MAHASISWA BERSUARA: Apa Jadinya Jakarta Tanpa Gelar Ibu Kota?
Pemindahan ibu kota menimbulkan pertanyaan serius mengenai perubahan fungsi ruang di Jakarta. Bagaimana tata ruang di Jakarta akan direstrukturisasi?
Faiz Nabawi
Mahasiswa Teknik Planologi di Universitas Trisakti Jakarta
5 Februari 2024
BandungBergerak.id – Pada tahun 1964, Jakarta secara resmi menjadi ibu kota negara Republik Indonesia. Selain sebagai ibu kota negara Republik Indonesia, juga ditetapkan sebagai daerah khusus ibu kota melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya Tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan Nama Jakarta. Salah satu alasannya adalah karena Jakarta merupakan kota yang mencetuskan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang menjadikan negara Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Selain itu, Jakarta juga merupakan kota yang menjadi pusat penggerak kegiatan baik ekonomi maupun aspek lainnya. Jika kita melihat sejarah berdirinya Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia, pada awalnya berasal dari kebiasaan pada masa penjajahan di nusantara. Jakarta pada dasarnya merupakan hasil pengembangan dari kota pelabuhan 'Jayakarta' pada tahun 1619 yang merupakan peninggalan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Pemilihan Jayakarta sebagai ibu kota Hindia Belanda didasarkan pada pertimbangan administratif VOC. Saat itu VOC memiliki hak monopoli perdagangan dan kegiatan kolonial di wilayah tersebut yang diberikan oleh Parlemen Belanda sejak tahun 1602. Proses pendirian benteng dan pemukiman Belanda kemudian menjadi cikal bakal Kota Jakarta yang awalnya bernama Batavia.
Pemerintah kota Batavia (Stad Batavia) secara resmi dibentuk pada tanggal 4 Maret 1621. Dalam kurun waktu 8 tahun, luas wilayah ini bertambah tiga kali lipat, dan pembangunannya selesai pada tahun 1650. Sebagai pusat kegiatan Belanda di Hindia Belanda, Batavia dijuluki "Queen of the East" yang mencerminkan pentingnya Belanda dalam perdagangan.
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, nama Batavia diubah menjadi "Jayakarta" sebagai upaya untuk menarik simpati penduduk Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota Republik Indonesia. Meskipun sempat terjadi perpindahan ibu kota sementara karena perjanjian dengan Belanda dan kondisi darurat selama perang kemerdekaan 1945-1949, Jakarta kembali menjadi ibu kota secara permanen setelah kedaulatan Indonesia diserahkan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan begitu, selama hampir 70 tahun, Jakarta secara resmi telah menanggung beban sebagai ibu kota negara. Hingga pada Senin, 26 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara, dan sebagian lagi di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Tiga tahun setelah presiden menyampaikan keterangan pers terkait pemindahan ibu kota tersebut, tepat pada tahun 2022 DPR resmi mengesahkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, sekaligus sebagai penanda keseriusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur.
Baca Juga: Bandung Raya Perlu Belajar Membenahi Transportasi Publik dari DKI Jakarta
MAHASISWA BERSUARA: Selubung Operasi Kapitalisme dalam Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara
MAHASISWA BERSUARA: Membuang-buang Ruang, Jakarta Tidak Siap dengan Arsitektur Defensif
Masalah Jakarta
Setelah keputusan untuk tidak lagi menjadikan Jakarta sebagai ibu kota negara, perubahan besar diharapkan akan terjadi. Jakarta, sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi Indonesia selama bertahun-tahun, telah berada di bawah tekanan besar dalam hal kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas, dan masalah lingkungan yang parah. Masalah-masalah klise ini tidak pernah terselesaikan, meskipun telah terjadi pergantian pemimpin di Jakarta.
