• Cerita
  • Ketika Mi Instan Bercerita Perjalanan Personal Alam Taslim

Ketika Mi Instan Bercerita Perjalanan Personal Alam Taslim

Pameran karya seni dengan media mi instan berlangsung di Pollen Gallery sampai 3 Maret 2024. Ada pengalaman senimannya yang bergelut dengan masalah ekonomi.

Rupa Igor di pameran Alam Bawah Sadar Pollen Gallery, Bandung, Sabtu, 24 Februari 2024. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya26 Februari 2024


BandungBergerak.idSesosok monster, dengan mata melotot dan dua tentakel terangkat, mencoba menakuti siapa saja yang akan masuk ke ruang pameran. Bentuknya serupa Cyclops atau Kiklops, makhluk raksasa dalam mitologi Yunani yang memiliki satu mata. Bedanya, Igor, nama monster tersebut, bukanlah turunan para dewa. Igor adalah makhluk mutasi buatan Alam Taslim: tubuhnya keriwil mi instan, matanya telur mata sapi, dan giginya potongan cabai rawit. Alih-alih menyeramkan, ukuran Igor yang hanya sengenggam justru membuat dia tampak menggemaskan, seperti meminta dibawa pula.

Igor lahir pada 17 Januari 2015 di salah satu warung kopi di bilangan Jakarta. Sudah banyak tempat yang Igor dan Alam sambangi. Pada Sabtu, 24 Februari 2024, Igor menemani Alam Taslim untuk berpameran di Pollen Gallery, Bandung. Berjaga di meja presensi, Igor menyambut para pengunjung yang ingin menikmati 17 karya ilustrasi milik Alam.

Dengan tajuk “Alam Bawah Sadar”, semua karya Alam menitikberatkan kepada mi instan sebagai tokoh utama. Lewat karya-karya berwajah ceria, berwarna, playful, dan tidak mengintimidasi, Alam menyuguhkan perjalanan personal kehidupan dirinya sedari kecil hingga dewasa, dengan segala kompleksitasnya. Sebagian besar karya-karya ini merupakan hasil kolaborasi antara n0lkecil Creative Space, Dog Days Photo Lab, dan KETARA.

“Biasanya kan kalau (pengalaman) buruk (membuat) ke-trigger jadi down. Nah (di pameran ini) Alam tuh kayak mengkatarsiskannya jadi rasa barulah, yang lebih indah,” jelas Maradita Sutantio, kurator pameran.

Ketika memasuki ruangan, menjuntai tujuh kain kanvas berukuran 200x50 sentimeter di dinding-dinding pameran. Dinamai “Perhatikan Langkamu”, ketujuh karya ilustrasi yang dicetak digital ini terlihat serupa sebab semuanya berlatar biru tua dan terpampang mi berbentuk kaki yang sedang melangkah. Pembedanya, setiap karya memiliki alas kaki yang beragam, ada yang menggunakan sandal capit, sandal gunung, sepatu slip on, sepatu olahraga, sepatu kets, dan bahkan sepatu lars.

“’Perhatikan Langkahmu’ itu (maksudnya) kayak perhatiin lagi (pengalaman) dulu tuh seperti apa. Tapi bukan jadi kayak gloomy, dark gitu. Jadi seperti bensin (optimisme) untuk melangkah lebih gitu,” lanjut kurator lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini ketika ditanya desain dalam karya Alam. “Dengan berhati-hati dan menjadi lebih seksama untuk memahami apa yang terjadi atau telah lampau.”

Selain menjadi judul karya, “Perhatikan Langkahmu” juga bisa menjadi pesan tersurat bagi para pengunjung. Sebab, di lantai terdapat tiga panel cermin berukuran 100x50 sentimeter dengan masing-masing terdiri tiga karya di atasnya. Model triptych seperti ini digunakan Alam untuk merepresentasikan tiga era: Family (masa anak-anak), Self Exploration (masa remaja), dan Society (masa dewasa). Tiga era tersebut direpresentasikan dengan medium ilustrasi mix media, yakni cyanotype on glass dan digital printing on paper.

Lewat kesembilan karya berjudul “Cerminan Diri” ini, Alam menggali pengalaman mendalam di dalam dirinya yang tidak bisa ia sampaikan lewat bahasa. Dengan medium ilustrasi yang digunakan, pengunjung diajak mengintip siapa sebenarnya Alam lewat simbol-simbol yang kompleks, semisal Rhoma Irama yang tengah bersilat atau seorang bayi dengan siluet ayam sebagai latar.

Alam Taslim (berbaju gelap) tengah berfoto dengan seorang pengunjung pameran Alam Bawah Sadar di Pollen Gallery, Bandung, Sabtu, 24 Februari 2024. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Alam Taslim (berbaju gelap) tengah berfoto dengan seorang pengunjung pameran Alam Bawah Sadar di Pollen Gallery, Bandung, Sabtu, 24 Februari 2024. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

“Seluruh momen (yang baik maupun buruk) telah mengantarkan Alam pada definisi ‘rasa’ yang mengendap dan bermutasi,” terang Maradita. “Ketika kita mencoba menjelajahi lebih dalam, ia justru berlapis, tidak bermakna tunggal, kusut, dan berkesan tersembunyi.”

Jika diperhatikan lebih detail, karya “Cerminan Diri” dibuat memiliki posisi saling menyambung dan mengantarkan pengunjung kepada karya paling besar yang posisinya berada di sudut ruangan. “Untuk Masa Lalu yang Lebih Indah” adalah judul karya ini. Masih dengan medium mix media. Bedanya, cyanotype on glass kini dipadukan dengan gambaran Alam langsung lewat kanvas.

