Negara Harus Bertanggung Jawab Memberikan Bantuan Hukum Kepada Warga Dago Elos
Mahasiswa diajak turun ke tengah-tengah masyarakat, memberikan pemahaman bahwa demokrasi tidak sedang baik-baik saja.
Penulis Hizqil Fadl Rohman20 Februari 2024
BandungBergerak.id - Negara memiliki tanggung jawab memberikan bantuan hukum kepada orang-orang miskin secara cuma-cuma, sebagai perwujudan atas akses keadilan. Bantuan hukum terutama diperlukan oleh warga yang terancam mengalami kemiskinan struktural, seperti yang kini dihadapi warga Dago Elos yang sedang berkonflik dengan pengusaha.
Kepala Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pengayoman Unpar Valerianus B. Jehanu mengatakan, kemiskinan bersifat multidimensional. Kemiskinan juga berisiko pada ruang hidup, seperti warga Dago Elos yang sedang memperjuangkan ruang hidupnya.
“(Orang) hidupnya biasa-biasa saja, tidak terjadi apa-apa, tapi tiba-tiba ada orang yang mengklaim bahwa dia merupakan keturunan orang Belanda. Lalu mengklaim bahwa itu tanah mereka, kemudian sekian warga yang ada disana harus siap-siap berpindah tempat,” kata Valerianus, dalam diskusi Bantuan Hukum: Upaya Mewujudkan Negara Hukum yang Demokratis di Gedung PPAG 1, Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Senin, 19 Februari 2014.
Dampak sengketa lahan akan merambat pada proses adrimistatif warga Dago Elos. Status tanah mereka menjadi rentan. Kondisi ini mengancam mereka pada jurang kemiskinan yang datang tidak tiba-tiba, melainkan berproses dimulai dari kesulitan administrasi dan seterusnya.
“Jadi kemiskinan yang terjadi bisa disebabkan oleh struktural yang menindas,” jelasnya.
Valerianus menyerukan agar kampus atau mahasiswa di dalamnya bergerak memberantas kemiskinan struktural yang terjadi karena ketidakadilan sistem negara. Mahasiswa harus memahami masalah hidup yang dialami dalam keseharian masyarakat.
“Karena kalau kamu mempertanyakan masalah hukum kepada mereka (masyarakat) mereka akan bingung harus menjawab apa,” jelas Valerianus.
Demokrasi ke depannya akan menjadi lebih baik jika mahasiswa khususnya bantuan-bantuan hukum lebih sering terjun ke lingkungan masyarakat.
Baca Juga: Terminal Dago Ada di Pusaran Sengketa Lahan Dago Elos, Kenapa Pemkot Bandung Selama Ini Diam?
Festival Kampung Kota 3: Dago Elos Melawan Klaim Investor dengan Solidaritas
Mahasiswa Bandung Mengawal Dago Elos
Mengajak Mahasiswa Turun ke Bawah
Mahasiswa memiliki peran krusial dalam membangun demokrasi yang saat ini mengalami kemunduran dan ancaman, di antaranya dengan hadirnya UU ITE atau KUHP melalui pasal-pasal yang mengancam kebebasan berekspresi.
“(Regulasi tersebut) dibentuk atau disahkan itu sengaja untuk menciptakan otokratik legalism,” kata Koodinator KontraS Fatia Mauldiyanti, di acara yang sama.
Indikasi lain dari meredupnya demokrasi adalah semakin kuatnya peran penguasa yang otoriter. Contohnya, negara pernah mengancam melakukan audit terhadap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan menutup ruang-ruang partisipasi publik dalam setiap kebijakan.
Sayangnya, kata Fatia, hal serupa terjadi di kampus-kampus yang lebih mementingkan akreditasi dan mahasiswa dijejali dengan berbagai tugas akademik. Sebaliknya, ada kampus yang justru membungkam kebebasan akademik. Kasus terbaru adalah tidak diberi izinnya Haris Azhar dan Rocky Gerung untuk mengisi acara diskusi di salah satu kampus karena mereka diangap sebagai penghancur negara.
“Padahal yang kita ingin gagas ke teman-teman mahasiswa adalah beagaimana kita berani untuk mengkritik. Karena kontrol publik sejatinya itu ada di mahasiswa,” ungkap Fatia.
Menutup ruang publik dalam partisipasi kebijakan dan pembungkaman kritik membuat masyarakat tidak bisa berpikir kritis. Pada akhirnya masyarakat menjadi bergantung pada negara.
Secara eksternal, masyarakat digerus habis-habisan dengan struktural melalui aturan perundang-undangan. Secara internal, masyarakat tidak terkonsolidasi secara massif.
“Pada akhirnya ideologi politik masyarakat itu sangat rendah dan ruang sipil pada akhinya tidak terkonsolidasikan,” jelas Fatia.
Fatia mengungkapakan, membangun konsolidasi secara bertahap menjadi jalan keluar yang bisa diupayakan oleh masyarakat, utamanya mahasiswa untuk mondorong partisipasi publik agar demokrasi terselenggara dengan baik.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur yang juga hadir sebagai narasumber diskusi, melihat saat ini masyarakat merasa demokrasi yang berjalan baik-baik saja. Bahkan survei kepuasan masyarakat di era Presiden Jokowi mencapai 80 persen.
Hal ini menandakan bahwa regulasi atau kebijakan tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Karena itu, Isnur menegaskan mahasiswa berperan sentral menjadi jembatan bagi masyarakat, apakah kondisi hari ini demokratis atau otoritarian.
“Itu pernyataan yang mungkin disajikan untuk kita (mahasiswa), karena yang tahu itu semua, yang tahu teorinya, yang diajari cara membacanya ya teman-teman (mahasiswa),” ungkap Ianur.
Namun realitas mahasiswa saat ini disibukan dengan tugas akademisi, hingga luput dengan tangung jawabnya kepada masyarakat. Maka dari itu, LBH lahir dan hadir untuk mewadahi kegelisahan-kegelisahan yang terjadi di masyarakat.
“Karena masalahnya ternyata bukan di pengadilan, masalahnya ada di masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan,” ungkapnya.
Isnur mendorong mahasiswa agar berdampak bagi masyarakat. Mahasiswa harus punya kesadaran dan tanggung jawab dalam hidup bernegara.
*Kawan-kawan dapat membaca lebih lanjut tulisan Hizqil Fadl Rohman atau menyimak artikel lain tentang Sengketa Dago Elos