• Berita
  • Kasus Penculikan Bukan untuk Diputihkan, Menolak Narasi Melupakan Pelanggaran HAM

Kasus Penculikan Bukan untuk Diputihkan, Menolak Narasi Melupakan Pelanggaran HAM

Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan penculikan belumlah selesai dan perjuangan menegakkan hukum pada pelaku masih harus dilanjutkan.

Diskusi publik dan bedah buku Kasus Penculikan Bukan untuk Dipulihkan di ruang Audio Visual, Gedung 3 Fisip, Unpar. Bandung, Jumat 9 Februari 2024. (Foto: Muhammad Jadid Alfadlin/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Jadid Alfadlin 12 Februari 2024


BandungBergerak.id - Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan penculikan aktivis kerap dianggap sebagai isu lima tahunan. Sebagian masyarakat, terkhusus golongan muda yang lahir pascakeruntuhan Suharto dan Orde Baru, buta akan sejarah kelam bangsa yang belum tertuntaskan ini. Hal ini tentu berbahaya, terlebih terduga pelaku dan aktor intelektual kasus tersebut kini berlenggang bebas di kontestasi elektoral.

Dalam diskusi publik dan bedah buku “Kasus Penculikan Bukan untuk Diputihkan” di ruang audio visual Fisip Unpar, Bandung, Jumat, 9 Februari 2024, terungkap bahwa penuntasan kasus pelanggaran HAM dan penculikan aktivis merupakan perjuangan dalam waktu panjang. Setiap hari Kamis selama lebih dari 17 tahun aksi Kamisan digelar di depan Istana Negara, menunjukkan perjuangan seumur hidup menolak lupa korban dan keluarga yang hak asasi manusianya dilanggar.

Diksusi “Kasus Penculikan Bukan untuk Diputihkan” menghadirkan Suciwati, istri mendiang Munir, pegiat HAM yang dibunuh dengan racun dalam penerbangan pesawat menuju Amsterdam guna melanjutkan studinya. Berdasarkan sudut pandang keluarga korban, Suciwati menjelaskan bahwa mereka sudah menemui semua penguasa dan aparat negara dalam upaya memperjuangkan penuntasan kasus yang mereka alami. Namun, hasilnya masih menyedihkan.

Selain Munir, masih banyak keluarga-keluarga korban pelanggaran HAM yang menuntut keadilan, di antaranya Sumarsih, ibunda Wawan mahasiswa korban Tragedi Semanggi I ketika reformasi 1998 meletus. Wawan tertembak kala gelombang demonstrasi melanda Ibu Kota.

“Ini adalah cerita tentang negara bangsa ini, bagaimana kita berjuang dalam reformasi berdarah-darah. Anak Bu Sumarsih ditembak dan itu tidak diketemukan siapa yang membunuh,” jelas Suciwati.

Cerita dan korban terkait pelanggaran HAM berat selalu menghadapi jalan yang berat. Termasuk dengan adanya upaya-upaya menghapuskan mereka dari sejarah bangsa ini.

“Yang namanya lembaga negara yang terlibat di sana adalah manusia jahat, itu yang harus dikeluarkan. Yang harusnya katanya menjunjung tinggi demokrasi, yang katanya semua sama di muka hukum. Yang terjadi, tidak,” lanjut Suciwati.

Kasus Penculikan Bukan untuk Diputihkan

Buku "Kasus Penculikan Bukan untuk Dipulihkan" ditulis Al Araf dan Tofik Pram (Januari 2024). Al Araf menjelaskan, latar belakang penulisan buku ini karena kegerahannya melihat upaya-upaya menghapusan dan melupakan sejarah dalam kasus penculikan dan pelanggaran HAM. Terlebih ketika hal tersebut diungkapkan langsung oleh salah seorang aktivis pada masa penculikan tersebut.

“Saya menganggap kekuasaan sedang ingin membangun narasi untuk melupakan sejarah masa lalu. Kekuasaan sedang ingin membangun dan menarasi melupakan peristiwa pelanggaran HAM berat. Kekuasaan sedang ingin melupakan tentang peristiwa penculikan, yang padahal sampai sekarang, ibu Suci (Suciwati), ibu Sumarsih, dan kawan-kawan yang lain setiap Kamis konsisten melakukan penuntutan terhadap negara untuk meminta tanggung jawab konstitusional dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM,” tegas aktivis reformasi pertahanan dan keamanan ini, berapi-api.

