Demonstrasi Koalisi Rakyat Demokratik di Bandung, Oposisi Bagian dari Demokrasi
Koalisi Rakyat Demokratik bertujuan menciptakan persatuan dari gerakan masyarakat untuk menjadi oposisi yang lebih konkret terhadap pemerintahan.
Penulis Andi Rafli Alim Rimba Sose15 Februari 2024
BandungBergerak.id - “Jokowi-Maruf, rezim antirakyat. Antidemokrasi, antirakyat miskin,” terdengar dari pengeras suara Di Taman Braga, Bandung, Selasa, 13 Februari 2024. Suara ini berasal dari demonstrasi Koalisi Rakyat Demokratik yang mengusung tajuk “Semua Tidak Bermutu”.
Aksi ini ingin membangun masyarakat terkait Pemilu. Masyarakat Indonesia dinilai masih sangat tabu dalam hal golongan putih (golput) pada Pemilu. Para demonstran berharap masyarakat lebih melek dan kritis dalam melihat latar belakang para pasangan calon (Paslon) yang ada di Pemilu.
Koalisi Rakyat Demokratik bertujuan menciptakan persatuan dari gerakan masyarakat untuk menjadi oposisi yang lebih konkret terhadap pemerintahan. Mereka tidak akan berhenti setelah Pemilu dan tidak ingin terjebak dalam ajang Pemilu yang hanya diadakan 5 tahun sekali.
Koalisi Rakyat Demokratik tidak ingin mengajak masyarakat untuk menjadi anti terhadap perpolitikan di Indonesia. Justru mereka ingin peningkatan kesadaran yang lebih jauh mengenai peningkatan gerakan rakyat yang lahir dari akar rumput.
Koalisi Rakyat Demokratik tegas bersikap abstain pada Pemilu 2024. Alasannya sederhana, para calon yang terlibat dalam Pemilu kali ini tidak lepas dari dukungan para oligarki.
Pemilu 2024 juga dianggap bukan Pemilu bagi rakyat miskin, melainkan tidak lebih dari bagi-bagi kue bagi para elite yang ada di Indonesia. Pemilu dianggap sebagai demokrasi palsu dan penyerahan diri kepada partai-partai borjuis.
Narasi tidak ada pilihan yang sempurna (lesser evil) yang kerap digaungkan pada Pemilu 2024 juga merupakan hal yang menjadi sorotan pada demonstrasi ini. Di mana seharusnya tidak ada narasi ini jika Pemilu mencalonkan orang-orang yang memiliki integritas. Masyarakat dinilai terjebak dalam kata-kata atau narasi lesser evil.
Lesser evil dinilai sebagai bentuk keputusasaan dan upaya yang sangat tidak kritis. Sekalipun ada Paslon yang membawa potensi kemunduran demokrasi, tidak serta-merta Paslon lain menjadi lebih baik.
“Itu logika yang salah dan berbahaya,” ujar Yusup Septian, salah satu demonstran.
“Bualan manis yang terus dilontarkan oleh mereka yang meminta suara selalu berakhir menjadi omongkosong,” begitu yang tertulis pada kalimat pertama dari selebaran yang demonstran bagikan kepada orang-orang yang berada atau melewat di sekitar lokasi aksi. Kalimat ini tertulis tepat di bawah foto dari ketiga Paslon yang berkontestasi pada Pemilu 2024.
Selebaran ini berisi kritikan terhadap Pemilu, Paslon, dan bahkan masyarakat. Kata demokrasi dianggap telah direduksi menjadi sebatas Pemilu. Masyarakat dianggap terlalu terpaku pada Pemilu sebagai satu-satunya bentuk demokrasi.
Pemilu di Indonesia dianggap sebagai bentuk dari konsolidasi kaum serakah, kaum pemodal, dan kaum borjuis. Lima tahun sekali, para calon dengan latar belakang borjuis menebar benih-benih janji yang akan mekar menjadi kebohongan. Mereka juga dalam beberapa kesempatan memakai topeng kerakyatan, persis seperti yang dilakukan Jokowi. Naik sebagai “rakyat biasa” dan turun sebagai pelanggar konstitusi.
