Skema Pembayaran UKT ITB dengan Pinjol semakin Memperparah Kondisi Ekonomi Keluarga Mahasiswa
Mahasiswa ITB menuntut keringanan pembayaran uang kuliah tunggal (UKT), mencicil UKT, dan menolak skema pinjol dengan bunga tinggi.
Penulis Emi La Palau30 Januari 2024
BandungBergerak.id - Skema pembayaran uang kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) menuai protes dari mahasiswa di tengah kondisi keuangan keluarga yang tidak menentu. Pengajuan keringanan biaya kuliah sulit didapat. Tawaran cicilan melalui pinjaman online (pinjol) dari kampus justru semakin mempersuram masa depan mereka.
Deovie Lentera Hikmatullah menjadi salah satu mahasiswa yang keberatan dengan kebijakan pembayaran uang kuliah ITB. Deo, demikian ia biasa disapa, berasal dari Bekasi yang memiliki tunggakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) ITB. Opsi bagi mahasiswa yang menunggak dan tak mampu membayar UKT adalah cuti.
Mahasiswa Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB angkatan 2020 ini masuk ke ITB melalui jalur ujian masuk perguruan tinggi UTBK. Sejak dulu ia memang bercita-cita berkuliah di STEI ITB karena kegemarannya menggeluti dunia elektronik. Ia juga yakin kuliah di ITB memiliki prospek kerja yang menjanjikan. Baginya, masa depan kuliah di ITB cerah dan akan mewujudkan niatnya membantu ekonomi keluarga yang terpuruk.
Deo bercerita, ayahnya sudah pensiun sejak tahun 2017, tiga tahun sebelum ia masuk kuliah. Ayahnya juga terlilit hutang dan mengharuskan menggadaikan rumah. Deo juga memiliki dua adik yang tentunya memerlukan biaya.
Ayah Deo tak tinggal diam. Selepas pensiun ia membuka jasa reparasi elektronik. Namun penghasilan sang ayah tak menentu. Biaya UKT ITB yang harus dibayar Deo, yang bersumber dari penghasilan ayahnya, per semester sebesar 12,5 juta rupiah.
Ayah Deo kewalahan menghadapi biaya kuliah tersebut. Deo sendiri sudah berupaya meminta keringanan penurunan UKT. Namun, selalu ditolak oleh ITB.
“Walau sudah aplly keringanan tapi selalu ditolak. Kondisi finansial keluarga saya juga (berat),” ucap Deo, ditemui BandungBergerak.id di sela-sela aksi protes biaya kuliah oleh ratusan mahasiswa (ITB) di halaman Rektorat ITB, Bandung, Senin, 29 Januari 2024.
Deo yang juga ikut dalam aksi protes, bingung dengan situasi saat ini. Ia sudah berusaha mencari uang tambahan dengan mengajar. Tetapi sulit untuk mendapatkan uang 12,5 juta rupiah.
“Jujur nggak tahu mau gimana lagi. Saya perlu cari duit dan ngajar sendiri, tapi nggak tutupi biaya UKT,” katanya.
Ada solusi instan yang ditawarkan kampus, yakni dengan meminjam dana pendidikan ke pinjol yang menjadi mitra kampus. Namun skema pinjam biaya kuliah ke pinjol memiliki risiko besar karena bunganya sangat tinggi. Di saat yang sama, tenggat waktu pembayaran UKT makin mepet.
Deo mendapat bantuan dari alumni ITB. Namun, ia menyayangkan kenapa justru bantuan datang dari luar kampus. Dan ia masih membutuhkan keringanan biaya dari kampus yang tak kunjung didapatkan.
Masalah serupa dialami Dewi Zahra. Mahasiswi jurusan Seni Rupa angkatan 2021 ini masuk ke ITB melalui jalur nilai rapor. Sejak sekolah ia sudah tertarik dengan gambar dan seni. Maka, ITB menjadi pilihan mahasiswi asal Bandung ini.
Dewi Zahra a memang tak memiliki catatan tunggakan. Hanya saja ia keberatan dengan biaya UKT ITB 12,5 juta rupiah per semester. Ia selalu mengajukan keringanan UKT, namun selalu ditolak.
Di awal-awal, kuliah Dewi belum merasakan masalah ekonomi. Keuangan keluarganya cukup stabil dan masih bisa membayar UKT tepat waktu. Akan tetapi di tengah perjalanan, ayahnya mesti kehilangan pekerjaan dan pastinya berdampak pada biaya pendidikan Dewi.
Di keluarga Dewi, ayahnya tak hanya membiayai Dewi sendiri. Dewi memiliki tiga adik yang masing-masing sudah sekolah dan membutuhkan biaya pendidikan. Karena itu Dewi sangat berharap mendapatkan keringanan dari ITB. Padahal pada semester-semester sebelum-sebelumnya ia pernah mendapatkan keringanan dengan cara menyicil UKT.
“Ini kali keempat ngajuin keringan UKT kt tapi karena nggak pernah diterima terus, jadi ya agak pasrah,” ucap Dewi, yang juga ikut dalam aksi protes UKT.
Dewi kaget ketika mengetahui informasi bahwa membayar UKT ITB bisa menggunakan Danacita, platform financial technology yang melayani pinjaman dana pendidikan. Meski berlabel pinjaman dana pendidikan, Danacita tetaplah pinjol karena mematok bunga pengembalian tinggi.
“Terus pas liat di poster, kesusahan bayar UKT ke Danacita saja, kayak menghina,” katanya.