Selama 10 tahun terakhir, kepadatan penduduk di Jakarta telah menjadi masalah yang mendesak untuk diatasi. Sejak awal tahun 2000-an hingga saat ini, kota ini telah mengalami peningkatan jumlah penduduk yang signifikan. Selama ini, pertumbuhan penduduk di Jakarta telah melebihi kapasitas kota yang ada, sehingga memberikan tekanan yang sangat besar terhadap infrastruktur, layanan publik, dan kualitas lingkungan.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 1980, jumlah penduduk Jakarta sekitar 6,5 juta jiwa. Pada tahun 2020, jumlah penduduk Jakarta meningkat hampir dua kali lipat, mencapai 10,56 juta jiwa. Peningkatan jumlah penduduk yang pesat ini telah mengakibatkan berbagai masalah, termasuk kemacetan lalu lintas yang parah, polusi udara yang tinggi, dan kepadatan hunian yang tinggi.
Dampak dari pertumbuhan penduduk yang cepat juga terlihat pada tekanan terhadap lahan dan sumber daya alam. Pembangunan yang tidak terkendali telah mengakibatkan hilangnya ruang hijau dan meningkatnya degradasi lingkungan dan sumber daya air tanah. Selain itu, terdapat juga masalah kepemilikan lahan dan hunian yang layak, karena kepadatan penduduk telah mengakibatkan kenaikan harga tanah di Jakarta.
Jika mengacu pada aspek lingkungan, kerusakan lingkungan di Jakarta dapat dikatakan sangat memprihatinkan. Data dari BPS menunjukkan bahwa tingkat polusi udara di Jakarta secara konsisten melebihi standar yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO). Rata-rata kualitas udara di Jakarta sering tercatat dalam kategori "tidak sehat" hingga "sangat tidak sehat". Penyebabnya adalah emisi kendaraan bermotor, industri, dan pembakaran sampah menghasilkan partikel PM2.5 yang berpotensi mengganggu kesehatan.
Selain aspek kepadatan penduduk dan kualitas lingkungan, aspek transportasi menjadi perhatian besar dalam elemen perkotaan. Permasalahan transportasi yang erat kaitannya dengan Jakarta adalah kemacetan, yang terjadi akibat pesatnya pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi yang tidak diimbangi dengan infrastruktur jalan yang terbatas. Kepadatan penduduk, kurangnya ruang terbuka hijau, dan pola urbanisasi yang cepat juga turut menyumbang kemacetan.
Berdasarkan data dari Tomtom, sebuah pengembang teknologi yang mengukur indeks lalu lintas, Jakarta termasuk dalam 10 besar kota besar termacet, yang dipengaruhi oleh populasi kendaraan yang terus meningkat. Menurut data BPS, jumlah kendaraan bermotor di Jakarta secara konsisten mengalami peningkatan setiap tahunnya selama periode 2017-2021. Pada tahun 2021 jumlah kendaraan di Jakarta telah mencapai sekitar 21,75 juta unit, tumbuh 7,6% (year-on-year/yoy) dari tahun sebelumnya. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan seperti pengembangan transportasi massal dan pengaturan lalu lintas, penyelesaian masalah kemacetan Jakarta masih menjadi tantangan yang kompleks.
Bagaimana Jakarta setelah Bukan Ibu kota?
Pemindahan ibu kota dapat menjadi titik awal bagi Jakarta untuk mengatasi berbagai masalah yang telah lama menghantui kota ini. Dengan fokus yang lebih besar pada pembangunan infrastruktur, lingkungan, dan pemerataan pembangunan di wilayah lain. Jakarta bisa mendapatkan kesempatan untuk “bernafas” untuk merevitalisasi kembali. Namun, perubahan status Jakarta yang bukan lagi sebagai ibukota pemerintahan menimbulkan sejumlah tantangan besar yang perlu ditangani dengan bijaksana dan cermat.
