• Opini
  • Tawa dalam Meme Politik dan Persoalan Kebijakan Negara yang Tidak Ada Lucu-lucunya

Tawa dalam Meme Politik dan Persoalan Kebijakan Negara yang Tidak Ada Lucu-lucunya

Kampanye politik juga masuk ke dalam konten-konten humor seperti meme yang mengisi lini masa media sosial. Menjadi senjata dalam pertarungan kampanye.

Munanda Okki Saputro

Mahasiswa S-2 Program Studi Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pegiat Monolog Pejalan serta ruang puisi Kelompok Selokan.

Peserta demonstrasi mengusung spanduk penolakan perpanjangan masa jabatan presiden di Bandung, tahun 2021. Mereka menuntut Pemilu 2024 tetap digelar. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

15 Februari 2024


BandungBergerak.id – Tahun politik adalah masa yang begitu krusial, waktu di mana pergantian kepemimpinan dilakukan. Dalam negara demokrasi sistem pergantian dilakukan dengan pemilihan umum. Di Indonesia tahun ini, 2024 akan dilakukan pemilihan serentak dengan lima kotak suara untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD tingkat provinsi, dan DPRD tingkat kabupaten/kota. Terhitung sejumlah 24 partai politik berkontestasi dengan setiap kandidatnya.

Seruan untuk nyoblos terus digaungkan dan mendadak setiap tempat mulai dari warung kopi, angkringan, hingga pos ronda muncul menjadi forum dengan tema bahasan politik. Siapa pun bisa menjadi pengamat politik dengan komentar-komentar yang entah sebagai kritik terhadap demokrasi maupun mendukung jagoan masing-masing. Sebab mendekati pemilu tidak dapat dipungkiri ada yang optimis dan ada yang tetap pesimis seolah pemilu hanya akan lewat begitu saja tanpa ada perubahan yang lebih baik atau cenderung relatif dalam kehidupannya.

Hal tersebut muncul tidak dengan tiba-tiba, secara tidak langsung informasi ditanamkan secara terus-terusan dan masal mulai dari baliho caleg di sepanjang jalan raya, stiker kampanye partai yang tertempel di setiap jendela rumah seakan politik tidak hanya berada di gedung-gedung perwakilan namun masuk ke gang-gang sempit dan desa-desa. Tak kalah masif, televisi sampai sosial media selalu memberikan informasi dengan suguhan utama tentang pemilu. Seolah tidak afdal jika konten informasi yang disebarkan tidak bermuatan politik. Mulai dari yang serius seperti acara Televisi yang memang berfokus pada forum diskusi, komedi, bahkan acara masak-masak sekalipun.

Kampanye politik juga masuk ke dalam konten-konten humor seperti meme yang mengisi lini masa media sosial setiap orang. Seolah tak bisa menghindar lagi perbincangan soal pemilu selalu dijejalkan setiap saat. Gimick lucu-lucuan dan gemoy menjadi senjata dalam pertarungan kampanye pada media sosial. Tetapi apakah pemilu dan perbincangan politik cukup hanya dengan lucu-lucuan? Nyatanya banyak kebijakan politik yang dapat dinilai begitu merugikan rakyat serta berbagai persoalan yang masih sangat jauh dari kata rampung seperti perekonomian, pendidikan, ketenagakerjaan, konflik agraria serta persoalan yang sudah mengakar seperti kasus-kasus pelanggaran HAM entah yang terbaru maupun pelanggaran HAM masa lalu.

Baca Juga: Tahun Politik yang Penuh Gosip
Kita Membutuhkan Lebih Banyak Humor untuk Meredakan Polarisasi Politik
Politik Baperan: Personalisasi Politik dan Warisan Feodalisme

Meme dalam Kampanye Politik

Dalam konteks kampanye politik yang semakin menggantungkan diri pada media online, terutama melalui media sosial, peran meme menjadi sangat signifikan dalam membentuk opini publik. Dengan kecenderungan penggunaan meme sebagai alat komunikasi audio visual yang cepat, ringkas, dan dapat dengan mudah tersebar, kampanye politik berbasis meme telah menjadi suatu fenomena yang tidak dapat diabaikan.

