• Berita
  • Haris Azhar Menyemangati Warga Dago Elos untuk Terus Melawan Mempertahankan Tanahnya

Haris Azhar Menyemangati Warga Dago Elos untuk Terus Melawan Mempertahankan Tanahnya

Haris Azhar memaparkan penyempitan ruang hidup yang memberangus kesejahteraan masyarakat sipil. Dago Elos terus melawan dan bertahan.

Warga yang bertanya pada sesi tanya jawab diskusi Perjuangan Rakyat di Tengah Penyempitan Ruang Sipil di Balai RW II Dago Elos, Kota Bandung, Kamis (20/7/2023). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

Penulis Dini Putri21 Juli 2023


BandungBergerak.idAnak-anak SD berlarian di bawah rembulan yang menaungi Dago Elos, Bandung, Kamis (20/7/2023). Sesekali mereka tertawa, mengusir hawa dingin yang menyergap Kota Bandung. Warga usia dewasa berkumpul di atas karpet Balai RW II yang sudah tertata rapi menyambut diskusi rangkaian “Festival Kampung Kota 3: Perjuangan Rakyat di Tengah Penyempitan Ruang Sipil”.

Spanduk-spanduk dengan narasi perlawanan digantungkan pada setiap sudut pelataran Balai RW. Kata-kata penyemangat bertebaran di kawasan Bandung utara ini untuk menyemangati warga akan rencana pengambilalihan tanah oleh pihak yang mengkalim ahli waris.

“Dago melawan tak bisa dikalahkan!” demikian seruan warga sebelum dimulainya diskusi yang menghadirkan narasumber sekaligus aktivis HAM Haris Azhar.

Negara, konstitusi, hukum, dan pemerintahan merupakan instrumen yang terbentuk karena hak asasi masyarakat sipil yang saling berjabat tangan dan konsolidatif. Namun, Haris Azhar menyebut instrumen-instrumen tersebut berubah menjadi momok mengerikan dan malah berbalik menyerang, bahkan merenggut ruang hidup masyarakat sipil.

“Kalau kita ditindas, kita koreksi, kita lawan. Kalau kita gak ditindas, kita ingin lebih baik. Semua perjuangan hidup manusia dalam cerita-cerita yang saya baca, semua hak asasi menjadi lebih baik dan direbut karena ada penderitaan atau karena ada gagasan untuk menjadi lebih maju. Nah, Dago Melawan, sejauh yang saya tahu, karena ada penindasan, maka kita harus menggunakan momentum dan situasi ini untuk merekonstruksi,” kata pendiri Lokataru tersebut.

Haris juga menyoroti konflik agraria dan upaya perampasan ruang hidup yang secara masif terjadi dari barat hingga timur Indonesia. Di sana ada keterlibatan penguasa ekonomi-bisnis dan elite politik yang mengiming-imingi masyarakat sipil dengan wacana kesejahteraan pembangunan sosial.

“Kabar buruknya, masifnya rencana pembangunan dalam rangka menciptakan lapangan pekerjaan, itu juga diiringi dengan kelengkapan pengetahuan dari mereka yang menciptakan kebijakan untuk kelompok bisnis atau para kelompok bisnis yang masuk mengokupasi posisi-posisi politik,” lanjutnya.

Masyarakat sipil dipaksa tunduk oleh kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan. Upaya-upaya pembungkaman suara dan perlawanan dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari memancing orang-orang yang tak ingin tunduk ke dalam skenario agar melakukan tindakan yang masuk ke dalam ranah pelanggaran hukum untuk selanjutnya ditindak sebagai pelaku pelanggar hukum (serangan hukum); persuasi dengan materi dan jabatan, hingga kekerasan fisik hingga penghilangan nyawa.

Anto, tim advokasi Forum Dago Melawan, mengatakan saat ini proses advokasi ada pada tahap menyiapkan pelaporan yang sifatnya pelaporan pidana sebagai tindak lanjut untuk menanggapi relaas yang dikirimkan ke warga Dago Elos oleh pihak ahli waris yang mengklaim tanah Dago Elos.

Festival Kampung Kota ini, lanjut Anto, merupakan salah satu bentuk perjuangan warga mempertahankan hak atas tanah yang sudah mereka tinggali selama turun temurun.

