RUANG RENUNG #31: Menjejak Garis Awal untuk Mulai Berlari
Perhelatan seni di Bandung mulai masuk fase berlari. Refleksi jalan-jalan ala studi banding puluhan seniman Bandung di gelaran Art Jakarta pada November 2023 lalu.
Mardohar B.B. Simanjuntak
Penulis adalah dosen di Fakultas Filsafat Unpar. Gemar mengirimkan refleksinya tentang kehidupan sosial.
31 Januari 2024
BandungBergerak.id – Persoalan jejak menjejak mungkin sisi genting yang kerap terlupakan dari peradaban manusia. Steven Pinker mencoba menguraikan betapa pentingnya tilik jejak bagi suku San yang hidup di Gurun Kalahari, Afrika. Naik turunnya hasil buruan mereka tergantung dari seberapa besar mereka membaca jejak. Pinker, seorang pemikir optimistis yang mencoba untuk mempertahankan bangun pendapat tentang grafik progresif arus sejarah manusia, menunjukkan bahwa jejak tidak hanya kental dengan sisi naluri, tetapi juga padat dengan muatan rasional. Menjejak menjadi unsur penting dari kemanusiaan mungkin karena rasionalitasnya.
Baca Juga: RUANG RENUNG #28: Simfoni Keenam Beethoven Tukang-tukang Piknik Profesional
RUANG RENUNG #29: Riak-riak Mungil Penganan Selestial
RUANG RENUNG #30: Memikirkan Ulang Fondasi Definitif Filosofis dari Fotografi
Titik Kontras “Seni di Bandung” dan “Seni Bandung”
Seni di Bandung sulit dirangkum menjadi sekadar seni Bandung. Kata tugas “di” punya peran besar – pembeda – antara Bandung dan sentra-sentra kultural artistik lainnya. Instagram @bdgconnex adalah katalog bernas yang merupakan “tubuh spektral” yang terus tumbuh seiring dengan geliat seni rupa di kota ini. Seperti apa merupa di Bandung menjadi sangat rasional untuk dibaca dari alur lini masa sang akun; tidak hanya untuk gelaran-gelaran besar, tetapi juga gelaran sederhana yang menjadi panggung pertama perupa-perupa yang baru lahir dan punya kebanggaan eksentrik untuk mandiri. Sialnya, apa yang ada di dunia maya belum cukup menggugat di dunia nyata; tubuh digital masih membutuhkan tubuh pejal.
Manusia, tukas Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century, bukan semata makhluk audiovisual. Mengandaikan sisi auditif atau visual semata setara dengan mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang hanya bermata dan bertelinga. Bila kita abai dengan berkulit, berlidah, dan berhidung, maka kita sudah memangkas dan mendiskreditkan pengalaman manusia. Sisi eksperiensial manusia bukan sekadar bunyi dan imaji; kelengkapan manusia adalah keparipurnaan indra-indranya yang tidak akan pernah sempurna. Jejak audiovisual jauh dari cukup bila dibandingkan dengan jejak dari kelima indra yang bekerja bersama-sama. Untuk itulah, apa yang tadinya terdigitalisasi di bdgconnex akhirnya mencoba dijelmakan lewat jalan tol ke Jakarta oleh Holy Zpace, yang mengorganisasi keseluruhan acara tandang.
Art Jakarta dalam Kesekadaran Sadar untuk Mengalami
Sabtu tanggal 18 November 2023, 53 seniman bertolak dari Sanggar Olah Seni, Bandung, dengan sebuah bus bertempat duduk penumpang yang saling mengasing. Mereka yang berangkat memilih kembara singkat 12 jam atas keinginan sendiri untuk berkunjung ke Art Jakarta, sebuah gelaran art fair – pasar seni – internasional yang menjadi bagian dari mata rantai medan seni. Menariknya, dari antara yang berangkat ini sebenarnya bisa hadir personal karena mereka sudah memiliki undangannya masing-masing. Lebih menariknya lagi, mereka justru memilih untuk bertandang bersama-sama.
