• Opini
  • Bukan Hanya Makan yang Dibutuhkan Perempuan

Bukan Hanya Makan yang Dibutuhkan Perempuan

Calon presiden harus peka dan memiliki political will untuk mereformasi penegakan hukum untuk melindungi perempuan.

Muhammad Farrel Fauzan

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Pendidikan Indonesia.

Dua orang perempuan warga Dago Elos menunjukkan kelingking bertinta di hari pemungutan suara di Balai RW 11 Dago Elos, Bandung, Rabu, 14 Februari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

24 Februari 2024


BandungBergerak.id – Ramai kita saksikan debat calon presiden (capres) terakhir pada 4 Februari 2024 lalu yang membahas soal isu kesehatan, kesejahteraan sosial, kebudayaan, pendidikan, teknologi informasi, ketenagakerjaan, sumber daya manusia, dan inklusi. Saat sesi tanya jawab para capres berlangsung, ada poin yang mencuri perhatian publik soal isu perempuan. Pasangan calon (paslon) nomor urut 01, Anies Baswedan mempertanyakan soal upaya pemberdayaan dan perlindungan perempuan yang ia lontarkan kepada paslon capres 02, Prabowo Subianto. Jawaban Prabowo Subianto mengenai pemberdayaan dan perempuan pada debat terakhir tersebut mengundang pro-kontra sebagian netizen di media sosial.

Membantu gizi makan untuk kaum ibu hamil, kedua fokus pada pendidikan saya ingin membangun sekolah-sekolah unggul, terpadu di tiap kabupaten di mana kaum perempuan harus diberi suatu kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki,” ujar Prabowo di debat capres terakhir pada 4 Februari 2024.

Jawaban tersebut sebenarnya sedikit menjawab mengenai poin “pemberdayaan”, namun sangat tidak menjawab pada poin “perlindungan”. Seharusnya jawaban perlu berfokus spesifik  pada mekanisme perlindungan korban perundungan kekerasan seksual di lingkungan satuan pendidikan, serta  nasib korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yakni pada ibu  hamil sebagaimana yang terjadi beberapa kali terakhir pada tahun 2023. Jawaban Prabowo mengenai “penegakan hukum” untuk melindungi perempuan pada debat capres tersebut juga masih normatif. Jawaban tersebut belum menjawab evaluasi penegakan hukum seperti apa yang menjadi keresahan dan dikhawatirkan para perempuan.

Baca Juga: Program Pengurangan KDRT di Bandung belum Menyentuh Akar Persoalan
Pentingnya Membela Perempuan dengan Perspektif Perempuan
Dari Caleg Perempuan ke Parlemen yang Melahirkan Kebijakan Pro Perempuan di Kota Bandung

Diperlukan Ketegasan Penegak Hukum pada Pelaku KDRT

Meskipun Undang-undang Penghapusan KDRT dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah menjadi payung hukum kasus KDRT, namun penerapannya tidak berjalan mulus, dan kasus KDRT kepada ibu hamil masih kerap terjadi. Salah satu dari sekian kasus KDRT kepada ibu hamil yang mengundang amarah publik adalah kasus KDRT ibu hamil yang terjadi di Serpong Utara pada 12 Juli 2023 lalu. Polisi pada kasus itu sempat tidak menahan pelaku KDRT dan dibiarkan berkeliaran bebas, meskipun korban sudah babak belur bahkan dikabarkan pelaku mendapatkan vonis ringan.

Adanya kasus tersebut seharusnya membuat para calon presiden harus peka dan memiliki political will untuk mereformasi penegakan hukum di Indonesia agar dapat melindungi ibu hamil dari kasus KDRT dan tidak menyepelekan kasus KDRT. Permasalahan korban kasus KDRT yang kerap terjadi pada ibu hamil harus menjadi prioritas dan perhatian serius agar tidak terjadi mandek dan hanya didorong untuk berakhir dengan Restorative Justice, sebagaimana pada beberapa laporan kasus KDRT di Indonesia. Kasus KDRT tetap harus diupayakan menjadi kejahatan pidana  dan bukan delik aduan. Hal tersebut lantaran KDRT berpotensi terjadi kembali dalam rumah tangga dan sangat merugikan perempuan khususnya pada ibu hamil yang kerap terjadi. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023, korban KDRT juga menghadapi permasalahan hukum lainya yang menjadi penghambat advokasi  kasus KDRT mereka di media sosial, dengan adanya ancaman pasal karet pencemaran nama baik UU ITE oleh pelaku ketika korban mempublikasi kasus pelaku.

Dari adanya kasus dan permasalahan di atas, dapat menjadi perhatian untuk para paslon bahwa, ibu hamil tidak hanya membutuhkan gizi cukup, melainkan membutuhkan perlindungan hukum dengan mengupayakan reformasi hukum dan penegak hukum yang dapat negara lakukan untuk melindunginya dari KDRT. Cara tersebut dapat dimulai dengan meningkatkan fasilitas advokasi korban KDRT ibu hamil dan berupaya memfasilitasi pendidikan dan pelatihan aparat penegak hukum secara intensif dalam menangani kasus kekerasan seksual atau KDRT sebagaimana pada pasal 81 UU TPKS. Sehingga, KDRT dapat dijadikan kasus yang serius. Selain reformasi penegakan hukum, reformasi materi hukum juga perlu dilakukan dengan cara mengevaluasi atau menghapus pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik yang menjadi penghambat advokasi para korban KDRT di media sosial.

Dorong Satgas PPKS di Sekolah, Perkuat Satgas PPKS Kampus

Demi mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan perempuan, tidak cukup hanya sekadar memberikan pendidikan saja. Upaya para capres untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual dan perundungan di satuan pendidikan juga harus dilakukan. Pasalnya pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab hadir mendorong pembentukan satgas anti perundungan sebagaimana mandat Undang-undang TPKS Pasal 79 di mana pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual secara cepat, terpadu, dan terintegrasi, khususnya di satuan pendidikan. Hal tersebut menjadi penting lantaran perempuan rentan menjadi korban pelecehan seksual yang diakibatkan dari ketimpangan relasi kuasa

Pada praktiknya, amanat undang-undang tersebut sudah dilaksanakan melalui pembentukan Satuan tugas (Satgas) pada Perguruan Tinggi berdasarkan aturan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Namun, pemerintah pusat juga harus mendorong pemerintah daerah membentuk Satgas anti-perundungan dan kekerasan seksual di sekolah-sekolah. Satuan Tugas ini menjadi harus menjadi atensi lantaran data korban kekerasan seksual di sekolah tinggi. Menurut Federasi Serikat Guru Indonesia, setidaknya ada 22 kasus kekerasan di sekolah di bawah Kemendikbudristek dan Kemenag sepanjang tahun 2023. Mirisnya korban dari kasus kekerasan seksual tersebut mencapai 202 korban anak. Data tersebut harus menjadi perhatian Apabila kasus kekerasan seksual ini dibiarkan,  akan menyebabkan psikis korban terganggu dan menghambat prestasi para siswa.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//