• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Keberpihakan Presiden Jokowi dan Preseden Pemilu yang Tidak Adil

MAHASISWA BERSUARA: Keberpihakan Presiden Jokowi dan Preseden Pemilu yang Tidak Adil

Tidak hanya civitas academica saja, namun semua pihak harus terlibat aktif untuk mencegah kekuasaan tanpa batas melenggang bebas pasca Pemilu 2024.

Dhien Favian A

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabya

Bentangan spanduk berisi kritik terhadap pemerintahan Jokowi dalam aksi Mimbar Demokrasi dan Maklumat Jawa Barat, Rabu 7 Februari 2024 sore di depan Gedung Sate, Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

9 Februari 2024


BandungBergerak.id – Pada Rabu tanggal 24 Januari 2024 lalu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi kembali menyampaikan pernyataan kontradiktif kepada publik. Melalui konferensi pers yang dilangsungkan di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jokowi menyampaikan bahwa presiden boleh melakukan kampanye menjelang Pemilu. Itu artinya presiden berkenan mengampanyekan calon presiden yang didukung olehnya kepada publik dan presiden boleh berpihak kepada siapa yang akan meneruskan kepemimpinannya. Kendati demikian, Jokowi memperingatkan bahwa presiden tidak boleh menggunakan fasilitas negara selama melakukan kampanye dan harus mengajukan cuti untuk mencegah konflik kepentingan dari diri presiden itu sendiri. Jokowi beralasan bahwa presiden bukan semata-mata pejabat publik saja, melainkan juga pejabat politik.

Pejabat politik dalam pernyataan Jokowi dimaksudkan bahwa mereka yang terpilih melalui pemilihan umum juga berhak untuk mendukung pasangan calon atau partai politik tertentu dan hal ini juga sudah diatur oleh undang-undang.

Jokowi mengutip Pasal 281 dan Pasal 299 dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum sebagai bukti dari pernyataannya kepada media. Pasal 299 secara definitif menyebutkan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye dalam waktu pemilihan umum”, yang itu artinya presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan juga berhak untuk melakukan kampanye yang diklasifikasikan sebagai tindakan politik. Di sisi lain, Pasal 281 ayat 1 secara definitif menyebutkan bahwa “Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden dan Wakil Presiden harus memenuhi ketentuan; 1) tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 2) menjalani cuti di luar tanggungan negara, yang mana cuti yang diajukan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara. Meskipun demikian, mekanisme cuti untuk presiden yang hendak berkampanye masih diperdebatkan oleh beberapa pihak.

Pada satu sisi, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa Jokowi harus mengajukan izin cuti kepada dirinya sendiri untuk melakukan kampanye politik dan segala tugasnya akan diemban oleh wakil presiden. Di sisi lain, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menyebutkan bahwa presiden hanya perlu mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) yang memberikan mandat kepada wakil presiden untuk menjelaskan tugas kepresidenan selama hendak berkampanye dalam Pemilu 2024.

Pernyataan Jokowi tidak lama memancing keributan dan kritik keras dari berbagai kalangan, kendati tentu saja ada pihak yang membela pernyataan tersebut. Dimulai dari kubu Prabowo-Gibran, Habiburrokhman selaku Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) membela pernyataan Jokowi dengan alasan bahwa ia tidak mengampanyekan untuk maju sebagai presiden untuk ketiga kalinya. Selain itu, Habiburrokhman menyebut bahwa ia boleh mendukung anaknya – notabene Gibran – untuk maju sebagai cawapres selama tidak menggunakan fasilitas negara sesuai dengan ketentuan dari UU Pemilu.

Pendapat dari TKN dibantah keras oleh Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, di mana Todung Mulya Lubis memandang keberpihakan Jokowi menjadi pintu masuk bagi pemakzulan. Todung mengkritik sikap Jokowi yang sudah tidak mencerminkan kenegarawanan seorang presiden dan TPN juga sepakat bahwa keberpihakan presiden dalam Pemilu akan mengundang konflik kepentingan yang besar, baik dari sisi anggaran negara maupun pengerahan aparat negara secara lebih masif. Kedua respons yang berlawanan ini kembali membuka dua permasalahan yang muncul secara simultan dan pemilu ke depan diprediksi akan semakin riuh imbas dari pernyataan keberpihakan Presiden.

