• Berita
  • Memaknai Pameran Lukisan Mahasiswa Seni Asal Bandung dan Yogyakarta

Memaknai Pameran Lukisan Mahasiswa Seni Asal Bandung dan Yogyakarta

Kolektif Taboo mengusung pameran berjudul Studi Bandung di Sanggar Olah Seni, Jalan Siliwangi. Pameran berlangsung hingga 13 Februari 2024.

Pameran Studi Bandung oleh Kolektif Taboo di Sanggar Olah Seni, Jalan Siliwangi, yang berlangsung hingga 13 Februari 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Penulis Fitri Amanda 12 Februari 2024


BandungBergerak.id - Orang-orang dapat mengartikan warna biru sebagai laut atau keindahan langit malam dengan bintang-bintang. Bagi Angelica Chintya (21 tahun), mahasiswi Seni Murni Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, biru bukan sekadar gambaran tentang keindahan; sebaliknya, biru menjadi simbol trauma atau rasa sakit di masa lalu yang menghantui perjalanan hidupnya.

Angelica menuangkan trauma masa lalu melalui karya-karya seni yang dipamerkan dalam pameran Kolektif Taboo berjudul “Studi Bandung” di Sanggar Olah Seni, Jalan Siliwangi, 3-13 Februari 2024. Lukisan-lukisan Angelica bukan hanya tentang warna dan bentuk, tetapi juga tentang transformasi batin yang terjadi selama perjalanan menghadapi trauma.

Trauma perempuan juga memegang peran dalam karya seni Angelica. Setiap sentuhan biru pada karya seninya adalah catatan visual tentang perjuangan dan rasa sakit yang diderita oleh perempuan-perempuan di luar sana yang mengalami kehilangan, perpisahan, dan pengkhianatan.

“Aku pikir ini juga berkaitan sama perempuan juga, ya. Trauma-trauma yang di masa lalu, tentang kesakitan perempuan,” ucap Angelica yang tahun lalu memamerkan karya lainnya di Art Jakarta.

Lebih jauh, Angelica menjelaskan bahwa ia merasa dapat merubah hal-hal negatif yang ia rasakan menjadi hal yang positif, seperti karya seninya yang menjadi saksi pengalaman pembelajaran dan pertumbuhan pribadinya. Angelica meyakini bahwa seni bukan hanya tentang penciptaan visual, tetapi juga sarana penyembuhan yang dapat membantu mengatasi luka-luka emosional.

Melalui perjalanan yang panjang menuju karya seninya dengan melakukan lebih dari 300 kali eksplorasi teknik, dia juga menyampaikan melalui karyanya bahwa karya seni dapat tercipta melalui alat-alat yang sederhana.

“Mungkin orang-orang mengira alat-alat lukis atau alat-alat berkesenian itu mahal, ya. Tapi sebenarnya, apa pun bisa dijadiin alat, bisa dijadiin hal untuk eksplorasi,” jelas Angelica

Angelica memanfaatkan lantai atau papan yang memiliki tekstur mirip plastik dalam proses kreatif yang dilakukan untuk mengikuti pameran. Media-media tersebut dipakai untuk memberikan dimensi tambahan pada karyanya.

Dia kemudian menemukan 36 potongan yang sesuai dengan harapannya dan menggabungkan ke-36 potongan karya menjadi satu karya utuh. Karyanya yang terbentuk dari potongan-potongan seperti puzzle ini kemudian dipamerkan dengan penuh makna dengan judul "Merupa Angan". Judul ini berangkat dari pengalaman yang memilukan dan keintimannya dalam perjalanan artistik.

Lukisan "Merupa Angan" dengan ukuran 70 x 60 sentimeter itu merujuk pada rasa kerinduan terhadap seseorang yang telah tiada, yaitu sang kakek. Selama proses berkarya, sosok kakek yang telah meninggal muncul dalam mimpi atau pengalaman spiritual.

