• Indonesia
  • Koalisi Masyarakat Sipil Kembali Desak KPU untuk Membuka Data Pribadi Caleg yang Dirahasiakan

Koalisi Masyarakat Sipil Kembali Desak KPU untuk Membuka Data Pribadi Caleg yang Dirahasiakan

Koalisi Masyarakat Sipil menilai penutupan data pribadi caleg oleh KPU mencederai transparansi Pemilu karena menghalangi pemilih untuk mengetahui profil para calon.

Pekerja merakit kotak suara Pemilu 2024 di gudang Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bandung, Jalan Ibrahim Adjie, Senin, 19 Desember 2023. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Ridho Danu Prasetyo2 Februari 2024


BandungBergerak.id – Pemilu bukanlah sekadar agenda lima tahunan biasa. Ajang kontestasi pemilihan calon legislatif artinya menentukan siapa saja orang-orang terpilih yang akan menjadi perwakilan sebagai dewan untuk merepresentasikan suara rakyat.

Mengenali, memahami program kerja, dan melihat rekam jejak para calon menjadi sangat penting bagi masyarakat sebelum mencoblos para calon yang akan menjadi wakil rakyat. Sayangnya, KPU justru saat ini menutup informasi pribadi berupa riwayat hidup dari 30 persen calon anggota legislatif (caleg), atau sejumlah 2.960 orang.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Informasi yang terdiri dari AJI Indonesia, LBH Pers, ICW, Perludem, Yayasan Tifa dan Medialink mendesak KPU agar data-data pribadi para caleg dibuka ke publik. Koalisi menyebut penutupan informasi ini mencederai transparansi Pemilu karena menghalangi pemilih untuk mengetahui profil para calon.

“Publik berhak tahu calon yang akan dipilih itu siapa, dan riwayat hidupnya seperti apa,” ucap Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin saat dihubungi melalui telepon.

Awalnya, Koalisi Masyarakat Sipil telah mengirim surat kepada KPU pada 22 Desember 2023 silam. Surat tersebut berisi desakan bagi KPU untuk membuka data-data pribadi kepada publik dan memberikan dasar hukum penutupan informasi pribadi para caleg.

KPU kemudian membalas surat tersebut pada 19 Januari 2024 lalu, namun balasan yang diterima dianggap tidak menjawab permintaan yang ada. Koalisi pun kembali mendatangi kantor KPU pada Kamis, 1 Februari 2024 pagi untuk mengirimkan surat pengajuan keberatan atas jawaban yang diterima.

“Ini surat kedua, karena sebelumnya KPU tidak menjawab terkait dokumen yang diminta. Jawaban mereka hanya normatif saja,” ujar Ade.

Terdapat tiga poin permohonan yang disampaikan pada surat kedua ini yaitu terkait informasi uji konsekuensi, transparansi KPU, dan meminta KPU untuk mengakomodir partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2024.

Baca Juga: Dari Caleg Perempuan ke Parlemen yang Melahirkan Kebijakan Pro Perempuan di Kota Bandung
Milenial dan Gen Z Jadi Kunci Mencegah Penyebaran Hoaks Pemilu 2024
Pemberitaan Pemilu 2024 Dominan yang Remeh Temeh

Tak Ada Transparansi dan Dasar Hukum

Dalam surat balasannya, KPU menjelaskan bahwa mereka menutup informasi tersebut dengan alasan perlindungan  data pribadi. Namun, konsep perlindungan data pribadi ini yang masih menjadi pertanyaan bagi publik karena tidak ada dasar hukum yang dijelaskan.

Merujuk pada Pasal 3 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, segala penutupan informasi pribadi calon legislatif harus berdasar pada uji konsekuensi yang telah dilakukan sebelumnya. Uji konsekuensi dilakukan untuk mempertimbangkan kepentingan mana yang lebih besar antara membuka dan menutup informasi tersebut. Penutupan informasi hanya dapat dilakukan apabila ada hal yang membahayakan bagi pemilik data.

Ade menjelaskan ketiadaan informasi terkait proses uji konsekuensi inilah yang mendasari keberatan koalisi atas alasan KPU menutup data para caleg. “Jangan sampai kemudian ada hal-hal yang sengaja disembunyikan dari publik dengan alasan ini,” sambungnya.

Beberapa waktu terakhir publik kian ramai dengan catatan hukum beberapa caleg yang merupakan eks-napi koruptor. Indonesian Corruption Watch (ICW) yang juga tergabung dalam koalisi mengkhawatirkan penutupan data ini berpotensi menjadi bentuk penutupan track record yang buruk dari mata publik.

Ade juga menegaskan bahwa tindakan seperti ini sangat merugikan bagi publik karena tidak bisa mendapat keterbukaan informasi yang telah dijamin oleh Undang-undang. Hal-hal semacam ini juga berpotensi untuk menjadi alasan para pejabat untuk menutupi informasi krusial bagi publik, dengan alasan melindungi data pribadi.

Selanjutnya, Koalisi Masyarakat Sipil akan menunggu balasan berikutnya dari KPU Pusat. Apabila balasan yang didapat masih belum memuaskan, maka langkah berikutnya koalisi akan melakukan gugatan atas sengketa informasi di Komisi Informasi.

*Kawan-kawan silakan membaca tulisan lain Ridho Danu Prasetyo atau artikel-artikel tentang Pemilu 2024.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//