SOE HOK GIE DAN KORAN MAHASISWA INDONESIA CABANG BANDUNG #2: Mimpi Terakhir Sang Demonstran
Soe Hok Gie menuliskan mimpi-mimpinya tentang mahasiswa Indonesia. Terbit di Surat Kabar Mingguan Mahasiswa Indonesia Cabang Djawa Barat tahun 1968.
Muhammad Akmal Firmansyah
Mahasiswa Ilmu Sejarah UIN SGD Bandung dan Jurnalis BandungBergerak.id sejak 12 Juni 2022
27 Februari 2024
BandungBergerak.id- Setahun sebelum Soe Hok Gie menjadi dosen di almamaternya, Jurusan Sejarah Universitas Indonesia (UI). Di titik menuju gerbang kelulusan sebagai sarjana tersebut Gie menuliskan sebuah mimpi terakhirnya sebagai seorang mahasiswa tua yang hendak mengirimkan skripsinya ke rak perpustakaan. Tulisan tersebut berjudul “Mimpi2 Terachir, Seorang Mahasiswa Tua,” dimuat dua edisi dalam Surat Kabar Mingguan Mahasiswa Indonesia Cabang Djawa Barat.
Dalam tulisan pertama “Mimpi2 terachir, Seorang Mahasiswa Tua” yang dimuat pada terbitan Nomor 106 Tahun III Minggu ke-IV Juni 1968, Gie menyampaikan keinginannya agar mahasiswa bisa tumbuh sebagai orang biasa. Ia membuka tulisannya dengan bercerita tentang pertemuannya dengan ketua Jurusan Sejarah di Fakultas Sastra UI. “Pagi itu, ketua jurusan Sejarah memanggil saya dan bertanya bagaimana saya akan menyerahkan skripsi saja. Saya berpikir sebentar, dan akhirnya saya katakan, bahwa dalam beberapa minggu lagi, saya akan menyerahkan draft skripsi tadi, saya tinggal menggetiknya,” tulis Gie.
Di sinilah mimpi terakhir seorang mahasiswa tua itu lahir, di mana ia akan menanggalkan diri sebagai mahasiswa. Gie bercerita dalam perjalanan enam setengah tahun memasuki pintu gerbang perguruan tinggi telah mengajarkan banyak hal, gelar sarjana akan segera ia dapat, di hadapan masyarakat ia melangkah dengan ilmu-ilmu yang telah dipelajari.
“Dan, pada saat langkah-langkah terakhir diajukan timbul bermacam-macam perasaan pada diri saya, seorang mahasiswa tua,” tulis Gie.
Gie yang Romantis
Selain perasaan senang, rasa sedih juga menyelimuti Gie di mana romansa saat di kampus –mulai dari berdiskusi, menonton film, dan menggulingkan rezim kekuasaan akan menjadi kisah. Gie menuliskannya dengan begitu romantis.
“Semuanya terasa begitu mesra. Saya ingat kembali masa-masa ujian, masa-masa untuk belajar, masa-masa untuk berdiskusi, nonton film dan cerita-cerita murahan yang saya dapati di kampus, semuanya telah membuat saya dewasa dalam arti kata bahwa saya telah ditempa dalam suasana ini,” kata Gie.
Mimpi untuk generasi mendatang, dari mahasiswa tua itu timbul.
“Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah agar mahasiswa Indonesia menjadi manusia-manusia biasa. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal sebagai seorang manusia yang normal sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya, sebagai seorang mahasiswa dan seorang pemuda, dan seorang manusia.”
Penekanan agar mahasiswa bisa bersikap sebagai orang biasa diungkapkan alasannya oleh Gie pada paragraf berikutnya.
”Pada saat-saat kuliah mereka datang ke kelas-kelas secara serius. Mendengarkan kuliah-kuliah dosen walaupun kadang-kadang membosankan. Dan pada saat-saat ujian secara serius mereka belajar secara serius di perpustakaan atau di laboratorium. Kadang-kadang mereka berdiskusi secara sungguh-sungguh dengan rekan-rekannya tentang suatu masalah,” tulis Gie.
Dengan kegiatan yang berat dan serius itu, buat Gie, mahasiswa yang juga manusia biasa perlu merefleksikan diri dan melebur dengan masyarakat dengan melakukan kegiatan berkesenian, berolahraga seperti naik gunung dan membuat lelucon-lelucon remeh. “Ya, suatu kehidupan yang tidak serius di samping studi yang berat.”
Aktivis mahasiswa dan juga demonstran ini mengingatkan agar di masa yang tak menentu mahasiswa juga perlu bersiap untuk melawan mereka yang menginjak-injak demokrasi. Begini kata Gie.
”Mereka juga dapat bersikap tegas. Tanpa ragu-ragu mereka akan berani turun ke jalan-jalan raya menghadapi panser-panser tentara yang mau menginjak demokrasi. Dan berkata tidak terhadap siapapun juga yang ingin merobek-robek rule of law dan kemerdekaan bangsanya, manusia-manusia yang berkepribadian tetapi tidak berlebihan.”
Kalimat sinis dan satire dilontarkan Gie terhadap mahasiswa-mahasiswa seolah kehilangan muruahnya. “Yang tumbuh dalam kampus adalah suasana kepicikan dan kemunafikan, mahasiswa-mahasiswa berlomba-lomba untuk menjadi suci secara tidak pada tempatnya.”
Baca Juga: SOE HOK GIE DAN KORAN MAHASISWA INDONESIA CABANG BANDUNG #1: Selamat Jalan, Lilin Kecil yang Selalu Menyala!