“Ia menemui aku terus seperti apa ya namanya ya seperti ngasih tahu entah apa itulah jadi di luar nalar dan apa ya di luar bawah sadar gitu,” ungkap Angelica.

Angelica dan karyanya bertajuk Merupa Angan dalam Pameran Studi Bandung oleh Kolektif Taboo di Sanggar Olah Seni, Jalan Siliwangi, yang berlangsung hingga 13 Februari 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)
Angelica dan karyanya bertajuk Merupa Angan dalam Pameran Studi Bandung oleh Kolektif Taboo di Sanggar Olah Seni, Jalan Siliwangi, yang berlangsung hingga 13 Februari 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Melihat Anomali Kehidupan dari Pameran Seni Kelompok Ambari
Pameran Seni Oh Tina! Mengemas Nasib Pernikahan Tina dan Joi
Pameran ARTsiafrica, Merekat Persaudaraan Asia Afrika dengan Seni Rupa

Tentang Kolektif Taboo

Kolektif Taboo merupakan komunitas yang terbentuk karena pandemi Covid-19 yang melanda dunia pada 2021 lalu. Damar (21 tahun), mahasiswa seni dari Kolektif Taboo, bercerita pada saat kehidupan kembali normal pascapandemi, suasana di kampus tetap terasa sepi, jarang ada acara komunitas di kampus.

Inisiatif pun muncul, Kolektif Taboo terbentuk, dengan niat ingin mengembalikan semangat yang telah lama hilang dengan mengadakan pameran seni di kampus mereka, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Sebagai pemeran kelompok, mereka ingin lebih dari sekadar berpartisipasi. Mereka ingin untuk bergerak secara kolektif, membangun hubungan, dan mendekatkan diri dengan seniman-seniman lainnya, termasuk seniman-seniman di kota Bandung.

Sadar akan perbedaan latar belakang seni di kedua kota ini—Jogja dan Bandung—Damar mengaku bahwa ia dan kawan-kawan Kolektif Taboo ingin mendapatkan perspektif yang berbeda. Keinginan untuk belajar tidak hanya terbatas pada pandangan seni dalam lingkungannya saja, tetapi juga ingin menambah perspektif baru di Bandung. Damar dan kawan-kawan ingin mengembangkan pemahaman mereka yang lebih luas.

Kolektif Taboo melakukan persiapkan pemeran pertama mereka di luar kota kurang lebih sekitar satu bulan setengah. Damar merasa, terlepas dari hasil akhirnya, pameran ini merupakan pencapaian yang besar bagi mereka yang belum begitu dikenal dan bersyukur atas sambutan positif teman-teman di Bandung.

Pameran Studi Bandung oleh Kolektif Taboo di Sanggar Olah Seni, Jalan Siliwangi, yang berlangsung hingga 13 Februari 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)
Pameran Studi Bandung oleh Kolektif Taboo di Sanggar Olah Seni, Jalan Siliwangi, yang berlangsung hingga 13 Februari 2024. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak.id)

Selain Angelica, pameran ini memamerkan karya-karya seniman Bandung dan Yogyakarta terdiri dari Akmal Insan, Azizah Permata, Bonnie Hermansyah, Noormatiin, Rosid, Dani M, Susilo Novriadi, Taufik Gustian, Ashqi Fajar, Dhargga, Lopmor, Puthut Dharma, Rahlinsky, Werku Jatiraga.

Anisa, salah satu pengunjung pameran kolaboratif ini, mengomentari pameran dengan konsep kolaborasi antara Bandung dan Yogyakarta ini. Menurutnya, kehadiran pameran ini sangat menarik, terutama karena melibatkan dua kota seni. Anisa merasa bahwa pameran ini tidak hanya sekadar mengeksplorasi seni dari Bandung dan Yogyakarta, tetapi juga membangun hubungan baik di antara mereka.

Ia melihat kolaborasi ini memiliki daya tarik khusus karena berhasil mengeksplorasi sudut pandang masing-masing kota. Dan ini menjadi daya tarik utama.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain tentang Pameran Seni

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//