• Opini
  • Tepatkah Memilih Carbon Capture Storage sebagai Solusi Permasalahan Iklim ?

Tepatkah Memilih Carbon Capture Storage sebagai Solusi Permasalahan Iklim ?

Teknologi Carbon Capture Storage (CSS) tidak bisa disebut sebagai solusi mengatasi permasalahan iklim karena justru semakin melanggengkan penggunaan bahan bakar fosi

Fariz Reza Ferdiansyah

Alumni Hubungan Internasional Universitas Amikom Yogyakarta

Aksi unjuk rasa aktivis lingkungan yang tergabung dalam Bandung Berisik (Bandung Selamatkan Iklim) di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat (5/11/2021). (Agil Mohammad Gilman Najib/BandungBergerak.id)

12 Februari 2024


BandungBergerak.id – Teknologi Carbon Capture Storage (CCS) atau Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) menjadi semakin banyak diperbincangkan terutama setelah debat calon wakil presiden kedua yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Desember 2023 lalu. Dalam debat tersebut, calon wakil presiden nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka juga sempat menanyakan terkait regulasi teknologi penangkapan karbon tersebut.

Kemudian dalam debat keempat yang diadakan pada Minggu (21/1/2024), Gibran kembali menyinggung soal CCS. Menurutnya saat itu bahwa CCS perlu diimplementasi dalam rangka mendorong program pembangunan rendah karbon.

Namun yang menimbulkan pertanyaan adalah apakah teknologi CCS dapat menjadi solusi terhadap permasalahan iklim kita saat ini?

Baca Juga: Skeptisisme Gen Z Terhadap Janji Iklim Capres
Catatan Akhir Tahun Save The Children 2023: Krisis Iklim yang Berdampak pada Anak
Bandung dalam Jeratan Krisis Iklim

Apa itu Carbon Capture Storage (CCS)?

Indonesia Center of Excellence for CCS and CCUS menjelaskan bahwa Carbon Capture Storage (CCS) adalah teknologi penangkapan dan penyimpanan emisi karbon yang mengintegrasikan penangkapan CO2 dari sumber emisi yang besar, pengangkutan CO2 biasanya melalui pipa, dan injeksi CO2 ke lokasi penyimpanan geologi.

Pemanfaatan teknologi CCS sebenarnya bukan merupakan narasi baru, melainkan sudah menjadi bagian dari agenda pemerintah Indonesia dalam mendorong transisi energi dan mempercepat pengurangan emisi sesuai dengan target Net-Zero Emission pada tahun 2060. Katadata menyebutkan bahwa Indonesia sudah memiliki 15 proyek kajian CCS/CCUS yang tersebar dari Aceh hingga Papua, yang mana memiliki total potensi injeksi CO2 antara tahun 2030 hingga 2035 berkisar 25 hingga 68 juta ton.

Hal ini kemudian diperkuat oleh pernyataan Kemerntrian Energi dan Sumber Daya Alam yang menjelaskan mengenai pentingnya penerapan CCS selain untuk menyerap emisi karbon. Dari sisi ekonomi misalnya, penerapan teknologi CCS dapat menciptakan lapangan kerja hingga mengurangi biaya operasional penyediaan listrik. Lebih lanjut, Indonesia telah berkomitmen untuk mengimplementasikan clean coal technology dengan menghentikan PLTU batu bara yang sudah tua. Sebagai langkah lanjut Indonesia akan menggabungkan clean coal technology ini dengan CCS.

Solusi Palsu

Global CCS Institute menyebutkan bahwa saat ini beberapa negara di dunia seperti Amerika Serikat, Australia, Nowegia, Islandia hingga Tiongkok sudah menerapkan CCS komersial untuk menyimpan 49 juta metrik ton emisi karbon per tahun. Adapun 30 dari 42 proyek tersebut menggunakan karbon untuk pemulihan minyak yang ditingkatkan (enhanced oil recovery/EOR), yang mana merupakan sebuah cara untuk membebaskan minyak yang terperangkap dengan menyuntikan karbon ke dalam sumur minyak. Sedangkan 12 proyek sisanya menyimpan karbon secara permanen ke dalam formasi bawah tanah untuk meningkatkan produksi minyak. Dengan demikian, banyak dari mereka terutama para pebisnis bahan bakar fosil menyebut teknologi ini sebagai ramah iklim.

