• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Kembalikan Sepak Bola ke Tempat Asalnya

MAHASISWA BERSUARA: Kembalikan Sepak Bola ke Tempat Asalnya

Kaum buruh mempopulerkan sepak bola sebagai hiburan, serta alat pemersatu dan alat perjuangan. Kapitalis merengutnya.

Muhamad Fikry Abrar Yoga Wardhana

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sepak bola. (Foto: Ilustrasi oleh Arfan Audryansyah)

20 Februari 2024


BandungBergerak.id – Sepak bola sejatinya identik dengan kaum buruh, mereka selalu berjalan secara berdampingan, namun beberapa tahun terakhir hubungan tersebut perlahan mulai memudar sejak masuknya sepak bola industri atau yang biasa kita kenal dengan Football Industry.

Sebelum berkembang pesat seperti sekarang, sepak bola berhutang budi kepada kaum buruh yang telah mempopulerkannya. Mereka mempopulerkannya dengan cara menonton sepak bola secara rutin, bahkan dari mereka ada yang ikut bermain secara langsung. Kaum buruh menempatkan sepak bola sebagai hiburan, serta alat pemersatu dan alat perjuangan.

Pada awalnya sepak bola dimainkan pada hari Sabtu dan Minggu, bertepatan dengan hari libur kerja para kaum buruh. Mereka menikmati sepak bola sebagai sarana rekreasi atau hiburan untuk istirahat sejenak dari hiruk pikuknya pekerjaan.

Tidak hanya menonton secara langsung di stadion, banyak dari mereka yang kehabisan tiket akan melakukan nonton bareng bersama teman-teman hanya untuk menyaksikan sepak bola. Mereka menjadikannya bukan hanya sebagai kebiasaan melainkan sudah melekat menjadi sebuah tradisi. Perlahan tradisi tersebut menyebar ke wilayah lain dan menjadikan sepak bola menjadi olahraga terpopuler saat ini.

Beberapa tahun terakhir hubungan mesra antara sepak bola dengan kaum buruh mulai merenggang sejak masuknya para kapitalis yang telah menghancurkan tradisi tersebut. Mereka mengubah sepak bola yang semulanya hiburan menjadi ladang bisnis, dan terkadang menjadikannya sebagai kendaraan politik, bahkan mereka juga perlahan mulai menyingkirkan kaum buruh yang selalu berdampingan dengan sepak bola.

Baca Juga: Sepak Bola Tanpa Iming-iming Juara
Kala Sepak Bola Bikin Penguasa Turun Tahta
Mengulas Sepak Bola di Bandung, dari Alat Perjuangan hingga Klub-klub selain Persib

Kapitalis yang Merusak

Saat ini hubungan antara sepak bola dengan uang lebih romantis dibandingkan dengan hubungan sepak bola dengan kaum buruh. Banyak kebijakan yang para kapitalis lakukan tanpa memikirkan kaum buruh. Mulai dari jam tanding berubah, harga tiket dinaikkan, semua mereka lakukan hanya untuk mencari keuntungan. Mereka merenggut semua yang dimiliki oleh kaum buruh dari sepak bola, lalu mengubahnya untuk kepentingan kapitalis belaka. Bahkan, mereka menempatkan para pendukung sebagai customer bukan supporter.

Kini, sepak bola hanya bisa dinikmati oleh kelas menengah ke atas, hal ini didasarkan karena harga tiket yang semakin mahal, dan jam tanding yang berada di bukan hari libur. Bahkan untuk sekedar menikmati tayangan secara jarak jauh atau online saja mereka tetap memberikan tarif. Sehingga sepak bola tidak bisa dinikmati oleh semua kalangan, terutama kaum buruh.

Di Inggris contohnya, suporter Manchester United kini perlahan mulai menghilang dari stadion mereka dan digantikan oleh para turis. Dengan harga tiket yang mahal membuat mereka terpaksa nonton bareng dengan teman suporter lainnya di bar. Hal ini semakin meyakinkan bahwa yang ada di pikiran kapitalis hanyalah keuntungan semata.

Lantas kapan kembalinya sepak bola ke tempat asalnya?

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//