktur kekuasaan, di mana setiap tingkatan dalam hierarki memiliki peran yang berbeda, dan pengendalian terhadap ruang juga berbeda-beda. Oleh karena itu, menjadi penting untuk memahami bagaimana membaca ruang sebagai arena kontestasi. Modal untuk menguasai ruang tidak hanya tergantung pada faktor ekonomi, tetapi juga faktor sosial, budaya, dan simbolik.
Greg menyimpulkan bahwa ketika ada upaya klaim lahan untuk investasi ekonomi, masyarakat dapat melawan dengan menggunakan modal investasi sosial dan budaya. Modal ini dapat dikembangkan melalui kegiatan seperti Festival Kampung Kota atau melalui pemahaman tentang jejak historis tempat tersebut.
“Investasi sosial dan kultural menjadi strategi kita, siasat ruang kita, tapi dibuat berkualitas dan berjejaring,” simpul Greg.
Di tengah bahasan, diperlihatkan pula realitas kontestasi di Yogyakarta. Ditunjukkan potret tulisan “Jogja Ora Didol” yang memiliki arti Jogja tidak dijual pada sebuah dinding. Tulisan itu merupakan bentuk pemberontakan dan kampanye protes terhadap pembangunan di Yogyakarta yang merugikan warga setempat.
Diskusi bedah buku kemudian dilanjutkan dengan pemaparan oleh Hilma mengenai beberapa bagian yang ia baca dari buku karya Neil Smith. The New Urban Frontier merupakan karya yang dihasilkan oleh Neil Smith sebagai penulis dari perjalanan panjang berkeliling kota di Amerika dan Eropa.
Ada satu sub-bab dalam buku The New Urban Frontier yang membahas tentang perdebatan ‘Theory of Gentrification or Gentrification of Theory’ yang kemudian menjadi bahasan Hilma petang itu. Dalam sub-bab tersebut disebutkan bahwa pemaknaan dan pelaksanaan gentrifikasi sampai hari ini terus mengalami evolusi.
Diceritakan oleh Hilma, awal mula disebut sebagai gentrifikasi adalah keinginan kaum gentry atau kelas atas untuk membuat lingkungan sekitarnya menjadi lebih nyaman dipandang. Dalam konteks tersebut, gentrifikasi diartikan sama dengan rehabilitasi lingkungan yang tidak menghilangkan, tetapi memperbaiki. Sehingga, menurut Neil Smith, ketika masyarakat mengalami pembaruan pada wilayah, maka kelas sosial mereka juga seharusnya mengalami pembaruan. Namun pada realitasnya, gentrifikasi berubah menjadi arena untuk akumulasi kapital.
Hilma menjelaskan bahwa ketika orang-orang yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan sosial dan ekonomi akibat gentrifikasi, mereka akan dipaksa pindah ke daerah pinggiran kota. Mereka akan membuat suatu perputaran ekonomi yang tidak hanya berlaku untuk mereka, tetapi juga untuk kaum kelas atas yang berada di perkotaan. Oleh karena itu, orang-orang kelas atas ini akan mempertimbangkan menjadikan daerah pinggiran sebagai tempat gentrifikasi, dan akan terus berputar begitu.
"Yang paling utama hari ini adalah mengurus yang di perbatasannya, bukan di tengahnya," jelas Hilma tentang pemutusan siklus gentrifikasi.
Setelah mengalami gentrifikasi, lanjut Hilman, penting untuk memperkuat ekonomi lokal dan mendorong gerakan sosial yang ada agar gentrifikasi tidak terulang. Gerakan ini harus menjadi bentuk perjuangan dan identitas sosial untuk mencegah akumulasi kapital.
Baca Juga: Terminal Dago Ada di Pusaran Sengketa Lahan Dago Elos, Kenapa Pemkot Bandung Selama Ini Diam?
Dago Elos dalam Angka, Warisan Kolonial Merongrong Warga
Dago Elos Never Lose: Menghidupkan Ruang, Menolak Penggusuran
Kampung Kota: Bertahan di Tengah Kerentanan
Tanpa terasa, langit malam mulai hadir. Tenda yang semula ditempati sebagai panggung, kemudian dihias dengan lampu sorot dan lampu berwarna merah, hijau, dan biru. Diskusi bedah buku berakhir, tetapi tidak dengan rangkaian acara hari itu.
“Hidup rakyat!” seru Yusuf, moderator untuk rangkaian diskusi selanjutnya. Kemudian disahuti oleh para hadirin, “Hidup!”
“Kampung Kota: Bertahan di Tengah Kerentanan” menjadi tema diskusi malam itu. Mengundang Yudi Bachrioktara dari Departemen Sejarah Universitas Indonesia dan Widya Suryadini dari Departemen Perancangan Wilayah dan Kota Universitas Teknologi Nasional, serta Abidin Kusno dari York’s Center of Asian Researcher yang bergabung melalui video sebagai pembicara.
Diceritakan oleh Abidin tentang bagaimana wilayah yang disebut kampung sejak masa kolonial. Pada masa itu, kampung dibiarkan untuk bertahan sendiri untuk menekan pembiayaan. Hal ini yang kemudian membuat kampung bisa bertahan hingga sedemikian lama.
“Berada di tengah, tidak berarti netral, tetapi tarik menarik yang bisa dengan mudah dihilangkan,” ucap Yudi.
Proses pembiaran yang dilakukan sejak masa kolonial terus terjadi, dan di kala sudah tidak diperlukan bisa dihilangkan. Kemudian perlu untuk melihat bagaimana seharusnya strategi untuk bisa bertahan dari akumulasi kapital.
Disebutkan bahwa warga di setiap kampung memiliki cara bertahannya masing-masing. Diberikan contoh sebuah kampung kota di belakang Universitas Brawijaya yang terancam tergusur untuk kepentingan perluasan wilayah pendidikan, tetapi mereka bisa bertahan karena berhasil menghasilkan sumber ekonominya sendiri, buah dari solidaritas.
Kampung di tengah kota, selain secara fisik berada di tengah, juga secara ekonomi, sosial, dan politik. “Kampung kota berperan sebagai penyangga,” kata Widya.
Kampung kota menjadi penyangga secara fisik karena berada di wilayah strategis tengah kota, penyangga ekonomi karena mereka memiliki perputaran ekonominya sendiri, dan penyangga sosial untuk mengisi segmen instrumental status sosial. Oleh karena itu, identifikasi diri, membaca kembali tren, dan menyiapkan strategi lain bisa menjadi cara untuk bertahan di tengah kerentanan.