Masyarakat diminta mempertimbangan orang-orang yang berada di balik seorang tokoh politik. Seperti yang terjadi pada rezim Orde Baru. Masyarakat berhasil menurunkan Suharto, tapi tidak dengan orang-orang di belakangnya – para kapital.
Sesuai dengan semangat yang mereka bawa, di lembar terakhir selebaran yang mereka bagikan terdapat nama-nama jejaring oligarki tambang dan energi yang terafiliasi pada para Paslon yang ada di Pemilu 2024.
Hal itulah yang seharusnya menjadi pertimbangan kita dalam memilih Paslon. Tidak hanya pada Pemilu kali ini. Akan tetapi, pada semua Pemilu yang akan ada.
Baik 5 tahun yang akan datang, 10 tahun yang akan datang, 15 tahun yang akan datang – atau mungkin kita tidak akan mendapatkan Pemilu lagi di masa yang akan datang.
Baca Juga: Jangan Abaikan Kepedulian Civitas Academica terhadap Demokrasi di Indonesia
“Ekonomi Dadasâ€
Tawa dalam Meme Politik dan Persoalan Kebijakan Negara yang Tidak Ada Lucu-lucunya
Musuh Kita Adalah Diri Kita Sendiri
Sejarah seperti berulang. Pemilu yang diharapkan menghasilkan pemimpin pilihan, pada kenyataannya selalu tak memberikan pilihan. Hadurnya reformasi sejauh ini belum membuahkan hasil yang diharapkan dalam mengatasi kebobrokan politik Indonesia. Bahkan politik Indonesia tampak tidak lebih baik dari sebelum gerakan reformasi dilakukan.
Eksponen aktivis angkatan 1966 Rahman Tolleng bahkan menyatakan, sulit dibantah, wajah politik Indonesia saat ini tampak semakin kusut, diakses dari laman NU.OR.ID.
Kusutnya politik nasional saat ini, kata Tolleng, telah mengikis semua usaha atau terobosan dalam memperbaiki politik Indonesia, sejak uji coba dari sistem multi partai, Pemilu yang jujur dan adil (Jurdil), semi distrik, sampai pemilihan presiden secara langsung.
“Tapi semuanya berjalan seperti sebelumnya, tidak membawa perubahan berarti, bahkan dalam beberapa hal terjadi kemerosotan yang lebih buruk,” kata aktivis yang pernah aktif di Forum Demokrasi (Fordem).
Rahman Tolleng berbicara dalam konteks Pemilu 2004. Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia dinilai mengalami disorientasi atau kehilangan arah pandangan politik sebagai warga negara atau rakyat, termasuk mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai prodemokrasi dan kalangan reformis.
Setiap pemilu rakyat terus mengalami kekecewaan kepada pemimpinnya, juga kepada partai maupun parlemen karena mereka terlibat dalam berbagai korupsi. Karena itu, menurut Rahman Tolleng, untuk menghadapi kekacauan sitem politik orang tidak bisa lagi hanya mengandalkan lembaga atau penataan sistem semata.
“Kita semua justeru harus kembali pada diri kita sendiri. Sebab, lawan sebenarnya dalam mengupayakan perubahan tidak lain adalah diri kita sendiri. Lawan kita adalah, nafsu kita, ambisi kita, yang semuanya harus dibayar mahal secara politik dan kekuasaan, melalui korupsi dan kolusi. Kalau kita sebagai individu tidak mampu mengontrol ambisi kita sendiri, maka segala upaya perbaikan sistem akan sia-sia seperti selama ini,” kata Tolleng mengingatkan demoralisasi yang sudah melanda aktivis.
“Sudah saatnya pragmatisme budaya dan gaya hidup metropolis yang jauh dari kesahajaan ditinggalkan, baik oleh para aktivis, maupun masyarakat umum,” kata Tolleng.
*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan Andi Rafli Alim Rimba Sose atau artikel-artikel lain tentang Pemilu 2024 atau Pilpres 2024