• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Jangan Abaikan Kepedulian Civitas Academica terhadap Demokrasi di Indonesia

MAHASISWA BERSUARA: Jangan Abaikan Kepedulian Civitas Academica terhadap Demokrasi di Indonesia

Kritik dan seruan berbagai elemen masyarakat perlu dianggap sebagai kepedulian dan suara yang membangun bagi demokrasi.

Muhammad Jihadil Akbar

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pasundan (Unpas) Bandung

Bentangan spanduk berisi kritik terhadap pemerintahan Jokowi dalam aksi Mimbar Demokrasi dan Maklumat Jawa Barat, Rabu 7 Februari 2024 sore di depan Gedung Sate, Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

14 Februari 2024


BandungBergerak.id – Di pengujung bulan Januari hingga bulan Februari 2024 ini, civitas academica di berbagai kampus di Indonesia mulai mengkritik pemerintah yang dinilai kehilangan arah. Seruan dari berbagai kampus dari hari ke hari sudah dilayangkan terhadap pemerintahan saat ini. Para dosen dan guru besar merasa resah dengan tindakan pemerintah dalam beberapa momen ke belakang.  Sebagaimana dijelaskan dalam seruan kampus oleh Guru Besar Universitas Indonesia, yaitu Prof. Harkristuti Harkrisnow bahwa, “...warga dan alumni Universitas Indonesia prihatin atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi. Hilangnya etika bernegara dan bermasyarakat, terutama korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah menghancurkan kemanusiaan dan merampas akses keadilan” (okezone.com, diakses 2 Februari 2024).

Kritikan civitas academica terhadap pemerintahan saat ini adalah akumulasi dari segala tindakan pemerintahan yang jauh dari prinsip moral dan etika demokrasi. Kondisi perpolitikan  di Indonesia ini menjadi kekhawatiran karena berpeluangnya pemerintahan yang menyeleweng dari tugas-tugas kenegaraan. Petisi dari berbagai kampus menerjemahkan berbagai kesalahan pemerintahan Presiden Jokowi. Pada seruan Universitas Gadjah Mada yang disampaikan oleh Prof. Koentjoro, misal. Dalam pernyataannya, “Pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, keterlibatan sejumlah aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang berjalan, dan pernyataan kontradiktif Presiden Jokowi tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan” (detik.com, diakses 4 Februari 2024).

Baca Juga: Sikap Presiden Jokowi Berpihak Dalam Pemilu Bisa Merusak Demokrasi
Sekali Lagi, Seruan Moral untuk Kondisi Demokrasi Indonesia dari Bandung dalam Maklumat Jawa Barat
Demokrasi Rungkad

Kondisi Demokrasi Indonesia Memprihatinkan

Berbagai proses politik sudah dilalui bangsa ini, dari Orde Lama, Orde Baru hingga reformasi pun sudah dialami bangsa ini. Meskipun sudah reformasi pada tahun 1998, namun Indonesia belum tergolong sebagai negara yang memiliki sistem demokrasi yang kuat dan berkualitas tinggi. Dalam penilaian EIU (Economist Intelligence Unit) Democracy Index 2022, Indonesia tergolong sebagai negara flawed democracies atau negara yang demokrasinya cacat.

Sejauh ini, harapan akan implementasi demokrasi belum berjalan sebagai mana mestinya, nilai-nilai esensial yang terkandung dalam demokrasi seperti kebebasan sipil serta budaya politik yang baik, tidak terlaksana dengan baik di Indonesia.  Menurut EIU, Democracy Index terkait budaya politik dan kebebasan sipil di Indonesia dinilai buruk. Indonesia dalam penilaian budaya politik mendapatkan skor 4,38 pada tahun 2020,2021,2022. Skor tersebut menjadi skor terendah dalam 15 tahun terakhir. Selain itu, aspek kebebasan sipil juga menjadi sorotan karena hanya mendapatkan nilai 5,59 pada tahun 2019,2020.

