Koalisi Masyarakat Sipil Mengungkap Bukti-bukti Pemilu 2024 tidak Demokratis
Tim pemantau pemilu dari Koalisi Masyarakat Sipil melakukan pemantauan dugaan penggelembungan suara di 16 provinsi di Indonesia.
Penulis Hizqil Fadl Rohman23 Februari 2024
BandungBergerak.id - Koalisi Masyarakat Sipil merilis hasil pemantauan Pemilu 2024. Hasilnya, tim pemantau menemukan dugaan penggelembungan suara yang dilakukan oleh para kontestan pemilu khususnya Pilpres. Meski semua kontestan Pilpres ditemukan menjalankan praktik curang, tetapi dugaan upaya penggelembungan suara paling banyak dilakukan oleh pasangan capres-cawapres nomor urut dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
“Masalah penggelembungan suara ini terjadi secara merata di semua pasangan calon, tetapi ketika kita perbandingkan datanya ternyata pasangan calon 02 itu memiliki penggelembungan data yang lebih massif,” ungkap tim pemantauan Pemilu 2024 dari Koalisi Masyarakat Sipil dalam konferensi pers bertajuk Cacatan Kelam Kecurangan Pemilu 2024, Kamis, 22 Februari 2024.
Koalisi Masyarakat Sipil merupakan forum independen terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Themis Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Democracy Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia.
Tim pemantauan menemukan dugaan kecurangan yang mengarah kepada paslon 02 mencapai angka 81 persen, sedangkan sisanya 15 persen mengarah pada paslon 03, dan 4,9 persen tidak diketahui.
“Kami menilai bahwa massifnya kecurangan pada pemilu dari data ini saja bisa dikatakan bahwa Pemilu 2024 kali ini sagat tidak demokratis, tidak jujur, juga mengangkangi prinsip-prinsip demokrasi,” terang tim pemantauan.
Tim menghimpun peta sebaran penggelembungan suara pilpres di 16 provinsi, 38 kabupaten/kota, dan 145 TPS. Jenis pelanggararan yang paling banyak dilakukan salah satunya status netralitas dari apratur negara dan desa, mereka diduga memihak kepada salah satu calon tertentu.
Pemantauan Pemilu 2024 ini melibatkan tim yang tersebar di berbagai provinsi di antaranya; Aceh, Sulawesi Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Pemantauan dilakukan oleh 50 orang, di antaranya 30 jurnalis dan 20 pemantau terlatih.
Sejumlah kejanggalan terjadi saat pemantauan dilakukan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Beberapa temuan meyebutkan bahwa kecurangan tidak hanya terjadi pada aplikasi Sirekap, juga terindikasi kecurangan dilakukan secara manual.
Praktik kecurangan ini di antaranya, inkonsistensi syarat pemilih di TPS tertentu yang hak pilihnya tidak memenuhi syarat, petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) melarang pemantau untuk menangkap gambar pada C1, terdapat pemilih yang mencoblos lebih dari satu kali, dan hasil scan Sirekap banyak yang tidak sesuai dengan formulir C1.
Baca Juga: Refleksi Kemunduran Negara di Segala Bidang, Catatan untuk Pilpres 2024
Keberpihakan Presiden Jokowi dan Preseden Pemilu yang Tidak Adil
Koalisi Masyarakat Sipil Kembali Desak KPU untuk Membuka Data Pribadi Caleg yang Dirahasiakan
Sistem KPU tidak Kreatif
Feri Amsari selaku perwakilan dari Themis Indonesia menanggapi temuan dugaan kecurangan Pilpres 2024 mempertegas bahwa proses pemilu yang salah akan menghasilkan kesalahan pula.
Ia menjabarkan proses kesalahan tersebut sejak pra pemilu, yaitu kebijakan bansos dan pengerahan apartur desa. Feri merasakan tidak adanya itikad baik dari penyelenggara untuk memastikan peserta pemilu memenuhi hak-haknya.
Sistem penginputan data dari Sirekap bermasalah. Dalam satu TPS data yang diinput bisa mencapai 800 suara. Padahal setiap TPS maksimun hanya menampung 300 suara.