Menurut kurator, karya ini menyajikan perpaduan kesan manis, gurih, dan pahitnya kehidupan Alam yang lahir dan bertumbuh di Surabaya. Kurator juga menyampaikan bahwa karya ini menggambarkan rasa syukur Alam atas segala hal yang telah terjadi. Disalurkan tetap dengan simbol-simbol yang ruwet.

“Namun apakah masa lalu yang kusut dan tidak ingin diketahui begitu saja oleh orang lain harus kita urai dan tuntaskan?” tanya retoris Maradita dalam pengantarnya. “Mungkin rasanya akan menjadi upaya untuk meluruskan mi dalam semangkuk bakmi, mari kita nikmati saja gurihnya dan siap-siap untuk menambah porsi kedua!”

Selain pameran, adapun Dog Days Photo Lab yang menggelar Workshop Cynatotype Travel Journal dan Tobucil yang menggelar Workshop Crochet Photocard Holder. Pameran yang merupakan Babak 1 ini terselenggara sampai dengan tanggal 3 Maret 2024.

Baca Juga: Memaknai Pameran Lukisan Mahasiswa Seni Asal Bandung dan Yogyakarta
Menerjemahkan Seni di Dinding Pameran
Pameran Seni Oh Tina! Mengemas Nasib Pernikahan Tina dan Joi

Romantisme Alam Taslim dan Mi Instan

“Perpanjangan hidup si gua,” Alam tertawa ketika ditanya alasan menjadikan mi instan sebagai ciri khas karya-karyanya. “Kalau aku sesimpel karena perut dan kemiskinan masa lalu aja sih. Karena aku butuh makan.”

Alam tidak lahir dari keluarga berada. Alam bercerita, dirinya sering menjadikan mi instan sebagai lauk pendamping nasi, bukan pengganti nasi. Karbo dengan karbo. Alam tertawa miris ketika menceritakan pengalamannya tersebut.

Keluarga adalah satu cerita yang Alam salurkan lewat karya-karyanya. Cerita lain yang dia tuangkan adalah tentang sekolah, tentang pertemanan, tentang pekerjaan, tentang pertemuan dengan orang baru. Mi instan adalah sesuatu yang Alam sadari selalu menemani perjalanannya.

“Dia selalu ada,” kata laki-laki berusia 44 tahun yang kini bekerja sebagai pekerja kreatif tersebut. “Banyak yang ngga menganggap dia (mi instan) itu penting, tapi dia (mi instan) tuh ada terus. Kayak take everything for granted.”

Ketika bekerja di bidang advertising dulu, Alam melihat banyak sekali ilustrator yang berpikir terlalu jauh, mengawang. Alam, yang memiliki pribadi senang dengan sesuatu yang berkaitan dengan “keseharian”, ingin mengambil jalur yang berbeda. Mi instan, sebagai teman setia, kemudian menjadi inspirasinya.

Karya berjudul Untuk Masa Lalu yang Lebih Indah di pameran Alam Bawah Sadar, Pollen Gallery, Bandung, Sabtu, 24 Februari 2024. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)
Karya berjudul Untuk Masa Lalu yang Lebih Indah di pameran Alam Bawah Sadar, Pollen Gallery, Bandung, Sabtu, 24 Februari 2024. (Foto: Tofan Aditya/BandungBergerak.id)

Tidak diduga, ternyata pilihan Alam disambut baik oleh teman-temannya. Bahkan ketika pagebluk Covid-19 dulu, gambaran mi instan yang ditumpahkan ke wajah menyelamatkan hidupnya. Saking banyaknya, dalam sebulan dirinya bisa mendapat pesanan sampai 200-300 karya! Sampai-sampai Alam diundang oleh salah satu perusahaan mi instan untuk menjadi Brand Ambassador.

“Itu (mi instan) sudah kayak mewakili kita semua. Karena, jujur saja, seluruh lapisan masyarakat pun, mau dia menengah-bawah (atau) menengah-atas pun, mereka tetep doyan. Udah ngga melihat ekonomi. Ada romantismenya juga,” duga Alam yang membuat karya-karyanya diterima publik.

Alam melihat mi instan sebagai dirinya sendiri. Alam sering merasa tidak dilihat dan dianggap ketika berada di kerumunan. Itu membuat dirinya sering mojok, tidak begitu nyaman menjadi sorotan. “Aku menganggap mi instan penting karena aku ingin menganggap diri aku penting,” mengutip Alam yang duduk di pojok kafe ketika diwawancara. Oleh karenanya, menggambar mi instan dijadikan Alam sebagai penerimaan dirinya juga.

Ketika ditanya keinginan menggambar di luar mi instan, Alam mengaku belum terpikirkan. Bentuk mi instan yang fleksibel sebenarnya masih banyak hal yang belum dieksplorasi. Meski sudah bergelut hampir sembilan tahun dengan mi instan, Alam belum puas.

“Bosen tuh berarti lu give up sama ini (mi instan). Kan aku suka hal yang simpel, tergantung kreativitas aja, gimana lu ngolahnya. Sisi mana yang mau lu tarik. Ga ada habisnya menurut aku mah,” tutup Alam.

* Kawan-kawan dapat membaca reportase lain Tofan Aditya dan tulisan tentang seni

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//