MAHASISWA BERSUARA: Menyoal Budaya Carok dalam Kacamata Hukum Positif
Masyarakat masih banyak yang menggunakan hukum adat dalam penyelesaian sengketa. Tidak jarang hukum adat bertentangan dengan hukum positif yang berlaku.
Andrew RGM Manurung
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
1 Februari 2024
BandungBergerak.id – Berita tentang kasus pembunuhan akibat budaya carok yang terjadi di kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur sedang ramai diperbincangkan. Pada hari Jumat, 12 Januari 2024, akibat dari budaya carok ini telah mengakibatkan empat orang meninggal dunia. Dilansir dari Kompas.com (2024), Guru besar sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Khoirul Rosyadi menjelaskan, carok termasuk tradisi di Madura. "Carok merupakan tradisi atau bentuk duel tradisional di Madura yang melibatkan pertarungan dengan senjata tradisional, biasanya celurit," jelasnya kepada Kompas.com, Senin, 15 Januari 2024.
Rosyadi menjelaskan, awal kemunculan carok berkaitan erat dengan faktor sosial, ekonomi, dan politik di Madura. Tradisi ini, katanya, dulu sering kali dihubungkan dengan penyelesaian sengketa antara kelompok-kelompok masyarakat. Awalnya, carok ditujukan sebagai sarana penyelesaian konflik, terutama di kalangan keluarga atau kelompok-kelompok kecil. "Dengan melibatkan duel ini, diharapkan masyarakat dapat menyelesaikan perselisihan secara adil dan mengembangkan rasa keberanian serta loyalitas," lanjut Rosyadi.
Jika kita melihat kembali kejadian yang terjadi pada Senin, 15 Januari 2024, berdasarkan penjelasan dari Kapolres Bangkalan AKBP Febri Isman Jaya yang dilansir di detik.com (2024), awalnya pelaku hendak berangkat tahlilan, lalu melintas korban dengan satu temannya dengan menggunakan kendaraan roda dua. Korban mengendarai kendaraannya dengan kecepatan tinggi dan menggunakan knalpot bising.
Suara mesin motor yang sangat keras itu membuat pelaku kaget, tidak hanya itu korban juga mem-blayer motornya yang membuat pelaku kaget. Pelaku lantas menegur korban, akan tetapi korban tidak terima dengan teguran dari pelaku dan malah menantang pelaku untuk melakukan duel. Pelaku yang geram dengan sikap korban lantas pulang ke rumahnya untuk mengambil sebilah celurit. Sesampainya di rumah, pelaku bertemu dengan saudaranya serta mengajak saudaranya tersebut untuk menemui korban di TKP. Begitu juga dengan korban yang pulang ke rumahnya untuk mengambil celurit serta mengajak 3 orang lainnya untuk membantu korban. Setelah bertemu di lokasi, keenam orang tersebut melakukan pertarungan carok. Terjadilah aksi pembacokan itu dan mengakibatkan 4 korban meninggal dunia. Setelah menghabisi korban, kedua pelaku kabur. Tragedi carok itu pun mengundang perhatian warga dan kejadian itu dilaporkan ke polisi.
Baca Juga: Hukum Indonesia Memandang Sebelah Mata Hukum tidak Tertulis (Hukum Adat)
Mengapa Hukum Kolonial Belanda masih Punya Kuasa di Dago Elos?
Catatan Akhir Tahun 2023 LBH Bandung: Masyarakat Terjerat Hukum, Penguasa Mendulang Berkah
Budaya Carok
Uraian singkat kasus di atas menjadi salah satu contoh realitas yang ada sebagai akibat dari penerapan budaya carok. Menurut Bagja yang dilansir dari Madureh.com, carok termasuk bagian dari budaya masyarakat Madura yang menggambarkan nilai-nilai adat dan tatanan sosial masyarakat Madura. Adapun nilai-nilai dan budaya tersebut terdapat nilai-nilai keberanian dan ketegasan yang kental dalam budaya masyarakat Madura.
Meskipun di mata masyarakat luas carok mungkin terlihat sebagai bentuk kekerasan, namun perlu dipahami bahwa carok juga memiliki fungsi pengendalian sosial dalam lingkungan masyarakat Madura. Selain itu, carok juga menggambarkan keberanian seorang Madura dalam menghadapi konflik. Namun pada kenyataannya, pada masa sekarang, carok sering kali menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dan ini sangat bertentangan dengan hukum positif.
Adapun hukum positif yang dilanggar dalam hal menghilangkan nyawa orang lain adalah Pasal 338 jo. Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) jo. Pasal 28A UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia. Isi dari pasal-pasal tersebut adalah sebagai demikian:
Pasal 338 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.”
Pasal 340 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
Pasal 28A UUD 1945:
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Hukum Positif
Selanjutnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law). Dalam sistem hukum ini, hukum tertulis merupakan acuan tertinggi dalam penerapan hukum. Adapun pada kenyataannya, banyak hukum adat (hukum tidak tertulis) yang berkembang masih diakui oleh negara. Masyarakat pun masih banyak yang menggunakan hukum adat dalam penyelesaian sengketa. Akan tetapi, tidak jarang juga hukum adat yang bertentangan dengan hukum positif yang berlaku seperti kasus carok di atas.
Dikarenakan Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, jika hukum adat bertentangan dengan hukum tertulis yang berlaku, maka yang harus diutamakan dalam penerapannya adalah hukum tertulis ketimbang hukum adat. Argumen ini juga didukung oleh pendapat Doktor Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakir (2024) yang menyatakan bahwa carok itu ada padanannya dalam KUHP. Itu pembunuhan. Karena materinya adalah pembunuhan, maka berlakulah KUHP. Dengan catatan, bahwa perbuatan pembunuhan itu, harus dihubungkan dengan nilai-nilai hukum adatnya dalam memperberat, atau meringankan hukumannya. Dengan demikian jelaslah sudah akibat dari budaya carok ini yang sudah menghilangkan nyawa orang lain akan terkena sanksi yang harus mengacu ke KUHP sebagai dasar pertimbangan hukumnya.
Hilangnya nyawa orang lain, luka berat dan luka ringan sebagai akibat yang ditimbulkan dari carok, bersifat sangat tidak berperikemanusiaan. Inilah sebabnya budaya carok dapat dikatakan bertentangan dengan hukum positif yang berlaku. Jika kata damai dalam penyelesaian suatu sengketa tidak dapat ditemui, maka masih banyak cara lain untuk menyelesaikan suatu sengketa.
Bagaimanapun juga, nyawa seorang manusia memiliki nilai yang tidak ternilai. Seperti yang dikatakan dalam pasal 28A UUD 1945, semua manusia memiliki hak untuk hidup. Hemat saya, seiring perkembangan jaman, hendaklah memilih cara yang lebih berperikemanusiaan, menjunjung tinggi nilai keadilan, serta mengikuti hukum positif yang berlaku dalam penyelesaian sengketa agar dengan demikian, suasana yang tertib dan aman akan tercipta di masyarakat Indonesia khususnya di daerah Madura.