• Berita
  • Pemkot Bandung tak Belajar dari Tragedi Longsor Sampah Leuwigajah

Pemkot Bandung tak Belajar dari Tragedi Longsor Sampah Leuwigajah

Tragedi Leuwigajah yang menewaskan lebih dari 100 orang sudah berlalu hampir dua dekade. Pengelolaan sampah tidak banyak berubah.

Tumpukan sampah di TPS Ujung Berung, Bandung, Selasa, 16 Januari 2024. (Foto: Repi M Rizki/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul23 Februari 2024


BandungBergerak.id - Masalah sampah tak ada habisnya. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, termasuk Pemkot Bandung, tidak mengambil pelajaran dari tragedi longsor dan meledaknya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah 21 Februari 2005 silam. Tanggal tragedi kemudian diperingati sebagi Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Namun masalah sampah masih terus berulang.

Manajer Pendidikan dan Kaderisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat Klistjart Tharissa menuturkan, sampah organik masih mendominasi permasalahan utama sampah di Indonesia. Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) tahun 2023, dari 17,4 juta ton sampah yang dihasilkan, 44,7 persen merupakan sampah organik.

“Seharusnya, peringatan HPSN menjadi refleksi bagi pemerintah untuk menjadikan isu pengelolaan sampah organik sebagai isu penting yang harus segera ditidaklanjuti,” terang perempuan yang akrab disapa Caca, melalui siaran pers Walhi Jabar tentang HPSN 2024, Rabu, 21 Februari 2024.

Tragedi ledakan dan longsor TPA Leuwigajah merupakan insiden terparah kedua di dunia. Gas metana yang dihasilkan dari proses pembusukan sampah organik merupakan pemicu utama ledakan. Gas metana juga berkontribusi besar terhadap gas rumah kaca yang memperparah kondisi perubahan iklim belakangan ini.

Di samping permasalahan sampah organik, produsen yang masih leluasa memproduksi kemasan plastik sekali pakai juga menjadi penyebab utama permasalahan polusi plastik. Tata kelola persampahan yang masih menggunakan metode kumpul-angkut-buang yang berakhir di TPA juga persoalan lain dalam tata kelola persampahan.

“Ini menjadi fakta yang harus diakui oleh pemerintah sebagai ketidakmampuan dan ketidakseriusan pemerintah dalam mengatasi permasalahan sampah yang saat ini terjadi,” tambah Caca.

Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat Haerudin Inas pun menambahkan, pemerintah seharusnya berkonsentrasi penuh menanggapi permasalahan sampah, terutama bagamana cara mengatasi permasalahan sampah organik. Bukan hanya di Kota Bandung, edukasi pengelolaan sampah organik di Jawa Barat juga belum maksimal dilakukan.

Di kawasan perkotaan, masyarakat menemui tantangan untuk mengelola sampah organik di lahan terbatas. Makanya, Inas menegaskan, permasalahan sampah organik jangan disepelekan dan dipandang bisa segera selesai dengan program yang “bersifat pragmatis”. Walhi menilai, program Pemkot Bandung yang membagikan wadah kompos untuk skala rumah tangga dan menggunakan maggot untuk belum terlihat signifikan hasilnya.

“Dari hasil pemantauan kami, capaian dari program ini juga masih belum terlihat signifikan, karena dianggap tidak tepat dengan kondisi wilayah urban kota Bandung, dan tanpa adanya edukasi dan asistensi yang cukup kepada masyarakat,” ungkap Inas.

Fokus HPSN 2024 adalah menyelesaikan polusi plastik. Hal ini menjadi ironi, sebab permasalahan sampah organik pun belum selesai teratasi. Di samping itu, solusi penyelesaian polusi plastik yang ditawarkan adalah mengedepankan sampah plastik menjadi sumber bahan bakar energi melalui teknologi termal. Istilah ini dikampanyekan pemerintah sebagai waste to energy melalui pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).

Secara tegas Inas menyebutkan, solusi membakar sampah menjadi energi ini akan menimbulkan permasalahan baru yang akan membawa dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan. Ia menilai, dalam mengatasi permasalahan sampah, pemerintah selalui beriorientasi dengan skema-skema bisnis. Permasalahan sampah selalui dilihat dengan kacamata yang harus menguntungkan, tanpa banyak mempertimbangkan dan melibatkan masyarakat.

“Pemerintah selalu mengesampingkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan berkeadilan bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Ide sampah sebagai sumber energi adalah bagian dari solusi palsu dalam mengatasi timbulan sampah plastik. Komitmen pemerintah untuk melaksanakan pengurangan sampah dan melakukan pengelolaan sampah masih jauh dari kata serius,” tegas Inas.

Kota Bandung Menuju Zero Waste City

Pada peringatan HPSN 2024 lalu, Sekretaris Daerah Kota Bandung Ema Sumarna menyebut momen ini merupakan refleksi bagi Kota Bandung untuk menghadirkan kota nol sampah. Ema mengaku, Kota Bandung terus berproses dalam menerapkan pola hidup nol sampah.