Yang kemudian tidak biasa (dan mungkin baru pertama kalinya) adalah acara obrolan sore dengan judul yang cukup nakal dan menggugat, “Oleh-oleh dari Art Jakarta” pada tanggal 24 November 2023. Tidak biasa karena bincang santai di Abraham and Smith HQ yang menghadirkan Asmudjo Jono Irianto, Yogie Achmad Ginanjar, dan Jajang Supriyadi – masing-masing sebagai kurator, seniman, dan kritikus – mengubah acara jalan-jalan ala studi banding menjadi sebuah refleksi fenomenologis; gelaran Art Jakarta menjadi sebuah fenomenon yang dibedah secara serius. Singkat kata, yang paling santai dari Bandung – seni di Bandung – tidak pernah tidak dianggap serius dengan cara yang paling santai.
Karakter ini berbeda dengan beberapa tulisan seperti dari Isma Swastiningrum di senirupa.id, misalnya, yang cukup cermat dan jeli untuk merekam peristiwa seperti Art Jakarta; bahkan yang ia tuliskan berada dalam koridor yang sama dengan laporan penelitian laboratorium. Bertolak belakang dengan pendekatan saintifik semacam itu, puluhan seniman yang datang ke Jakarta hanya datang dan pulang sebagai sekadar singgah. Bincang-bincang yang mengalur sekitar seminggu setelahnya menjadi sebuah refleksi, dan bukan analisis yang rapat dan ketat. Seperti yang dicetak tebalkan oleh Harari, manusia bukan makhluk audiovisual – Homo sapiens sekarang adalah sebuah entitas organik yang memilih untuk kental dan tebal dalam pengalaman.
Dalam bahasa Pinker, acara semacam ini adalah upaya rasional dan sosial untuk merenungkan pengalaman menjejak lewat jejak-jejak yang dialami secara langsung dari tangan pertama. Kembara via jalan aspal ini adalah sebuah lanjutan dari tur angkot beberapa bulan sebelumnya, saat peserta dengan beberapa kendaraan umum nan jelang punah menyinggahi galeri ke galeri untuk sebuah pengalaman yang bersifat plurisensual. Sensasi kejamakan jejak ini adalah sebuah langkah logis menuju sebuah refleksi “nalariah” – bukan sekadar naluriah.
Usai Berdiri dan Bersiap Berlari
Jejak adalah garis awal baru kita setiap kali tanggalan kembali ke satu Januari yang tidak pernah usang. Dari berbagai peristiwa seni di Bandung yang terekam di puluhan atau mungkin ratusan poster dalam akun bdgconnex, tur angkot dan tur bis adalah sebuah henti – jeda dari keseharian seorang “produsen karya” menjadi “bukan siapa-siapa karya”. Dengan kembara mengukur rentangan aspal seperti ini, kita bisa melihat dan mengukur sejauh mana lesatan yang akan kita lesatkan berikutnya. Setiap kali kita berlari, kita butuh titik-titik henti untuk terus menumpukan kaki, dan jejak adalah titik tumpu terbaik bila kita ingin melanjutkan perjalanan.
Pada saat tulisan ini dibuat, bulan Januari 2024 sudah hampir usai. Paling sedikit 20 peristiwa seni rupa sudah digelar – itu hampir setara dengan satu kegiatan setiap hari. Dari sejak pandemi usai beberapa tahun lalu, geliat awal kebersenirupaan di Bandung sudah menyelesaikan fase bangkit berdiri dan jalan kakinya. Sekarang, Bandung mulai masuk fase berlari. Kita sering lupa bahwa “berlari” sudah selalu “berlari terhadap”. Jika Bandung ingin segera berlari, maka satu-satunya yang tidak boleh menguap dalam kepala kita adalah ke mana kita berlari terhadap jejak yang telah kita jejakkan.
Satu poin lagi yang mungkin sudah hampir pasti terlupakan adalah berlari adalah persoalan menjejakkan dalam arah dan raihan yang kita tentukan sendiri. Tidak disebut berlari bila kita asal berlari dan berhenti ketika lelah. Dengan berlari kita menempuh jarak yang lebih jauh dari yang sudah kita tempuh dengan berjalan kaki. Sangat kontraproduktif bila kita berlari mengelilingi tempat yang sama, atau bahkan kembali sebelum garis awal. Berkunjung untuk mengalami bukanlah sebuah peristiwa karya wisata SMA. Ini adalah sebuah meteran mental tentang etape maraton berkesenian selanjutnya.