Pertama, pemindahan ibu kota menimbulkan pertanyaan serius mengenai perubahan fungsi ruang di Jakarta. Dengan berpindahnya pusat pemerintahan, bagaimana tata ruang di Jakarta akan direstrukturisasi? Perencanaan tata ruang yang detail diperlukan agar infrastruktur yang ada dapat dimaksimalkan kembali untuk mendukung fungsi-fungsi baru yang sesuai dengan pertumbuhan kota yang berkelanjutan.
Terkait dengan aspek ekonomi di wilayah Jakarta, dalam keterangan pers pada Februari 2024 lalu, presiden mengatakan bahwa Jakarta akan direncanakan sebagai ibu kota bisnis dan pusat ekonomi. Bagaimana keseimbangan ekonomi akan terjaga tanpa dukungan dari status sebagai pusat pemerintahan? Jakarta harus mengalami transformasi yang ekstrem untuk beradaptasi dengan perubahan ini, dengan menggali potensi industri lain dan menciptakan lapangan kerja baru yang menguntungkan. Keberhasilan transformasi ini akan menentukan apakah Jakarta akan berhasil menjadi kota bisnis yang sebanding dengan kota-kota bisnis di negara lain atau apakah Jakarta akan memiliki model pengembangan kotanya sendiri.
Selain itu, aspek transportasi dan konektivitas juga menjadi perhatian penting dalam perencanaan setelah pemindahan ibu kota. Bagaimana sistem transportasi di Jakarta akan diadaptasi untuk mengakomodasi perubahan pola mobilitas penduduk? Rekayasa ulang sistem transportasi yang efisien menjadi sangat penting dalam menghadapi perpindahan moda transportasi secara massal di Jakarta.
Kemudian, masalah lingkungan yang krusial di Jakarta masih membutuhkan penyelesaian yang serius. Polusi udara, banjir, dan kurangnya area hijau telah menjadi ciri khas Jakarta. Bagaimana pemerintah memastikan bahwa masalah-masalah ini tidak hanya dipindahkan ke Ibu Kota Nusantara (IKN), tetapi juga ditangani dengan langkah-langkah pencegahan yang efisien?
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemindahan ibu kota menciptakan peluang-peluang baru bagi Jakarta. Peluang untuk merevitalisasi infrastruktur, memberikan solusi inovatif untuk masalah-masalah yang telah lama ada, dan memberikan ruang untuk pengembangan kebijakan baru yang inklusif dan berkelanjutan. Namun, semua peluang tersebut membutuhkan visi yang jelas, rencana yang matang, dan komitmen penuh dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Transparansi dan partisipasi masyarakat juga menjadi kunci keberhasilan, agar keputusan besar ini benar-benar dapat membawa perubahan positif bagi Jakarta secara keseluruhan. Dalam konteks ini, kolaborasi antara lembaga pemerintah, akademisi, LSM dan pelibatan partisipasi masyarakat menjadi sangat penting. Perumusan kebijakan dan rencana tata ruang yang komprehensif serta solusi inovatif untuk mengatasi tantangan yang dihadapi Jakarta pasca pemindahan ibu kota harus menjadi fokus utama.
Masa depan Jakarta setelah tidak lagi menjadi ibu kota negara memang tidak dapat diprediksi dengan pasti. Namun, dengan pendekatan yang tepat dan keputusan-keputusan bijaksana yang mengedepankan nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, dan integrasi, setidaknya masih ada harapan untuk melihat Jakarta yang lebih baik. Jakarta memiliki potensi untuk menjadi contoh bagi kota-kota besar lainnya dalam menghadapi perubahan yang ekstrem dan membangun masa depan yang lebih baik.
Dengan berpindahnya ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur menandai era baru dalam pembangunan kota dan bangsa. Dengan demikian, keberhasilan Jakarta di masa depan tidak hanya ditentukan oleh perencanaan yang matang, tetapi juga oleh implementasi kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan. Tantangan ini membutuhkan inovasi, kesadaran lingkungan, dan komitmen untuk membangun kembali kota dengan cara yang lebih baik.