Menggugat Kuota 30 Persen Perempuan di Panggung Politik, untuk Kesetaraan Gender atau Sekadar Angka?
Kesetaraan gender di panggung politik masih sebatas angka. Kurang mendapat dukungan dari partai politik maupun sistem di parlemen.
Penulis Repi M Rizki1 Februari 2024
BandungBergerak.id – Kesetaraan gender di panggung politik masih jauh panggang dari api. Kuota minimal 30 persen keterwakilan perempuan di DPR maupun DPRD kenyataannya tak efektif mewujudkan kesetaraan gender. Di ranah pencalonan oleh partai politik, keterwakilan perempuan cenderung dipaksakan demi mengejar kuota 30 persen belaka.
Isu keterwakilan perempuan di ranah poliltik mencuat dalam diskusi “Perempuan Menggugat: Perempuan di Tahun Pemilu 2024” yang digelar organisasi Samahita di Sans Co Café Dago Kota Bandung, Rabu, 31 Januari 2024. Diskusi ini dihadiri calon-calon legislatif (caleg), kalangan akademik, aktivis perempuan, dan lain-lain.
Indraswari, dosen di salah satu kampus di Bandung, mengatakan banyak kendala yang menghalangi perempuan masuk dunia politik. Regulasi telah mengatur bahwa kuota 30 persen menjadi batas minimal keterlibatan perempuan di politik. Kuota ini berlaku hanya di bakal calon atau di saat pencalonan.
“Sehingga nantinya akan semakin berkurang (di saat pemilihan), sehingga kebijakan belum ideal,” kata Indraswari.
Masa pencalonan maupun di saat duduk di parlemen bukanlah tujuan akhir bagi perempuan yang berpolitik. Di saat menjadi wakil rakyat di parlemen, perempuan harus hak-haak perempuan dan mengakomodir kepentingan perempuan.
Selama ini parlemen didominasi oleh laki-laki, sehingga setiap kebijakan berasal dari pemikiran dengan sudut pandang laki-laki. Indraswari menegaskan perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama. Yang membedakan adalah kodrat biologis mereka.
“Kodrat bersifat biologis, mengurus rumah tangga bukan kodrat tetapi sesuatu yang bisa dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan bersama,” terang Indraswati.
Peserta diskusi, Milla (21 tahun), mahasiswi di sebuah kampus di Bandung, menuturkan bahwasanya isu 30 persen kuota perempuan sudah sering dibahas. Namun kuota ini kurang mendapat respons positif dari internal partai sendiri.
“Masih kurangnya pemahaman soal perempuan. Walaupun dikasih 30 persen itu kita tidak bisa mengeksplor karena dari atasan partainya itu tidak ada kayak misalkan kelas atau bimbingan secara langsung. Jadi hanya terkesan untuk memenuhi saja 30 persen itu kan.,Cuma sebenarnya ga terlalu ada dorongan dari partainya juga,” ungkap Milla.
Caleg Gina Mardiana dari PSI menyatakan 30 persen kuota perempuan bukanlah hak istimewa (privilege). Sebaliknya, kuota ini menjadi semacam ironi jika hanya dipandang sebatas mengejar kuota oleh partai-partai politik maupun oleh perempuan yang terjun ke dunia politik.
”Kita mendapatkan privilage 30 persen tapi dari 30 persen itu kebanyakan hanya untuk memenuhi kuota perempuan. Tidak seluruhnya itu memang betul-betul mau ke dunia politik dan memiliki kapabilitas yang cukup untuk menjadi politisi atau anggota legislatif,” ucap Gina.
Baca Juga: CATAHU Komnas Perempuan 2023: Kekerasan pada Perempuan di Ranah Publik dan Negara Meningkat
Perempuan Jawa Barat Tolak Diskriminasi dan Dorong Gerakan Perempuan yang Inklusif
Pentingnya Membela Perempuan dengan Perspektif Perempuan
Caleg lainnya dari PDIP, Vannya Vibilla Andjani, mengatakan aturan kuota 30 persen bagi keterwakilan perempuan justru merugikan kaum perempuan. Partisipasi untuk memenuhi kuota ini memang meningkat, tetapi kuota tersebut ke dalam sistem di dalam partai. Menurutnya, partai sendiri yang harus melakukan edukasi politik pada simpatisan dan kader-kader perempuaan.
“Pemerintah harus bertanggungjawab pada pendidikan, fasilitas kesehatan masyarakat kabupaten, karena masih banyak nya tidak pemerataan dalam aspek itu. Perempuan harus bisa mendukung perempuan, ayo bareng-bareng menyatakan dukungan pada perempuan, menang atau tidak kita harus memperjuangkan perempuan dan kaum marjinal,” ungkap caleg dari PDIP ini.
Wiwi Hartanti, Caleg DPRD Kota Bandung dari PKS menjelaskan, masih partai yang tidak memenuhi kuota perempuan 30 persen. Bahkan menurutnya ada partai yang sama sekali tidak memenuhi kuota perempuan. Namun, regulasi ini membutuhkan dukungan payung hukum sehingga partai yang tidak memenuhi kuota perempuan bisa mendapatkan sanksi hukum.
Dari sisi kemampuan, Wiwi menyatakan diperlukan peningkatan kapasitas perempuan. Ia menegaskan perempuan tidaklah tabu jika terjun ke dunia politik.
“Harus adanya paradigma di masyarakat bahwasanya kehidupan ini pasti terlibat dipolitik, sehingga perempuan bisa termotivasi masuk didunia politik,” tutur Wiwi.
Mengutip laman rumahpemilu.org, Kamis, 1 Februari 2024, kuota 30 persen perempuan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pemenuhan kuota ini masih sulit terpenuhi, misalnya di DPRD Kota Bandung dari 50 anggota DPRD hasil Pemilu 2019, hanya ada 9 perempuan (16 persen).
Untuk pemilu 2024, KPU Kota Bandung telah mengantongi sejumlah data caleg dari total 18 partai politik. Total ada 885 calon anggota legislatif yang didaftarkan. Dengan masing-masing partai mendaftarkan sebanyak 50 bakal calon legistor. Tiap partai ada tujuh sampai delapan orang perempuan. Setiap partai memang harus kita memastikan di dalam setiap daerah pemilihan ada keterwakilan perempuan minimal 30 persen.
*Kawan-kawan dapat membaca lebih lanjut tulisan Repi M Rizki atau artikel lain tentang Politik Perempuan