“Coba bayangkan sistem masih saja menerima sesuatu yang tidak masuk akal,” katanya.
Mestinya KPU bisa membuat sistem yang mampu menolak hasil yang melebihi ambang batas. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi Feri.
“Dugaan saya, KPU memang ikut terlibat membuat sistem yang sebenarnya sedehana, kemudian membuatnya itu gampang bermasalah,” kata Feri.
Cawe-cawe Politik Jokowi
Praktik cawe-cawe politik yang dilakukan oleh Presiden Jokowi menjadi faktor kecurangan lainnya. Hal ini disampaikan dari perwakilan ICW, Sera yang mengatakan bahwa masyarakat sudah mengetahui apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi perihal cawe-cawe. Praktik cawe-cawe ini dapat dilihat dari film Dirty Vote.
Sera juga menyoroti permalahan platform Rekening Khusus Dana Kampanye (RKDK) yang diadakan oleh KPU.
“Platfrom ini tidak memberi kemudahan sedikit pun, karena website-nya itu sering kali down. Kalau teman-teman sering menegcek pada saat kampanye kemarin, yang sebenarnya informasi ini penting untuk kita ketahui sebelum masa pemilihan, tidak bisa kita buka,” ungkap Sera.
Menurutnya, peristiwa ini sangat merugikan masyarakat karena tidak bisa mengetahui informasi mengenai dana kampanye.
“Yang mana informasi ini sangat penting untuk diketahui oleh para pemilih sebelum pencoblosan, supaya bisa mendapatkan pengetahuan berbasis informasi yang cukup,” tegasnya.
Sera mempertanyakan kesiapan KPU dalam melaksanakan pemilu, dalam hal ini banyak platform yang disediakan tidak maksimal dan membuat kegaduhan di masyarakat. KPU harus bertanggung jawab atas polemik yang terjadi.
“Sedari awal tidak akan terjadi kalau mereka (KPU) bisa mempersiapkan sistemnya dengan baik,” ujarnya.
Ketidaktegasan Bawaslu
DEEP Indonesia juga memaparkan dugaan politik uang dan keterlibatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam Pemilu 2024. Hal ini telah dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Namun laporan ini tidak mendapat respons dari Bawaslu.
“Kita ketahui bersama bahwa adanya pelanggaran yang itu sudah terang benderang ada di depan mata tetapi tidak terpenuhi unsur formil dan materilnya karena, yaa, sampai kapan pun ketika tafsir Bawaslunya aja minimalis tekstualis dan legal formalistik, maka akan sangat sulit satu kasus itu ada sangsi dan efek jera,” ungkap perwakilan DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati.
DEEO Indonesia menyatakan, kesiapan dan mitigasi risiko penyelenggara Pemilu masih lemah. Di antaranya, TPS dibuka di atas pukul 07.00, ini terjadi di 32 TPS, kotak suara tidak tersegel di 17 TPS, tidak terakses disabilitas sebanyak 23 TPS, tidak tersedianya alat bantu tunanetra di 17 TPS.
“Jadi teman-teman disabilitas juga mengeluh karena akses TPS yang tidak aksesibel juga ternyata alat bantu tunanetra hanya untuk pemilihan presiden, sedangkan yang lainnya tidak tersedia,” jelas Neni Nur Hayati.
Profesionalitas penyelenggara KPU turut dipertanyakan. Distribusi dan pengawasan logistik tidak terpantau serius oleh KPU Kabupaten/Kota. Tim membuktikan banyaknya surat suara yang tertukar di 21 TPS, surat suara rusak di 2 TPS, surat suara kurang di 18 TPS, surat suara hilang di 5 TPS, dan surat suara tercoblos di 8 TPS.
“Kami sudah menyampaikan ke Bawaslu dan juga ke KPU soal hasil pemantauan kami di tujuh provinsi,” tegas Neni.
*Kawan-kawan dapat membaca lebih lanjut tulisan Hizqil Fadl Rohman atau menyimak artikel lain tentang Pemilu 2024 atau Pilpres 2024