Catatan Akhir Tahun Save The Children 2023: Krisis Iklim yang Berdampak pada Anak
Catatan akhir tahun Save The Children 2023 menyoroti dampak perubahan iklim pada anak. Dari meningkatkan gangguan kesehatan hingga risiko perkawinan anak.
Penulis Salma Nur Fauziyah23 Desember 2023
BandungBergerak.id – Catatan akhir tahun Save the Children tahun 2023 ini menyoroti dampak krisis iklim akibat fenomena kekeringan yang dipengaruhi El Nino tahun ini pada kehidupan dan pemenuhan hak anak. Tata Sudrajat selaku Interim Chief of Advocacy, Campaign, Communication & Media dari Save the Children Indonesia memaparkannya sebagai kesimpulan hasil riset yang dilakukan organisasinya di tiga kabupaten yakni Lombok Barat, Sumba Timur, dan Kupang.
Tata mencontohkan di Lombok Barat saat kekeringan menyebabkan kelangkaan sumber air. Kekeringan misalnya menyebabkan menurunnya pasokan air bersih dari 100 liter per detik menjadi hanya 30 liter per detik. Kekeringan berdampak langsung pada berkurangnya ragam pangan yang pada akhirnya berdampak pada asupan gizi anak dan kelompok rentan.
“Dampak pada anak yang kita ketahui dari studi ini adalah banyak anak yang mengalami ISPA selama kekeringan dan menyebabkan tidak dapat masuk sekolah,” kata Tata, dalam rilis Catatan Akhir Tahun: Situasi Anak dan Pemenuhan Hak Anak Sepanjang Tahun 2023 lewat platform Zoom dan YouTube Live, Kamis, 21 September 2023.
Selain hal tersebut suhu tinggi akibat kekeringan tersebut mengganggu membuat anak sulit belajar karena konsentrasinya terganggu. Anak harus berjalan ke sekolah dengan jarak yagn relatif jauh dalam cuaca yang terik.
Kekeringan di Lombok Barat juga berdampak pada angka Stunting yang masi tetap tinggi. Hingga tahun 2023 angka prevalensi Stunting di Lombok Barat pada tahun 2023 mencapai 13,63%, kendati angka ini masih lebih rendah dibanding dengan dua tahun sebelumnya yakni 28,9%.
Mengutip data Simfoni PPA, kasus kekerasan pada anak masih relatif tinggi. Sepanjang 2023 tercatat 7.965 laporan kekerasan pada anak. Di wilayah NTT yang dilanda kekeringan misalnya, sepanjang Januari-Juli 2023 tercatat lebih dari 200 kasus kekerasan seksual dan fisik pada anak.
Save the Children mencatat tekanan ekonomi yang oleh krisis iklim juga menyebabkan adanya risiko perkawinan dan kemiskinan pada anak.
"Dua dari setiap tiga perkawinan anak terjadi di wilayah yang paling terkena dampak perubahan iklim," kata Tata.
Tata mengatakan bahwa banyak sekali dampak negatif dari perkawinan pada anak. Mulai dari dampak pada pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi yang pada akhirnya berujung pada munculnya kemiskinan baru atau kemiskinan struktural.
"Tak hanya itu, kasus kekerasan dalam rumah tangga juga marak terjadi pada pasangan muda atau pasangan yang menikah di usia anak, dan tak sedikit dampak terburuk dalam berbagai kasus adalah meninggal dunia," kata Tata.
Save The Children memaparkan urgensi untuk program pemenuhan hak-hak anak untuk tahun 2024 mendatang. Laporan Global Save The Children “Generation Hope” tahun 2022, memperkirakan jika ada 774 juta dari sepertiga populasi anak di dunia akan hidup dengan kemiskinan yang parah dan risiko iklim yang tinggi. Indonesia pun menduduki peringkat ke-9 yang berpotensi untuk kedua krisis tersebut.
