Dago Elos Never Lose: Menghidupkan Ruang, Menolak Penggusuran
Penayangan film Dago Elos Never Lose merupakan salah satu agenda Festival Kampung Kota 3. Acara ini sebagai bentuk penolakan terhadap penggusuran.
Penulis Tofan Aditya3 Juli 2023
BandungBergerak.id - Bulan bulat hampir sempurna terlihat samar tertutup awan. Lima anak kecil, empat orang laki-laki dan satu perempuan, duduk dengan tangan memeluk kaki di pojok kanan depan Bale RW Dago Elos. Di atas karpet berwarna hijau, mereka menyaksikan rekaman gambar hidup yang menampilkan kampung tempat tinggal mereka yang terancam digusur oleh pihak yang mengaku ahli waris.
Libur panjang membuat anak-anak SD itu diizinkan oleh orang tuanya untuk ikut serta dalam agenda pada Minggu (2/7/2023) tersebut. Ketika salah satu anak terlihat muncul di layar, empat orang anak lainnya tertawa seraya bertepuk tangan. Adegan berlanjut, muncul satu demi satu warga Dago Elos, mereka memberikan tanggapan soal kampung halamannya. Film dokumenter yang berdurasi 28 menit 51 detik ini menampilkan adegan demi adegan, mulai dari deskripsi ruang hidup, memori kolektif warga kampung kota ini, hingga perlawanan dalam menghadapi ancaman penggusuran.
"Dago Melawan, tak bisa dikalahkan!” teriak seorang ibu-ibu yang turut menyaksikan dari belakang. “Lawan sabubukna!" ibu-ibu lain menyahut.
Penayangan “Dago Elos Never Lose” merupakan salah satu agenda dalam Festival Kampung Kota 3. Sejak keluarga Muller dan PT. Dago Inti Graha menggugat warga Dago Elos pada tahun 2016, warga dilanda kecemasan akan masa depan tempat tinggal mereka. Berbagai kegiatan aktivasi terus dilakukan warga bersama kawan-kawan solidaritas untuk mempertahankan tanah seluas 6,8 hektare ini. Pada tahun 2020, Mahkamah Agung memenangkan Dago Elos di peradilan tingkat kasasi. Tapi tidak bertahan lama, pada tahun 2022 warga Dago Elos mengahadapi babak baru perjuangan setelah dinyatakan kalah di peradilan Peninjauan Kembali (PK).
Setelah empat tahun vakum, Festival Kampung Kota kembali digelar di wilayah Dago Elos. Pembukaan kegiatan dilaksanakan pada Sabtu (1/7/2023), dengan suguhan dari Jaipong Elos, Singa Depok x Balebat Pakidulan x Ramaputra, Flukeminimix, Pastel Badge, dan Noid yang dihadiri lebih dari 100 orang. Rencananya, selama bulan Juli, festival dengan tema “Pembungkaman Demokrasi, Krisis Ruang, dan Solidaritas” ini akan mencoba mengubah ruang konflik menjadi ruang pertemuan.
“Padahal, kita juga ngga kenal siapa mereka (keluarga Muller dan PT. Dago Inti Graha), tidak ada satu pun warga yang juga kenal mereka,” terang Angga Sulistya, Ketua Forum Dago Melawan, di dalam film, “tapi, lantas, mereka dengan seenaknya meng-claim bahwa ini adalah tanah waris, artinya tanah keluarga mereka.”
Bagi warga, aktivasi ruang seperti ini memiliki peran penting. Festival Kampung Kota dapat menjadi sarana edukasi dan ruang temu membuat warga Dago Elos merasa tidak sendiri dalam menghadapi sengketa lahan. Festival dengan bermodalkan uang udunan ini mencoba membuat sebuah kampung kota, yang kerap dicap wilayah kumuh dan masalah perkotaan, dapat dilihat sebagai kawasan yang sedang berinteraksi dan berdinamika.
“Lamun angkat ti dieu teh rek ka mana? Bade uih, uih ka mana? Incu Emak mah di darieu,” ucap Emak Aan, salah satu warga Dago Elos, menahan tangis, “matak Emak di dieu sok gogorowokan teh. Rek mulang, mulang ka mana? Uih, uih ka mana? Teu gaduh lembur.”