Baca Juga: UII dan UGM Mengkritik Pudarnya Sikap Kenegarawanan Presiden Jokowi
Unpad Menyerukan Penyelamatan Negara dari Praktik Politik Tidak Beretika dalam Pemerintahan Jokowi
ITB Mendesak Penyelenggaraan Pemilu 2024 yang Berkeadaban, UPI Mengingatkan Presiden Jokowi agar Bersikap Negarawan

Keberpihakan Presiden dalam Pemilu

Pertama ialah permasalahan regulatif. Tidak bisa dipungkiri bahwa UU No. 7 Tahun 2017 secara tersurat membolehkan presiden dan wakil presiden untuk berkampanye. Selain itu, untuk mencegah adanya konflik kepentingan, mekanisme pengajuan cuti menjadi satu-satunya jalan yang disediakan dari peraturan tersebut. Akan tetapi, bila berkaca dari etika politik, tindakan ini justru bertentangan karena membiarkan kepentingan personal mencampuri urusan bernegara dan justru membuka proses pemilu yang tidak adil.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau dikenal sebagai TAP MPR No. VI Tahun 2001 seharusnya menjadi fondasi dasar bagi kenegarawanan seorang pejabat publik. Disebutkan dalam TAP MPR ini bahwa setiap pejabat publik harus mengedepankan kejujuran, amanah, dan tanggung jawab dalam menjaga kehormatan berbangsa dan bernegara, yang mana siapa pun yang menjadi pejabat negara – baik itu sebagai elected official ataupun appointed official harus bersikap mulia dalam membawa kebermanfaatan kepada masyarakat secara keseluruhan. Bila dikaitkan dalam konteks pemilu, maka presiden sekalipun wajib untuk bersikap adil pada dirinya maupun dengan pemerintahannya dengan bersikap netral di depan publik, supaya hasil pemilu bukanlah rekayasa dari rezim yang sedang berkuasa. Akan tetapi, fenomena kali ini mencerminkan bagaimana prinsip kenegarawanan dilunturkan secara sengaja oleh Jokowi untuk melanjutkan warisannya kepada “orang kepercayaannya” dan aura keberpihakan dari kepala negara mulai ditunjukkan untuk melanggengkan ambisi tersebut.

Kedua ialah permasalahan politik, di mana situasi politik saat ini sudah cukup membongkar tabiat Jokowi menjelang berakhirnya masa jabatan periode kedua. Setelah drama putusan Mahkamah Konstitusi hingga pengerahan aparat negara secara masif untuk memenangkan, keberpihakan presiden sudah memasuki babak baru yang sudah dikhawatirkan oleh beberapa elemen masyarakat sebelumnya. Kendati secara regulatif ia dibolehkan untuk melakukan hal tersebut, namun situasi politik di dalam Kabinet Indonesia Maju semakin menunjukkan keriuhan sebagai akibat dari preseden keberpihakan tersebut.

Terbaru, situasi kabinet Jokowi terlihat semakin tidak kondusif dengan berbagai isu yang santer terdengar ke masyarakat. Dan ini berkaitan erat dengan tekanan pada kabinet untuk mendukung paslon yang mendapat “dukungan” Jokowi.

Pengunduran diri Mahfud MD selaku Menkopolhukam serta Jaleswari Pramodhawardhani dari Kepala Staf Kepresidenan seolah menjadi bukti nyata atas pernyataan tersebut, dimana pengunduran diri kedua tokoh ini tidak bisa dikatakan atas dasar pilihan politik semata kendati mereka menyatakan demikian kepada media massa. Alasan mendasarnya tentu merujuk pada mobilisasi menteri untuk tunduk pada keinginan Jokowi, yang mana hal ini jelas akan “menjegal” Mahfud dengan beban moral untuk mendukung perintah “Pak Lurah” di tengah upayanya untuk berkompetisi dengan Prabowo-Gibran dan Anies-Muhaimin secara jujur dan adil.