Danacita merupakan sumber pembiayaan dari luar kampus, bukan dari kampus. Dewi sedih seharusnya kampus yang memberikan keringanan. “Sedih aja gitu, loh, sebenarnya saya harus semenderita apa dulu sampai bisa diringanin apa kek sedikit, sampe 10 juta doang, tapi sama sekali nggak,” keluh Dewi.
Melalui aksi protes bersama ratusan mahasiswa yang mendatangi gedung Rektorat ITB, Dewi berharap agar pihak kampus mau mendengarkan apa yang menjadi keluhan mahasiswa. Sebab yang mengalami kendala membayar UKT bukan satu dua orang saja.
“Dengerin weh atuh, ini tuh kayak kita musuh gitu kesannya. padahal bisa nggak sih diturunin. Anak-anakmu itu banyak, ada yang di Nangor (ITB Jatinangor) dan sebagainya dengan anak sebanyak itu kayaknya kalau UKT-nya dikecilin dikit nggak apa-apa, kan tetap nggak rugi,” keluh Dewi.
Baca Juga: Membayar UKT ITB dengan Dana Pinjol Bertentangan dengan Amanat Undang-undang Pendidikan
Mahasiswa Inaba Diskors Setelah Demonstrasi Minta Keringanan UKT
Mahasiswa UPI Terancam DO karena Tak Mampu Membayar UKT
Aksi Protes ke Rektorat ITB
Deo, Dewi bergabung dengan ratusan mahasiswa ITB lainnya dalam aksi protes UKT di halaman gedung Rektorat ITB. Mereka menuntut agar pihak kampus menjamin pemenuhan hak pendidikan mahasiswa sesuai dengan amant peraturan perundang-undangan dan etika yang berlaku.
Aksi protes ini sama-sama menyurakan bahwa besaran UKT ITB memberatkan mahasiswa. Kebijakan terhadap skema pembayaran UKT pun dianggap tak etis karena ada tawaran cicilan berbunga melalui pinjol Danacita. Skema pinjol ini harus dihapus.
Mahasiswa menuntut agar ITB memaksimalkan sumber dana pendidikan seperti beasiswa, keringan, dan cicilan UKT yang tidak memberatkan mahasiswa. Mahasiswa yang memiliki tunggakan agar tetap bisa melanjutkan kuliah tanpa harus cuti. Selain itu, mereka meminta ITB menyelenggarakan kebijakan yang transparan dan berkeadilan.
Ketua Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) ITB Muhammad Yogi Syahputra menyatakan pihaknya telah berupaya untuk pembelaan kepada mahasiswa yang terdampak kebijakan kampus dan melakukan komunikasi dengan Rektorat ITB. Namun Rektorat ITB tak kunjung merespons.
Mengenai skema pinjol, Yogi memaparkan mahasiswa bisa mendapatkan pinajaman sebesar 12,5 juta rupiah kemudian harus membayarkan dengan bunga sebesar dalam rentan waktu 12 bulan, sehingga nilai yang harus dibayar mahasiswa sebesar 15,5 juta rupiah. Pembayaran pinjaman pokok dan bunga dari pinjol ini sangat memberatkan mahasiswa.
“Kami sudah mengusahakan ragam advokasi lainnya, namun bapak ibu rektorat masih belum mendengar. Maka kami turun aksi menggeruduk gedung rektorat saat ini,” kata Yogi.
Yogi menilai kebijakan ITB tidak masuk akal dan tidak adil. Mereka tidak mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa yang kesulitan. “Sedangkan mereka (mahasiswa) adalah orang gak mampu dan gak punya. Kebijakan dari rektorat ini biadab dan tidak masuk akal,” kata Yogi.
KM ITB telah menghimpun data mahasiswa yang terdampak kebijakan pembayaran UKT. Semula tercatat ada 137 mahasiswa yang terancam tidak bisa mengikuti kuliah pada semester berikutnya karena tak sanggup membayar UKT. Alumni ITB kemudian memberikan bantuan, sehingga tersisa ada 93 mahasiswa lagi yang masih terancam tidak bisa kuliah dan membutuhkan bantuan.
Padahal tenggat waktu mengisi Formulir Rancangan Studi (FRS) sudah sangat dekat (30 Januari 2024). Pengisian FRS merupakan syarat untuk bisa mengikuti kuliah pada semester berikutnya. FRS baru bisa diisi ketika mahasiswa sudah membayar UKT. Jika mahasiswa tidak dapat membayar UKT maka dia harus cuti.
“Dan sebagai informasi, mengapa mahasiswa bisa sampai menunggak itu bukan cuman karena mahasiswa engga mau membayar atau gimana, tapi karena memang dari pihak mahasiswa sendiri merasa keberatan dengan UKT yang diberikan oleh ITB,” katanya.
Banyak orang tua mahasiswa yang pekerjaannya berprofesi sebagai pekerja atau buruh atau pekerjaan lainnya dengan penghasilan UMR. Mereka mengajukan keringan namun ditolak. Ironisnya, jika pada tahun-tahun sebelumnya pihak ITB masih memberikan keringanan, pada semester kali ini kebijakannya berubah.
“Kami juga open donasi, menggaet alumni dan sebagainya. Ini konsens bersama. Bahkan alumni sampai bingung, ini ITB yang dulu tidak mempermasalahkan masalah finansial, apalagi ancaman untuk dropout. Ini baru kejadian sekarang,” katanya.
Pada saat peliputan, dari pihak kampus belum ada satu pun yang menemui aksi mahasiswa ini. Mahasiswa bertkad akan terus memperjuangkan hak mereka dan meminta kebijakan kampus.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Emi La Palau atau artikel-artikel lain tentang Institut Teknologi Bandung (ITB)