Menurunnya indeks demokrasi Indonesia tentu merupakan sebuah peringatan bagi bangsa ini. Pasalnya Indonesia pernah mengalami pemerintahan otoriter pada masa orde baru. Sebelum reformasi, kita dibawa pada pemerintahan yang otoriter, penuh dengan korupsi, kolusi, nepotisme, serta di mana kebebasan sipil dan kebebasan berpendapat tidak terjadi, yang terjadi hanyalah pembungkaman terhadap orang-orang yang mencoba mengkritik. Hal ini terjadi pada beberapa aktivis pada masa itu. Salah satunya yaitu Wiji Thukul.

Dalam buku yang berjudul Wiji Thukul Teka-Teki Orang Hilang, dijelaskan bagaimana penculikan aktivis ini merupakan satu bentuk untuk mengamankan orang-orang yang dinilai berpotensi mengganggu stabilitas politik negara. Meskipun hal ini ditakutkan terjadi kembali di tengah ketidakstabilan politik dan demokrasi saat ini, namun pembungkaman semacam ini tentu kita harapkan tidak terjadi lagi meski di tengah memanasnya suhu politik yang semrawut. Dalam urusan ini pemerintah masih belum bisa membuat demokrasi kita menjadi lebih baik. Hal ini diperkuat dengan adanya penilaian tersebut, dan seharusnya menjadikan pemerintah perlu kembali bercermin atas kegagalannya menjaga ketahananan dan keutuhan demokrasi.

Teguran Akademisi

Kritik yang disampaikan berbagai elemen masyarakat ini tidak bisa dihiraukan lagi. Pemerintah perlu mendengar apa yang menjadi keluhan publik selama ini. Dalam hal ini, bisa memengaruhi kepercayaan publik terhadap pemerintah jika pemerintah tidak menghiraukan berbagai seruan ini.  Pasalnya pengaruh kepercayaan publik begitu sangat krusial terutama dalam hal legitimasi. Kepercayaan publik merupakan fondasi yang mendasari hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Mengutip apa yang disampaikan oleh Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, yaitu Adlai E. Stevenson, “Keyakinan publik terhadap integritas Pemerintah sangat diperlukan untuk keyakinan pada demokrasi, dan ketika kita kehilangan kepercayaan pada sistem, kita kehilangan kepercayaan pada segala sesuatu yang kita perjuangkan dan belanjakan.”

Integritas pemerintah menjadi taruhan dalam hal ini, apakah mampu pemerintah menjaga integritas di tengah polemik yang terjadi? Ketika publik merasa tidak percaya akan pemerintah, maka akan terjadi penurunan partisipasi masyarakat dan kepatuhan terhadap sistem. Hal ini juga pernah terjadi pada Indonesia di masa orde baru tahun 1997-1998 yang membuat negara menjadi chaos dan terciptanya instabilitas ekonomi dan politik

Saatnya Konsolidasi Demokrasi di Indonesia

Keutuhan demokrasi perlu dijaga oleh bangsa ini, melalui konsolidasi demokrasi yang dilakukan. Penguatan lembaga-lembaga demokratis seperti lembaga yudikatif, eksekutif, legislatif, serta menciptakan lingkungan yang terjaminnya kebebasan berekspresi merupakan komponen penting bagi konsolidasi demokrasi. Merujuk pada pernyataan ahli politik, Larry Diamond, dalam bukunya Developing Democracy toward Consolidation (1999) menjelaskan bahwa konsolidasi demokrasi sebagai persoalan bagaimana merawat stabilitas dan persistensi demokrasi.

Kritik dan seruan adalah dari berbagai elemen masyarakat perlu dianggap sebagai kepedulian dan suara yang membangun bagi demokrasi. Konsolidasi demokrasi perlu terus di pelihara sebagai upaya kita untuk menjaga ketahanan demokrasi yang telah kita perjuangkan selama ini. Apa yang dilakukan oleh universitas dalam seruannya adalah upaya untuk menguatkan kembali nilai-nilai demokrasi di negeri ini serta merawat stabilitas demokrasi.  Hal ini dilakukan untuk memicu kesadaran pemerintah terhadap segala tindakan dan kebijakannya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//