Selain itu, pengakuan bahwa mundurnya Mahfud disimbolkan dengan etika dan integritas juga mengindikasikan bahwa kubu Ganjar-Mahfud mencoba untuk “berjarak” dengan Istana di menit-menit terakhir, supaya kubu mereka mendapatkan sambutan positif dari publik layaknya “pahlawan” dan sekaligus dapat berhadapan dengan Prabowo-Gibran yang sudah dibeking Istana hingga putaran kedua.

Tidak hanya mundurnya Mahfud saja, situasi kabinet yang tidak kondusif juga diwakilkan melalui pernyataan Hasto mengenai kondisi Risma yang merasa tidak nyaman menjalankan tugasnya selaku Menteri Sosial. Kendati Risma hingga kini belum mengklarifikasi pernyataan Hasto mengenai hal tersebut, namun pernyataan ini tidak bisa dilepaskan dari pembagian bantuan sosial (bansos) oleh Jokowi baru-baru ini.

Intervensi Jokowi

Laporan media TEMPO belum lama ini membongkar bagaimana pembagian bansos secara sepihak oleh Jokowi juga melibatkan intervensi Istana kepada Risma dan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Intervensi tersebut antara lain pengalihan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Kementerian Sosial ke versi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan refocusing anggaran bansos dari Kementerian/Lembaga lain untuk pembagian bansos secara sepihak hingga mencapai Rp 496 triliun total biayanya, tertinggi kedua setelah tahun 2020. Kedua instrumen ini lantas digunakan oleh Jokowi untuk memberikan bantuan kepada masyarakat di wilayah yang belum terjamah oleh elektabilitas Prabowo-Gibran dengan embel-embel “bantuan El Nino”. Selain itu, dengan turunnya Jokowi secara langsung dalam pembagian bansos tanpa melibatkan Risma, maka praktik ini sarat akan kepentingan politik presiden semata mengingat seharusnya Mensos juga turut terlibat di dalamnya.

Beredarnya beras bansos berstiker Prabowo-Gibran yang viral di media sosial menjadi bukti yang menggemparkan dibalik adanya intervensi tersebut. Kendati beberapa pihak seperti Bulog hingga Kantor Staf Presiden (KSP) membantah adanya pemasangan stiker 02 pada bansos pemerintah, namun viralnya berita ini menjadi hal yang tidak bisa dibantah dari kehadiran segenap operasi Istana untuk memenangkan paslon tertentu, terutama melalui bansos.

Intervensi inilah yang kemudian dikritik oleh akademisi sebagai campur tangan lebih lanjut dalam memenangkan paslon 02. Selain waktu pembagiannya yang berdekatan dengan pemungutan suara, praktik yang erat dengan klientelisme ini hanya ditujukan untuk mengerahkan masyarakat untuk mendukung paslon yang didukung Istana serta memberdayakan mereka dengan bantuan pemerintah secara “cuma-cuma”. Pembagian bansos oleh Jokowi ini kiranya menjadi pengejwantahan yang jelas akan keberpihakan presiden dalam Pemilu 2024. Selain berupaya untuk mendorong paslon 02 untuk menang satu putaran, intervensi Jokowi kepada menterinya di kabinet juga membuat Kabinet Indonesia Maju tidak lagi profesional menjelang akhir masa jabatannya. Padahal sebagai presiden yang sudah memasuki fase lame duck, ia harus bersikap sebagai negarawan dengan menyerahkan urusan lima tahun ke depan kepada publik alih-alih memaksa untuk melanjutkan kekuasaannya kepada “orang kepercayaannya”.

Dengan demikian, tidak bisa diharapkan sepenuhnya bahwa Pemilu 2024 akan menjunjung prinsip luberjurdil seperti amanat UUD 1945. Pemungutan suara tinggal menghitung hari dan kualitas dari demokrasi lima tahun ke depan akan dipertaruhkan dalam satu momentum ini. Apabila sekian episode di atas masih terus berlanjut, maka prediksi Ian Wilson akan redupnya demokrasi di Indonesia akan semakin nyata. Oleh karenanya, seluruh elemen bangsa Indonesia harus sadar akan kondisi demokrasi yang semakin terpuruk ini. Tidak hanya “Petisi Bulaksumur” yang sudah disuarakan civitas akademika UGM hingga UNHAS saja, namun semua pihak harus terlibat aktif untuk mencegah kekuasaan tanpa batas melenggang bebas pasca Pemilu 2024.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//