Aktivis 1998 Ziarah ke Makam Korban Tragedi Trisakti di Bandung, Mereka Menolak Kebangkitan Orde Baru
Dari Mengkliping Koran, Lahirlah Buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998
Penikmat Film dan Dansa
Soe Hok Gie, selain dikenal sebagai penulis dan aktivis ia juga penikmat film dan dansa. Bagi Gie orang yang anti-dansa merupakan berlebihan termasuk para mahasiswa yang ada di jurusannya.
“Seolah-olah yang dansa adalah iblis-iblis yang akan merusak moral pemuda. Dan, kehidupan mahasiswa-mahasiswa mau diatur menurut pola-pola abad ke XII, bahwa sex adalah suatu kejahatan, bahwa pacaran membuang-buang waktu dan pesta tidak sesuai dengan AMPERA. Bahwa kebudayaan materialistis dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa dan Pancasila, bertentang dengan agama dan lainnya.”
Begitulah Soe Hok Gie seseorang yang menempatkan manusia di atas segalanya.
“Bagi saya baiklah kita mengakui hakikat seseorang manusia muda bahwa dalam masa mahasiswa baik pemuda atau pemudinya perlu bergaul secara bebas. Dalam masa ini mereka membentuk kepribadiannya, mengenal orang lain dan dari pergaulan ini tumbuh manusia-manusia yang wajar,” tutup Gie.
Berkenalan dengan Skripsi Soe Hok Gie.
Bila ternyata skripsi Soe Hok Gie telah diminta untuk dikerjakan dan diserahkan pada tahun 1969, hal ini bisa dilihat dalam Catatan Seorang Demonstran (2011) yang merupakan catatan harian aktivis mahasiswa tersebut. Di hari Sabtu-Minggu, 12-13 April 1969 dan skripsi tersebut diserahkan pada 16 April 1969, Gie menulis: “Kerja saya menulis skripsi dari pagi sampai malam. Saya menyelesaikan 21 halaman tik ditambah halaman daftar buku. Dalam hati saya agak kagum melihat hasil sebanyak itu. Akhirnya saya data menyelesaikannya. Pukul 22.00 saya tidur. Rasanya otak sudah jenuh dan saya melihat skripsi sebagai tahi di atas meja. Saya merasa Lelah sekali, terutama mental, walaupun kerja saya cuman makan.”
Karya dan tugas akhir Soe Hok Gie untuk menempuh ujian sarjana muda di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia telah dibukukan mulai dari Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920 diterbitkan pertama kali oleh Bentang Pustaka lalu Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan diterbitkan oleh penerbit yang sama.
Skripsi Gie yang semula berjudul “Simpang kiri dari sebuah jalan: Kisah Pemborantakan Madiun September 1948” ditujukan untuk mendapatkan gelar sarjana pada tahun 1969. Dalam penyusunan skripsi ini Gie melakukan wawancara dengan sejumlah tokoh mulai Muhammad Hatta, Alimin, Samoen, dan Indonesianis asal Cornel University, Ben Anderson.
Konflik internal di tubuh Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi sorotan Gie dalam skripsinya ini hingga muncul peristiwa Madiun 1948. Setelah Indonesia merdeka 1945, percikan pertarungan ideologi terjadi di Indonesia. Di mana peristiwa Madiun merupakan pemberontakan ideologis Marxisme berdasarkan tafsiran Musso-Amir Sjarifuddin dengan Islam dan Nasionalisme di belakang pemerintahan Hatta.
Republik yang baru berumur jagung itu dihadapi pemberontakan dengan berdirinya Front Demokrasi Rakyat yang diproklamasikan di Madiun pada 18 September 1948. Hatta, sebagai Perdana Menteri yang memegang kendali negara kemudian bersikap keras pada pemberontakan Musso- Amir Sjarifuddin.
Polemik di kalangan kiri, istilah terhadap komunisme yang dipopulerkan oleh Soe Hok Gie, terjadi antara Musso dan Tan Malaka, Amir Sjarifuddin dan Sjahrir. Musso datang ke Indonesia setelah pengasingannya di Uni Soviet pada 11 Agustus 1948. Namun, Tan Malaka tidak mengindahkan sikap Musso, ia tidak terlibat dalam pemberontakan tersebut, Tan Malaka juga dikeluarkan oleh Komintern pada 1920-an tidak mau didikte oleh Uni Soviet yang berbalik dengan Musso.
Sementara, Amir dan Sjahrir bersama mendirikan Partai Sosialis, Amir yang kadung merah berpolemik dengan Sjahrir yang mendirikan Partai Sosialis Indonesia yang anti-komunis. Lelaki yang terlahir Islam, tumbuh besar dan mati dalam keadaan komunis ini muncul sikap radikalnya setelah pulangnya Musso.
Pemberontakan Madiun ini berhasil ditumpas dalam beberapa hari. Singkatnya, Musso dan Amir berusaha menyelamatkan diri. Amir ditangkap oleh TNI di Purwodadi pada akhir 1948 bulan November. Kemudian, mantan Menteri Pertahanan 1945 – 1948 dan Perdana Menteri periode Juli 1947 – Februari 1948 tersebut ditembak mati setelah menyanyikan Indonesia Raya dan Internasional. Revolusi yang memakan anaknya sendiri ini bernasib nahas terhadap kader HOS Tjokroaminoto, Musso ditembak dan menolak menyerah di Desa Balong pada 31 Oktober 1948.
Sejarawan Ahmad Syafi’i Maarif menyebut skripsi Soe Hok Gie ini banyak merekam peristiwa mahasiswa yang menjadi pengingat untuk orang-orang di masa depan. “Sejarah memang bertugas untuk mengungkapkan peristiwa masa lampau yang dinilai penting oleh sejarawan. Untuk siapa? Untuk mereka yang masih hidup, bukan untuk mereka yang sudah mati,” kata Maarif.
(Bersambung)
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau membaca artikel-artikel tentang Sejarah.