• Narasi
  • Catatan Sejarah Berdiri dan Bubarnya Negara Pasundan

Catatan Sejarah Berdiri dan Bubarnya Negara Pasundan

Negara Pasundan menjadi bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1949. Sebuah negara federal buatan Belanda yang menggantikan Republik Indonesia.

Koswara

Scriptwriter, Peminat Sejarah, Lulusan Ilmu Hukum Universitas Pasundan (Unpas) Bandung.

Wali Negara Pasundan R.A.A Wiranatakusumah berbincang dengan Presiden Sukarno. (Foto: Indonesian Press Photo Service, Arsip Nasional Republik Indonesia)

22 Februari 2024


BandungBergerak.id – Jawa Barat adalah salah satu provinsi paling awal yang dibentuk setelah kemerdekaan Indonesia. Dalam catatan sejarahnya, Provinsi Jawa Barat pernah berubah menjadi Negara Pasundan –negara yang terpisah dari Republik Indonesia. Tapi negara baru ini tidak berumur panjang.

Negara Pasundan menjadi bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1949. Sebuah negara federal buatan Belanda yang menggantikan Republik Indonesia. Tapi dua tahun sebelumnya, Negara Pasundan telah resmi berdiri di Jawa Barat.

Pembentukan Negara Pasundan ini tak lepas dari gejolak sosial yang terjadi di Jawa Barat. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, muncul gerakan kontra-revolusi yang dimotori oleh menak di Jawa Barat. Menak merupakan kelompok bangsawan dalam masyarakat Sunda sebagaimana priayi di Jawa.

Salah satu menak yang bernama Soeria Kartalegawa merupakan tokoh utama dalam pendirian Negara Pasundan di Jawa Barat. Soeria Kartalegawa pernah menjadi Bupati Garut semasa pemerintahan Hindia-Belanda. Ia memiliki alasan khusus tidak menyukai gerakan revolusi, dan pembentukan Provinsi Jawa Barat.

Baca Juga: Terusik Kebijakan Wabah Pes di Jawa Barat
Panggung Sejarah Gerakan Anti Fasis
Ziarah Kubur Sejarah Bandung

Negara Pasundan I

Setelah berdirinya Republik Indonesia, pemerintah pusat mengangkat Soetardjo Kartohadikoesoemo sebagai Gubernur Jawa Barat pertama. Kartalegawa tidak terima dengan pengangkatan itu karena Soetardjo adalah orang Jawa yang tidak pantas memimpin di tatar Sunda. Selain itu, Kartalegawa menginginkan jabatan tertinggi di pemerintahan. Dua hal ini yang menjadi alasannya mendirikan Negara Pasundan.

Demi ambisi pribadinya, Kartalegawa membentuk Partai Rakyat Pasundan (PRP). Kartalegawa mendirikan PRP dengan dukungan Belanda dan beberapa tokoh non-republikan. Tujuan PRP adalah membentuk suatu negara di Jawa Barat yang terpisah dari Republik Indonesia.

Padahal waktu itu, pemerintah Indonesia dan Belanda telah sepakat membentuk negara federasi bernama Republik Indonesia Serikat (RIS) melalui perundingan Linggarjati. Nantinya Jawa Barat akan masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia–salah satu negara bagian RIS.

Dalam artikel “Kiprah Partai Rakyat Pasundan Dalam Negara Pasundan 1947-1950” yang ditulis oleh Sugih Rachmat Pangersa (2021), Kartalegawa mendirikan PRP dengan tujuan mencapai kesempurnaan dan kemuliaan Negara Pasundan yang merdeka berdaulat dan berdasarkan demokrasi yang terpisah dari Republik Indonesia.

Selanjutnya Kartalegawa memanfaatkan kedekatannya dengan pihak Belanda untuk mencapai ambisinya. Bahkan PRP melakukan kampanye untuk menggalang dukungan masyarakat Jawa Barat. Saat berkampanye, PRP menggunakan bendera berwarna hijau dan putih yang melambangkan harapan dan kesucian.

Kartalegawa sudah memiliki modal yang kuat, seperti partai politik, dukungan Belanda, hingga masyarakat. Akhirnya, ia memproklamasikan terbentuknya Negara Pasundan pada 4 Mei 1947 yang dilakukan di alun-alun Bandung.

Namun beberapa tokoh republikan di Jawa Barat menentang pendirian Negara Pasundan. Salah satunya adalah Wiranatakusumah V, seorang tokoh Jawa Barat yang terkemuka. Ia dan beberapa tokoh republikan lainnya tetap menginginkan Jawa Barat menjadi bagian Republik Indonesia.

Wiranatakusumah V dan tokoh-tokoh pro-pemerintah Soekarno-Hatta mengadakan rapat-rapat umum di beberapa daerah Jawa Barat untuk menentang pembentukan Negara Pasundan. Selain itu, Paguyuban Pasundan yang merupakan organisasi kebudayaan Sunda juga menentang keras langkah Kartalegawa.

