• Narasi
  • Drama “Cherry Blossom” dalam Kelindan Sejarah dan Politik, Sebuah Catatan Perjalanan

Drama “Cherry Blossom” dalam Kelindan Sejarah dan Politik, Sebuah Catatan Perjalanan

Nama bunga Sakura adalah sebuah luka bagi orang-orang Korea, yang mengingatkan mereka senantiasa akan pendudukan Jepang itu di masa silam.

Fransiskus Borgias

Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Mekarnya bunga pohon Cherry. (Foto: Fransiskus Borgias)

21 Februari 2024


BandungBergerak.id – Ada hubungan dan kelindan yang sangat erat antara sejarah, politik dan dunia pariwisata. Ketiganya tidak terpisahkan. Sejarah mempunyai pengaruh yang kuat atas politik. Demikian juga dunia politik mempunyai pengaruh yang besar dalam perjalanan sejarah satu bangsa tertentu. Yang mungkin agak sulit dilihat kelindannya ialah hubungan dunia pariwisata dengan sejarah dan politik. Tetapi secara kebetulan saya bisa temukan contoh kasus sebagai ilustrasi untuk kelindan tadi. Tulisan ini mencoba mengangkat ilustrasi itu. Dengan ilustrasi itu saya berusaha membuktikan bahwa memang ada hubungan yang erat antara sejarah, politik, dan dunia kepariwisataan. Untuk membuktikan hal itu saya kisahkan pengalaman saya beberapa tahun silam sebelum pandemi Covid-19 menerpa kita.

Baca Juga: Kamp Interniran Jepang di Bandung, Bagian Sejarah yang Terlupakan
Menilai Mutu Drama Indonesia dan Drama Korea
Jejak Oppa Korea dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Merasakan Pengalaman Pahit Korea Selatan

April 2019, kami, rombongan dari Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), berangkat ke Korea Selatan. Salah satu icon pariwisata alam yang ditawarkan kepada kami sebagai tawaran istimewa ialah Cherry Blossom (mekarnya bunga pohon Cherry) yang fenomenal dan terkenal itu.

Ketika tiba di Korea, kami kunjungi beberapa ikon pariwisata prioritas kami. Di sini saya mau menuliskan sebuah perasaan dan pengalaman batin yang pahit dan pedih-perih yang dituturkan tour-guide kami. Ia mengisahkan pengalaman pahit bangsa Korea itu sekilas. Tetapi dari cara ia mengisahkan hal itu saya merasakan ada kepedihan dan kepahitan di dalamnya. Saya bayangkan bahwa hal itu bukan perasaan individual belaka, melainkan perasaan kolektif Korea. Artinya, perasaan pedih si tour-guide tadi, juga dirasakan oleh banyak (jika bukan semua) orang Korea.

Dia juga secara tidak sengaja mengungkapkan hal itu. Momen pengisahan itu datang secara kebetulan. Di suatu tempat perhentian dalam perjalanan menuju ke Nami Island, Bis kami sempat berhenti sejenak di pinggir jalan. Kami berhenti untuk melihat dari dekat pohon Cherry yang bunganya sedang mekar indah. Warnanya sangat mempesona. Kami sangat mengagumi kecantikan bunga-bunga itu. Tentu saja kami tidak lupa mengambil beberapa foto di tempat itu.

Setelah naik lagi ke Bis, tour-guide itu bertanya tentang kesan kami akan bunga itu. Spontan kami menjawab: “Indah, cantik, sungguh mengagumkan, sangat memesona.” Lalu ia mengatakan, dan di air mukanya tampak terlintas rasa sedih dan pedih, bahwa di dunia internasional, mereka memperkenalkan nama pohon ini, yaitu Cherry. Saat bunganya mekar, di akhir Maret atau awal sampai pertengahan April, maka pohon itu sangat indah, cantik. Itulah pesona Cherry Blossom yang terkenal itu. Dunia pariwisata Korea Selatan mempromosikan nama itu. Tidak lupa ia perkenalkan juga nama bunga itu dalam Bahasa Korea, tetapi sayangnya saya sudah lupa nama itu.

Nama itu adalah Luka

Tour-guide memberitahukan kepada kami bahwa bunga ini sangat terkenal di dunia internasional dengan nama Sakura. Tetapi kemudian dengan sangat hormat ia meminta agar kami agar tidak usah menyebut nama Sakura itu selama berada di Korea dan di hadapan dia dalam Bis. Lalu ia memberi penjelasan demikian: nama Sakura itu, bagi kami orang-orang Korea, adalah sebuah luka sejarah yang amat sakit dan pahit dan sulit dilupakan dan diobati apalagi disembuhkan.

Di sinilah misteri kelindan itu mulai tampak jelas: bahwa dunia pariwisata erat terkait dengan sejarah dan warisan politik dari masa silam. Katanya lagi: Pohon ini adalah asli pohon endemik Korea (dulu hanya ada di Korea dan tidak ada di tempat lain). Tetapi awal abad dua puluh silam, tepatnya tahun 1905, Jepang punya kuasa protektorat atas Korea. Jelasnya, Jepang pernah menduduki Korea. Hal itu berlangsung sampai tahun 1945. Orang Korea menyebutnya penjajahan oleh Jepang atas Korea. Saat mereka bisa melepaskan diri dari penguasaan protektorat Jepang itu, dan hal itu terjadi pada akhir Perang Dunia II, maka orang Jepang harus angkat kaki dari Korea dan pulang kampung.