Meme politik memiliki potensi besar untuk memengaruhi persepsi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dan kandidat kontestan pemilu. Melalui penggunaan audio visual dengan kata-kata yang dikemas secara humor, meme mampu merangkum pesan-pesan kampanye dengan cara yang menarik dan mudah di ingat. Namun, di balik daya tariknya, perlu di ingat bahwa meme politik juga dapat menjadi sumber informasi yang dangkal dan terkadang merendahkan, sehingga memerlukan manajemen yang bijak.

Kritik pertama terhadap kampanye semacam ini adalah potensi pemerosotan substansi isu-isu serius menjadi bahan candaan. Ahli komunikasi politik, Dr. Jane Smith, menyatakan bahwa memediasi isu-isu kompleks ke dalam format yang singkat dan hiperbolis dapat menyiratkan risiko penyederhanaan yang berlebihan. Dalam upaya untuk mencapai efek komedi, risiko terjadinya pemahaman dangkal terhadap masalah-masalah kompleks menjadi nyata. Smith menambahkan, daya tarik dan daya tangkap meme dapat memberikan visibilitas lebih besar pada suatu isu, tetapi kita perlu mempertanyakan apakah ini benar-benar membantu meningkatkan pemahaman publik atau malah mengurangi kualitas diskusi.

Dalam kontestasi pemilu 2024 jika melihat pendapat Firman Noor dalam penelitiannya tentang Fenomena Post Democracy Party di Indonesia. Perubahan besar pasca reformasi sampai hari ini adalah pola partai kartel yang hanya berfokus pada perolehan suara menjadi indikasi disfungsi partai politik. Kecenderungan disfungsi partai politik ini menjadi dasar bahwa meme yang diproduksi dalam kampanye politik tidak mengarahkan publik untuk mendalami urgensi isu melainkan menarik simpati untuk mendulang suara saja.

Cocok untuk Melempar Wacana

Meskipun tidak ada larangan dalam melakukan kampanye berbasis meme humor. Tetapi jika kita mengharapkan kualitas demokrasi yang lebih baik lagi maka pilihan utamanya adalah memberikan ruang diskusi yang lebih inklusif dan substantif kepada publik. Sebab demokrasi tidak lahir dari lelucon, tidak lahir dari kekuasaan melainkan dari pikiran yang waras setiap orang dengan tidak mengesampingkan hakikat kemanusiaan.

Pendekatan meme akan lebih efektif jika diposisikan sebagai pengantar publik agar memiliki minat dan perhatian lebih terdapat isu-isu yang urgen. Maka, jika menggunakan meme sebagai media penyebaran informasi yang harus diperhatikan adalah basis riset agar konten humor politik yang diproduksi dapat dipertanggungjawabkan serta memicu pikiran kritis pada publik. Singkatnya meme difungsikan untuk melempar wacana sebagai pemicu terbentuknya ruang diskusi.

Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat maka ruang-ruang publik seperti berbagai platform media sosial harus diposisikan sebagai menjadi medan pertarungan wacana yang krusial. Alangkah bagusnya jika hasil riset akademis yang mendalam dapat dikemas menjadi suatu produk konten yang menghiasi lini masa media sosial kita. Mendapatkan hiburan serta tidak terlena dengan kemudahan teknologi sehingga jaringan solidaritas dan kepedulian antar sesama dapat menjadi modal kuat untuk menghadapi berbagai macam tantangan persoalan kehidupan bernegara sehari-hari. Tidak menutup kemungkinan konten semacam itu memang sudah diproduksi tetapi memang belum masif dan kalah dengan konten lelucon pragmatis remeh temeh dengan framing untuk meningkatkan citra politisi yang berebut kursi pemerintahan.

Politik bukan hanya tentang pemilihan umum dan estafet tonggak kepemimpinan melainkan segala hal tentang produk kebijakan dan persoalan negara. Sehingga nantinya setelah pemilu selesai diharapkan pengamat politik yang tersebar di berbagai kalangan pada masa kampanye seperti ini tidak menghilang begitu saja melainkan bertransformasi menjadi oposisi kekuasaan untuk mengarahkan segala macam produk kebijakan negara. Sebab konflik agraria, perebutan lahan perkebunan warga dengan perusahaan yang sampai mengorbankan nyawa akibat represifitas aparat dan korporat tidak ada lucu-lucunya sama sekali.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//