Melihat berbagai aksi penolakan tersebut, Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Van Mook menganggap Kartalegawa gagal dalam mengemban tugasnya. Dengan maraknya aksi penolakan dan berkurangnya dukungan Belanda, Negara Pasundan buatan Kartalegawa pun lenyap dengan sendirinya.

Negara Pasundan II

Pasca ratifikasi perundingan Linggarjati, Belanda melakukan Agresi Militer di Jawa Barat. Van Mook mengumumkan bahwa pihak Belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Linggarjati. Alasannya terdapat perbedaan penafsiran isi perjanjian antara Indonesia dengan Belanda.

Pihak Belanda berpendapat bahwa mereka yang berhak membentuk RIS. Sedangkan pihak Indonesia meyakini pembentukan RIS harus dilakukan secara bersama-sama. Silang pendapat ini yang melatarbelakangi Agresi Militer Belanda.

Setelah menduduki sebagian daerah di Jawa Barat, Belanda berencana membentuk Negara Pasundan jilid II. Melihat kegagalan Kartalegawa dan PRP, Belanda mengubah pendekatannya dengan melibatkan tokoh-tokoh Jawa Barat yang mempunyai pengaruh sosial di masyarakat.

Dengan melibatkan tokoh-tokoh tersebut, Belanda berdalih akan mendukung pembentukan negara federal yang demokratis. Kemudian diselenggarakan Konferensi Jawa Barat I (13-18 Oktober 1947), Konferensi Jawa Barat II (16-20 Desember 1947), serta Konferensi Jawa Barat III (23 Februari-5 Maret 1948) untuk merumuskan dasar-dasar negara baru.

Konferensi Jawa Barat I menghasilkan beberapa keputusan seperti dibentuknya panitia penghubung pemerintah Belanda dengan masyarakat Jawa Barat. Keputusan lainnya, para peserta sepakat untuk menyiapkan konferensi yang bisa mewakili seluruh golongan masyarakat.

Pada Konferensi Jawa Barat II terjadi perdebatan antara tokoh Jawa Barat. Ada yang setuju dengan pembentukan Negara Pasundan, tapi ada juga yang menolaknya. Orang-orang yang menolak pendirian Negara Pasundan menganggap Konferensi Jawa Barat II tidak memiliki wewenang untuk menentukan nasib Jawa Barat. Bahkan pemerintah Republik Indonesia menentang pembentukan negara ini.

Kemudian diadakan Perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda. Salah satu isinya adalah Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Tentu saja hal ini mempersempit wilayah kedaulatan Indonesia, serta Jawa Barat menjadi wilayah pendudukan Belanda.

Setelah Perjanjian Renville yang merugikan pemerintah Indonesia, Belanda menyelenggarakan Konferensi Jawa Barat III. Dalam konferensi ini, para peserta menyepakati pendirian Negara Pasundan. Selain itu, Konferensi Jawa Barat III resmi memilih Wiranatakusumah V sebagai Wali Negara Pasundan.

Sebenarnya Wiranatakusumah V menolak pemisahan Jawa Barat dari wilayah Republik Indonesia. Wiranatakusumah V mempunyai alasan khusus menerima jabatan wali negara. Ia menyatakan tidak ingin jabatan wali negara jatuh ke tangan orang yang pro-Belanda.

Singkatnya, RIS resmi berdiri pada 2 November 1949. Wilayah RIS terbagi menjadi tujuh negara bagian, salah satunya Negara Pasundan. Pada saat itu, wilayah Negara Pasundan meliputi Jawa Barat, Banten, dan Jakarta. Pemerintah RIS tetap menunjuk Wiranatakusumah V sebagai Wali Negara Pasundan.

Namun Negara Pasundan tak bertahan lama. Setelah pemberontakan APRA, negara ini mengalami banyak kesulitan. Muncul suara-suara yang menuntut negara ini dibubarkan. Menurut orang-orang republik, Negara Pasundan hanyalah boneka Belanda. Peristiwa ini menandai keruntuhan Negara Pasundan.

Bubarnya Negara Pasundan

Pada 1950, Wiranatakusumah V mengundurkan diri dari jabatan Wali Negara Pasundan dan menyerahkan mandat ke pemerintah RIS. Dengan demikian, Negara Pasundan resmi dibubarkan dan kembali menjadi bagian Republik Indonesia. Integrasi ini mendapat dukungan penuh dari masyarakat yang memang menginginkan penyatuan wilayah Jawa Barat ke dalam Republik Indonesia.

RIS kembali ke bentuk negara kesatuan bernama Republik Indonesia. Melalui UU No. 11 Tahun 1950, status Jawa Barat menjadi provinsi lagi. Lalu diangkatlah Raden Mas Sewaka sebagai Gubernur Jawa Barat.

Berdirinya Negara Pasundan merupakan saksi sejarah perjalanan masyarakat Jawa Barat. Pada akhirnya, tokoh-tokoh dan masyarakat Jawa Barat tetap ingin menjadi bagian Republik Indonesia dan mendukung pemerintahan Soekarno-Hatta.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//