Di sisi lain, negara-negara seperti di Norwegia dan Tiongkok telah mengentikan proyeknya dengan alasan finansial. Mengutip dari Reuters, menurut International Energy Agency penerapan CCS memerlukan biaya yang sangat tinggi. Biaya ini berkisar antara $15 hingga $20 per metrik ton karbon yang ditangkap tergantung pada sumber emisi, dan pada proyek DAC sekitar $600 hingga $1000 per metrik ton.

Riset Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyebut bahwa CCS sepanjang sejarahnya gagal memenuhi ekspektasi. Proyek jutaan dolar ini memiliki risiko finansial dan teknologi yang besar. Selain itu hampir 90% dari kapasitas CCS yang diusulkan di sektor kelistrikan telah gagal pada tahap implementasi atau ditangguhkan lebih awal. Tingkat penangkapan karbon yang dirancang secara teoritis telah gagal pada sebagian besar proyek. Akibatnya target pengurangan emisi sebesar 90% yang telah diklaim sebelumnya, pada praktiknya tidak tercapai.

Carrol Muffet, Direktur Utama Centre for International Environmental Law (CIEL) dalam wawancaranya dengan CNBC menyebut teknologi CCS sebagai solusi palsu dalam mengatasi perubahan iklim. Menurut laporan CIEL, skalabilitas CCS juga tidak terbukti dan biayanya sangat mahal. Artinya, teknologi ini tidak dapat berperan dalam mengurangi emisi karbon global secara cepat untuk sampai pada target yang diperlukan, yang mana kita ketahui bahwa salah satu poin Perjanjian Paris adalah dengan memperlambat laju pemanasan global di bawah 2° C.

Teknologi CCS tidak bisa disebut sebagai solusi dalam mengatasi permasalahan iklim yang ada dan justru semakin melanggengkan penggunaan bahan bakar fosil. Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Fanny Tri Jambore menyebutkan bahwa penerapan teknologi CCS hanya memperkeruh dampak buruk dari penggunaan bahan bakar fosil dan menjadi solusi palsu dalam mencegah pemanasan global di Indonesia.

Bahaya Greenwashing

Teknologi CCS sering kali dikemas dalam narasi-narasi hijau yang mana patut diwaspadai akan bahaya greenwashing. Greenwashing sendiri berarti sebuah praktik di mana sebuah perusahaan atau organisasi membuat klaim palsu atau menyesatkan tentang praktik lingkungan mereka untuk memberikan citra ramah lingkungan. Pada dasarnya praktik ini dilakukan tanpa dasar yang kuat demi kelangsungan dan keuntungan bisnis.

Penerapan CCS yang memerlukan biaya yang sangat mahal membuat masyarakat secara global belum bisa percaya bahkan menyebutnya sebagai kontra-produktif. Dengan memberi label “hijau” pada penerapan teknologi ini, justru semakin membuka ruang terhadap keberlangsungan bisnis bahan bakar fosil atas dasar hitung-hitungan penyerapan emisi karbon di masa depan.

Dengan investasi yang sama, pemerintah seharusnya bisa lebih fokus pada solusi nyata, yakni meninggalkan penggunaan bahan bakar fosil dalam upaya mencapai target Net-Zero. Rencana pembangunan CCS bisa lebih dipertimbangkan kembali melalui kajian-kajian ilmiah yang ada. Sebagai negara berkembang Indonesia perlu mendorong kerja sama internasional untuk mempercepat transformasi energi yang lebih terjangkau dan berkeadilan. Selain itu, angka deforestasi sebagai salah satu upaya untuk memitigasi krisis iklim juga perlu ditekan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//