Tata memaparkan bahwa diperlukan diskusi yang lebih serius mengenai perubahan iklim dan risikonya pada anak. Bukan hanya tentang dampak fisik lingkungan saja yang disorot, tetapi dampak yang akan dirasakan. Lalu, membentuk sinergisitas program pemenuhan hak-hak anak dan perlindungan khusus, terutama yang terdampak dengan krisis iklim, dan terakhir mengajak anak muda dan pemerintah untuk turut terlibat dalam mengatasi krisis iklim yang berdampak pada anak.
Baca Juga: Mengajarkan Mitigasi Bencana Tsunami pada Anak-anak SD Pangandaran
Menyimak Imajinasi Anak-anak Dago Elos
Menjaga Anak-anak di Bandung agar tak Rentan Terserang Diabetes
Kasus Kekerasan pada Anak Masih Tinggi
Pembicara kedua dalam Catatan Akhir Tahun Save the Children tersebut menghadirkan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah. Ia memaparkan hasil laporan mengenai situasi pemenuhan hak anak sepanjang tahun 2023. Fokus utama yang dilakukan oleh KPAI adalah Pemenuhan Hak Anak (PHA) serta Perlindungan Khusus Anak (PKA).
Dari bulan Januari hingga November 2023 terdapat 2.256 kasus PHA dan PKA yang terlaporkan kepada pihak KPAI. Kasus yang masuk kategori PHA menjadi hal yang paling banyak terlapor, yaitu 1.558 kasus (68,8%). Sementara kasus yang masuk kategori PKA sendiri sebanyak 707 kasus (31,2%).
Ai menyoroti berbagai bentuk penyalahgunaan dan eksploitasi anak dalam pemilu . KPAI menerima banyak sekali laporan temuan pelanggaran pemilu yang melibatkan anak. Bentuknya bermacam-macam, seperti melibatkan anak untuk mengenakan atribut kampanye dan melibatkan anak dalam pembuatan video untuk memilih pasangan calon tertentu.
Peluncuran Buku Antologi Isu Anak
Acara yang berlangsung daring tersebut dilanjutkan dengan peluncuran E-Book "Berpihak Pada Anak, Antologi Reportase Jurnalistik" yang merupakan kumpulan tulisan bertema anak yang ditulis oleh jurnalis sahabat anak di Jawa Barat. Acara tersebut menghadirkan empat jurnalis yang turut menulis di buku tersebut. Mereka adala Hanifah Paramitha (TVRI), Virliya Putricantika (BandungBergerak.id), Muhammad Nizar (Jabar Ekspres), dan Syamsul Arifin (RMOLJabar). Masing-masing narasumber ini menulis reportase anak ini dari berbagai perspektif isu, mulai dari isu disabilitas, keberagaman, pasar, serta keterlibatan anak dalam politik praktis.
Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Ika Ningtyas yang menjadi penanggap dalam sesi diskusi kedua tersebut mengatakan bahwa antologi tersebut membukakan mata bahwa isu anak ada pada semua isu.
“Lewat apa yang ditulis teman-teman kita melihat bahwa isu anak itu ada di semua isu. Karena hak asasi manusia termasuk hak anak itu melekat di pendidikan, pangan, teknologi informasi dan semuanya,” kata Ika, Kamis, 21 September 2023.
Sesi diskusi peluncuran buku tersebut salah satunya menyoroti mengenai isu anak yang dilibatkan dalam Pemilu. Ketua AJI Bandung Tri Joko Her Riadi mengatakan bahwa aturan larangan melibatkan anak dalam pemilu sudah terang-benderang.
“Tidak boleh kita menganggap ini pelanggaran yang terus berulang sehingga tidak penting, justru karena ini selalu terjadi, di situ ada risiko keselamatan anak maka perlu jurnalis untuk perlu menyuarakan akan pelanggaran-pelanggaran seperti ini,” kata Joko.