Hal itulah, kata Al Araf yang membuatnya memutuskan untuk menulis buku Kasus Penculikan Bukan untuk Dipulihkan. Kondisi yang terjadi saat ini telah mencapai batas yang membahayakan. Korban yang mencari keadilan tak bertepi harus dihadapkan pada narasi-narasi yang dibangun guna melupakannya.

Buku ini melengkapi dan melanjutkan dari buku-buku yang sudah ada sebelumnya tentang peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia. Diharapkan buku ini dapat menjadi narasi tandingan bahwa kasus penculikan belumlah selesai dan masih berlanjut.

Isi buku menceritakan kesaksian-kesaksian para korban yang pernah ditangkap dan diculik. Mereka disiksa, disundut, dipukul, ditendang yang secara kejam dilakukan oleh aparatur negara. Buku ini sekaligus menjadi jawaban utang sejarah bagi mereka para korban, bahwa kita memiliki kewajiban konstitusional untuk terus menyuarakan kasus pelanggaran HAM dan penculikan.

Baca Juga: Hak Asasi Manusia yang Tercerabut dari Pengosongan Paksa pada Rumah di Jalan Laswi
Hak Asasi Manusia, Sebuah Hegemoni
Hak Asasi Manusia dan Diskriminasi

Pelanggaran HAM Benar Terjadi

Petrus Hariyanto, salah satu korban penculikan 27 Juli turut juga hadir dalam bedah buku ini untuk memberikan kesaksian mengenai peristiwa penculikan yang ia alami. Duduk di atas kursi rodanya, Petrus membuka cerita dengan menjelaskan kondisinya saat ini. Pendengarannya tidak dapat berfungsi secara maksimal lagi, ia pun kini lebih rutin berada di rumah sakit guna melakukan cuci darah seminggu tiga kali.

Petrus menilai ada sebuah upaya-upaya yang luar biasa untuk menghilangkan kasus penculikan dan pelanggaran HAM lainnya. Terlebih dia melihat beberapa temannya yang pernah menjadi korban penculikan justru malah membela pelaku penculikan berdasarkan putusan.

“Hari ini, kita menyaksikan sang pelanggar HAM melenggangkangkung menjadi salah satu capres, yang oleh lembaga-lembaga survei dijagokan memenangkan perlombaan. Bahkan ada upaya membangun opini satu putaran,” ujar Petrus.

Petrus lantas menjelaskan mengapa dirinya dan beberapa kawan lainnya menjadi korban penculikan pada era reformasi. Beberapa hari sebelum peristiwa 27 Juli, Munir sempat memanggil Petrus ke ruangannya, di sana Munir sebenarnya telah mengingatkannya untuk berhati-hati dengan mengatakan bahwa akan terjadi kerusuhan pada 27 Juli yang akan menjadikan Petrus dan kawan-kawannya sebagai kambing hitam.

Benar saja, kerusuhan pecah pada 27 Juli di sekitar kantor Partai Demokrasi Indonesia. Korban berjatuhan dan beberapa kendaraan terbakar. Tak lama berselang, Petrus kemudian diculik oleh satuan intelejen ABRI, dia disekap dalam sebuah rumah yang tak diketahui lokasinya.

Isi rumah tersebut diubah menjadi sel penjara dan beberapa ruang introgasi bagi tahanan. Dia sempat diintrogasi selama 26 jam tanpa henti. Rasa kantuk tak diperkenankan pada waktu itu, dia dipaksa menjawab semua pertanyaan.

Rentang waktu penculikan terjadi cukup panjang. Ia pun menegaskan bahwa keluarga korban penculikan lainnya masih menanti, membayangkan anaknya, keluarganya kembali pulang ke rumah dan berkumpul kembali.

“Penculikan tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan ringan-ringan saja,” ucapnya.

Cahyo Susilo, dalam jurnal ilmiah “Dari Aksi hingga Pesta Demokrasi: Dinamika Partai Rakyat Demokratik Menuju Pemilu (1996-1999)” menyebutkan, Petrus Hariyanto adalah Sekjen Partai Rakyat Demokratik (PRD) di era reformasi.

Pada era itu banyak aktivis prodemokrasi dari PRD ditangkap dan diculik, beberapa di antaranya adalah Nezar Patria, Faisol Reza, Andi Arief, Widji Thukul, Bimo Petrus. Berdasarkan laporan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sepanjang 1997-1998 terdapat 23 orang yang diculik, di mana satu orang sudah ditemukan tewas, sembilan orang dibebaskan, dan tiga belas orang lainnya masih hilang.  

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Jadid, atau tulisan-tulisan lain tentang Pelanggaran HAM 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//