“Kami terus menggeser mindset menjadi culture-set, bahwa di Kota Bandung penanganan sampah dapat diselesaikan secara mandiri di level kewilayahan,” ujar Ema, saat menghadiri HPSN 2024 di RW 08, Kelurahan Kujangsari, Kecamatan Bandung Kidul.

Ema menyebutkan, Kota Bandung telah mendapatkan dua kali peringatan untuk membenahi pola penanganan sampah. Pertama pada tahun 2005, insiden longsor dan meledaknya TPA Leuwigajah. Kedua ketika darurat sampah di penghujung 2023 lalu akibat terbakarnya TPA Sarimukti. Dua persitiwa itu telah menjadi refleksi sekaligus stimulan agar Kota Bandung mulai berbenah soal penanganan sampah.

Ia juga menekankan, kebiasaan baru pengelolaan sampah pascadarurat sampah harus terus dipertahankan. Sebab, Kota Bandung tak bisa terus mengandalkan TPA Sarimukti dengan pengelolaan sampah kumpul-angkut-buang.

“Saya yakin, pada momentum HPSN 2024 ini semua pihak akan terbawa aura positif sama-sama menghadirkan Bandung sebagai kota nol sampah. Banyak hal yang perlu dibenahi di Kota Bandung, tetapi kami rasa semua bertahap,” ujarnya.

Pada peringatan HPSN 2024 itu pula, pemkot Bandung meluncurkan secara simbolis program Rumah Maggot dan Rumah Kang Empos. Dua program itu merupakan upaya pemkot Bandung menghadirkan predikat kota nol sampah. Saat masa darurat sampah, Pemkot Bandung massif mensosialisasikan pengolahan dan pengelolaan sampah berbasis kewilayahan dengan medium maggot. Usai masa darurat sampah, kedua medium ini dinilai cocok untuk dikembangkan.

Dua upaya ini diklaim mampu mengurangi kapasitas sampah yang dikirimkan ke TPA, dari 1.300 ton pe rhari menjadi 900 ton.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung, Dudi Prayudi menyebut, pengolahan sampah organik di level kewilayahan dengan dibangunkan rumah maggot dan rumah kang empos di 151 kelurahan diharapkan dapat menekan 151 ton sampah per hari.

“Artinya, satu rumah maggot di kelurahan bisa mengurangi satu ton sampah per harinya. Jika setiap rumah maggot berhasil mencapai target, kita dapat menekan lagi 151 ton sampah per harinya” ujar Dudi.

Dudi juga menyampaikan, Program Rumah Maggot dan Rumah Kang Empos ini dapat diintegrasikan dengan program Pemkot Bandung lainnya, yaitu Buruan Sae. Ia berharap, rumah maggot di 151 kelurahan dapat beroperasi secara maksimal untuk mengurangi jumlah sampah Kota Bandung, sebagai bagian perwujudan Bandung Zero Waste City di masa depan.

Baca Juga: Darurat Sampah, Sekolah, dan Kampanye Pengelolaan Sampah
Data Produksi Sampah Harian Berdasarkan Jenisnya di Kota Bandung 2009-2021: Sampah Sisa Makanan Jadi Penyumbang Terbesar
Data Sebaran TPS di Kota Bandung serta Jumlah Sampah yang Masuk dan Diangkut per Harinya Tahun 2016: Sampah akan Menggunung Apabila Pengangkutan Tersendat

Memori Leuwigajah

Selain seremonial HPSN yang diselenggarakan pemkot, Sajiwa Foundation melalui program Askara Nusantara menyelenggarakan Temu Komunitas Memori Leuwigajah, di Bale Rancage Kabuci, Kota Cimahi. Memori Leuwigajah dilakukan untuk merefleksikan darurat sampah Bandung Raya dan deklarasi Bijak Sampah, sekaligus memperingati HPSN 2024. Kegiatan ini dihadiri oleh sekitar 40 komunitas dari Jawa Barat.

Fauzan Muslim, Staf Pendidikan dan Kaderisasi Memori Leuwigajah menerangkan, deklarasi bijak sampah di antaranya mengajak masyarakat untuk merawat alam dengan memilah sampah. Selain penampilan-penampilan dari berbagai komunitas, juga dilakukan jajak pendapat mengenai masalah sampah yang paling banyak dirasakan di lingkungan sekitar.

Puyuh, demikian ia kerap disapa, menyebutkan banyak masyarakat yang sudah memilah sampah, tetapi bingung karena sampah yang sudah terpilah itu akhirnya dicampur di TPS maupun di TPA. Makanya Puyuh menegaskan, pemerintah perlu memberi fasilitas pemilahan sampah kepada masyarakat, minimal tong sampah organik dan anorganik.

“Ini sebuah kegiatan yang menjadi refleksi buat kita bahwa kita perlu peduli kepada isu sampah yang ada di Jabar. Momentum 21 Februari merupakan peringatan terjadinya peristiwa besar di TPA Leuwigajah yang menewaskan sebanyak 157 orang. Itu bukan angka, tapi nyawa yang harus diperhatikan. Makanya perlu semua stakeholder, mulai dari masyarakat bahkan pemerintah harus serius menangani permasalahan sampah yang ada di Jawa Barat,” papar Puyuh, melalui telepon.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Masalah Sampah

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//