“Diskusi yang dipilih untuk diadakan di FKK (Festival Kampung Kota) bisa dipakai untuk membantu perjuangan warga juga,” kata Anto.

Apa yang menimpa warga Dago Elos rupanya bukan hanya disikapi oleh orang dewasa dan pemuda setingkat mahasiswa saja. Doktrin perlawanan bahkan menjadi bagian dari percakapan anak-anak SD di Dago Elos yang memikirkan bagaimana nasib hidup mereka ke depannya dan upaya apa yang bisa mereka lakukan untuk mempertahankan ruang bermain dan belajar mereka yang terancam terempas. Hal itu diungkapkan oleh Dea sebagai salah satu warga Dago Elos.

“Bahkan (konflik Dago Melawan) gak cuma (berdampak) dari sisi ekonomi saja, dari sisi mental bahkan anak-anak pun sekarang yang mereka obrolin tuh sehari-hari bukan cuma besok kita mau main apa tapi gimana besok ada (mobil) beko gak yah ke sini? Gimana ya kalau besok kalau kita digusur kamu mau pindah ke mana? Obrolan itu sudah masuk ke anak-anak, jadi mental kita semua sudah kena,” ungkap Dea.

Anak-anak seharusnya dapat menikmati masa kecilnya bertumbuh dengan cara-cara menyenangkan tanpa perlu memikirkan nasib hidup di esok hari. Namun, di Dago Elos dan tempat-tempat lain yang mengalami permasalahan serupa, hak anak terancam dan terampas.

Masyarakat berkumpul untuk mengikuti diskusi Festival Kampung Kota bersama Haris Azhar di Balai RW II Dago Elos, Kota Bandung, Kamis (21/7/2023). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)
Masyarakat berkumpul untuk mengikuti diskusi Festival Kampung Kota bersama Haris Azhar di Balai RW II Dago Elos, Kota Bandung, Kamis (20/7/2023). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Dago Elos dalam Angka, Warisan Kolonial Merongrong Warga
Dago Elos Melawan: Nepi Sabubukna
Bersama Warga Dago Elos Mempertahankan Ruang Hidup

Terus Melawan, Nepi Sabubukna!

“Ketakutan mereka pada kemiskinan, ketakutan mereka pada kesusahan, ketakutan mereka untuk tidak berkuasa membuat mereka menghalalkan segala cara, Nah, jadi konfliknya di situ, kita juga harus seperti mereka (melawan dan bertahan). Kalau kita diam makin lebar jalan mereka buat menginjak-injak kita,” terang Haris Azhar.

Ia manambahkan, adanya upaya serangan untuk merebut tanah rakyat merupakan bagian dari mobilisasi industrialisasi, bisnis, memperpanjang, dan memperluas kekuasaan. Pada akhirnya, serangan-serangan yang dialami masyarakat di berbagai tempat melahirkan perlawanan, represivitas melahirkan kreativitas, dan dari situ mensyaratkan adanya keberanian.

Diskusi bersama aktivis yang dikiriminalisasi dengan UU ITE oleh pejabat negara itu semakin intens. Haris Azhar menerangkan upaya-upaya yang dapat dilakukan warga untuk memperpanjang napas perlawanan. Selain dengan upaya advokasi, keberanian dan kolaborasi harus terus dipintal. Rasa takut, sakit, dan kekhawatiran akan tetap dirasakan sebagai proses dari perjuangan.

“Sekarang saya mau nanya, apalagi khususnya ke warga. Dengan segala macam potensi ancaman atau memang rumah kita yang ada di sini akan di ambil oleh Muller (ahli waris), saya mau tanya satu hal, kita siap melawan gak temen-temen?” tanya Rifky Zulfiakar, moderator diskusi.

“Siap!” jawab warga lantang.

Rifky menegaskan tentang apa yang harus dilakukan untuk membangun solidaritas bersama di antara warga dan seluruh elemen masyarakat lainnya.

“Kita memegang bahwa percaya ini adalah hak kita, harus diperjuangkan, harus dilakukan secara bersama-sama dengan kompak dan strategi yang tepat secara bersama-sama dan juga kita harus mendukung satu sama lain,” kata Rifky, menutup diskusi.  

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//