Baca Juga: Dago Elos dalam Angka, Warisan Kolonial Merongrong Warga
Perjuangan Warga Dago Elos Terhalang Birokrasi
Dago Elos Melawan: Nepi Sabubukna
“Dago Elos Never Lose”
Selepas film yang disutradarai oleh Cory Amelia Lorenza, agenda dilanjutkan dengan diskusi. Tiga orang dihadirkan: Angga dari Forum Dago Melawan, Heri dari LBH Bandung, Indro dari KSN, dan dimoderatori oleh Nada.
Dimulai dengan kondisi, Angga memaparakan bahwa selepas putusan Peninjauan Kembali pada 2022 lalu, warga kembali merasa tidak aman. Warga khawatir berbagai bentuk desakan seperti ancaman kekerasan, iming-iming ganti rugi, dan teror menimpa mereka sewaktu-waktu. Angga mengaku, warga gusar tapi bingung harus melakukan apa.
Namun bukan berarti warga menyerah begitu saja. Menurut cerita Angga, warga justru semakin antusias dalam mempertahankan tanah dan kenangan mereka. Upaya mendulang solidaritas dan kampanye terus coba digaungkan.
“Itu yang harus diperbanyak lagi, kegiatan-kegiatan kolaboratif dari yang di luar Dago Elos dengan teman-teman di Dago Elos sendiri. Itu yang akan sangat menguatkan,” terang Angga.
Dari kacamata hukum, Heri menjelaskan bahwa pendampingan hukum masih terus dilakukan. Bukti-bukti bahwa tanah ini milik warga Dago Elos terus dikumpulkan. Namun selain pendampingan hukum, kegiatan mengaktivasi ruang seperti ini memang sangat penting untuk dilakukan. Bertahan dan melawan, dua kata yang terus menerus diulang oleh Kepala Divisi Riset dan Kampanye LBH Bandung ini.
Heri juga melihat berbagai kasus penggusuran di wilayah lain, seperti Tamansari dan Anyer Dalam, selalu memiliki pola yang sama: bermula dari pendataan tanah di Kota Bandung yang buruk. Padahal berdasarkan regulasi yang ada, negara mengisyaratkan bahwa meski tanah terlantar dikuasai, rakyat yang sudah berdiam di wilayah tersebut berhak penuh atas ruang yang dihidupinya.
“Aktivasi ruang membuktikan standing point bahwa rakyat berhak atas tempat tinggal. Sekalipun ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya,” ujar Heri.
Indro menambahkan kedatangan kawan-kawan kolektif, selain memberikan semangat bagi warga, juga menjadi ruang temu agar semua bisa saling mengenal, bertukar cerita, berbagi informasi, dan sama-sama tahu duduk perkaranya seperti apa.
Meski melihat beberapa warga pesimis karena sulitnya mempertahankan ruang hidup dari penggusuran, Indro tidak patah arang. Sebab, dirinya mendapati bahwa ada beberapa daerah lain yang sempat selamat dari penggusuran. Indro membagikan satu cerita di wilayah Yogyakarta.
“Selama warga di Dago masih punya tekad untuk melawan, selama itu juga masih ada harapan kita bisa selevel dengan temen-temen kita yang ada di Yogya,” pungkas Indro.
Selain diskusi soal film “Dago Elos Never Lose”, pada sore hari, berlangsung diskusi dengan bahasan “Masih Relevankah Dapur Umum Pascapandemi Usai?” yang diisi oleh Niki dan Algy dari Solidaritas Sosial Bandung, Bilal dan Kakang dari Pasar Gratis Bandung, dan Dwi Fetable, serta dimoderatori oleh Budi dari LBH Bandung. Selain itu, pada hari ini, juga ada penampilan musik dari Dimas Dinar Wijaksana (vokalis Mr Sonjaya, Bendi Harmoni, dan Syarikat Idola Remaja) serta Suarswara.
Dalam gelaran hari ini, warga Dago Elos berbaur bersama orang-orang yang datang dari luar. Meski berasal dari daerah yang berbeda, namun semua memiliki pandangan yang sama: tiada cara lain untuk bertahan selain melawan sampai hancur (sabubukna).