Saat itu orang Jepang pandai memanfaatkan kesempatan. Mereka membawa serta bibit pohon Cherry dari Korea itu ke negeri mereka. Setelah tiba di Jepang, mereka membudidayakannya. Setelah berkembang, mereka memberi nama baru, nama Jepang, Sakura. Rupanya nama itu sangat terkenal, sehingga mengalahkan namanya yang asli dalam Bahasa Korea. Celakanya lagi, lewat promosi pariwisata Jepang akhirnya dunia, termasuk Indonesia, mengenal nama bunga itu dalam versi Jepangnya. Bahkan dunia mengakui bahwa itu adalah bunga khas Jepang. Jelas itu amat menyakitkan bagi orang-orang Korea.

Tetapi bagi orang-orang Korea, pemberian nama itu dan juga nama itu sendiri adalah sebuah luka, yang mengingatkan mereka senantiasa akan pendudukan Jepang itu di masa silam. Nama bunga itu dalam Jepang (Sakura) selalu mengingatkan mereka akan realitas historis pendudukan Jepang itu dan juga serentak akan selalu mengingatkan mereka akan aksi pencurian yang dilakukan orang Jepang dari negara mereka. Untuk tidak memperbesar, memperlebar, memperdalam luka sejarah itu, ia meminta kami semua untuk tidak menyebut nama asing itu lagi.

Walau pahit dan pedih, namun mereka tetap mengingatnya bukan untuk merawat luka sejarah, melainkan untuk merawat ingatan dan di atas ingatan terluka itu mereka mau membangun niat, agar hal itu tidak pernah boleh lagi terulang/diulang dimasa-masa yang akan datang. Setiap kali orang Korea melihat atau membaca promosi pariwisata Jepang dengan memakai bunga itu dengan latar belakang gunung suci, Fujiyama, hati orang Korea terluka. Luka masa silam, yang tidak pernah sembuh. Luka masa silam itu akan selalu terasa sakit, seperti tertusuk lagi oleh onak dan duri baru pada masa kini jika mereka ingat akan nama versi Jepang itu.

Indonesia Juga Terseret?

Terkait dengan hal ini, saya teringat akan final sepak bola Asia Tenggara beberapa waktu lalu. Saat itu, Indonesia menghadapi Vietnam. Pertandingan itu dipimpin wasit Jepang (saya lupa namanya). Sepanjang pertandingan Indonesia menguasai pertandingan. Bahkan Indonesia unggul. Tetapi akhirnya Indonesia kalah dalam drama adu penalti dan hal itu terjadi karena ulah wasit Jepang ini.

Saya kecewa sekali kepada wasit Jepang itu. Saya tumpahkan hal itu di Facebook. Inti status saya waktu itu ialah wasit Jepang terlalu memihak Vietnam. Wasit itu curang. Kesan saya wasit Jepang ini tidak rela melihat Indonesia maju dalam sepak bola, apalagi di bawah pendampingan coach Korea Selatan, Sin-Tae-Yong. Lengkaplah sudah “derita” kesebelasan Indonesia.

Status Facebook itu dikomentari pembaca. Salah satu yang menulis komentarnya adalah teman kelas saya di Seminari Menengah dulu, yang sekarang menjadi misionaris di Jepang. Kurang lebih kata dia seperti ini: Ada kesan bahwa sebagian orang Jepang tidak mau sepak bola Indonesia maju karena dilatih coach Korea Selatan, Sin Tae Yong, arsitek pasukan Piala Dunia Korea Selatan 2018 yang sukses itu.

Ketika membaca komentar itu saya marah juga: Jepang dan Korea Selatan yang “musuhan” dan menyimpan luka masa silam, tetapi yang terkena imbasnya Indonesia? Saat marah itu saya ingat bahwa Jepang pun pernah menduduki Kawasan Nusantara dan sampai ke Flores sekira tahun 1942 sampai 1945.

Bunga pohon Cherry. (Foto: Fransiskus Borgias)
Bunga pohon Cherry. (Foto: Fransiskus Borgias)

Ingatan yang Mengganggu

Kembali lagi ke nama bunga Sakura itu: bunga itu memang indah dan cantik.  Tetapi justru dalam dan karena kecantikannya, ia memendam luka bagi anak bangsa. Dan luka sejarah dari masa silam tak kan pernah bisa disembuhkan juga oleh ritual pengampunan sekalipun. Sebab, kata adagium moral klasik, I can forgive, but I cannot forget. Sebab kedua hal itu, forgive (mengampuni) dan forget (melupakan) adalah dua hal yang berbeda.

Saya merasakan dari pancaran air muka si tour-guide itu bahwa Korea sebenarnya “cannot forgive, and therefore cannot forget also, because Cherry Blossom has been transformed into a symbol of pathological memory for Korean people.”

Tragis memang. Tur pariwisata, yang seharusnya indah dan menyenangkan, menjadi sebuah drama dan luka Sejarah yang menyakitkan, jika pariwisata itu berkelindan dalam lipatan ingatan Sejarah dan konflik politik. Sejarah dan politik bisa menorehkan jejak-jejak wacana mereka juga yang menyakitkan dalam pelbagai warisan budaya, termasuk pariwisata. Mungkin karena kita tidak bisa melupakan masa silam. Hal itu tidak terhindarkan, karena kita berangkat dari masa silam, menuju ke masa depan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//