• Berita
  • Dari Mengkliping Koran, Lahirlah Buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998

Dari Mengkliping Koran, Lahirlah Buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998

Mengkliping bukan sekadar menggunting berita. Dengan kliping orang dilatih menolak lupa pada kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh negara.

Penampilan kolaborasi pantomim oleh Wanggi Hoed (kiri) dan dramatic reading oleh Zulfa Nasrullah (kanan) di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Minggu, 11 Februari 2024.(Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah12 Februari 2024


BandungBergerak.id - Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan riwayat. Riwayat sejarah tidak akan hilang bila didokumentasikan dengan baik. Salah satu proses dokumentasi dikenal dengan istilah kliping, yaitu menggunting momen penting dari surat kabar lalu ditempelkan ke lembaran-lembaran kertas secara tertata.

Model kliping bagi generasi kekinian mungkin agak asing karena terkesan tradisional. Namun hal ini masih dilakukan oleh esais dan arsiparis partikelir Muhidin M Dahlan. Keuletannya mengkliping menghasilkan buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 (2024) yang tebalnya tidak tanggung, 506 halaman!

“Saya Ketika mengkliping, memberi nama, ngasih metadata. Saya berubah menjadi sastrawan dan orang kreatif ketika menyusun buku ini. Bukan tidak disengaja ada tokoh jahat dan tokoh baik, itu memang kaya drama,” ucap lelaki yang biasa disapa Gus Muh ini, pada acara diskusi “Omon-omon Buku: Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998” di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jalan Garut, Bandung, Minggu, 11 Februari 2024.

Buku yang amat berkelindan dengan situasi tahun politik ini kemudian didiskusikan oleh Gus Muh, jurnalis Zen RS, musisi dan aktivis Herry Sutresna, advokat hak asasi manusia (HAM) Asfinawati, dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung Tri Joko Her Riadi.

Buku “Kronik Penculikan Aktivis 1998” ini menjelaskan drama lima babak, terdiri dari perkenalan tokoh utama yang di antaranya tokoh militer terkenal, tampilan masalah dan alasan-alasannya, jalan cerita dari tokoh, dan ditutup antiklimaks di ruang pengadilan. 

“Teman-teman bisa baca kronologisnya, hingga yang terjadi di Puspom ABRI,” tutur Gus Muh.

Pemilik Warung Arsip ini menjelaskan, hadirnya buku ini dikarenakan momentum Pemilu 2024. “Momentum terbaik itu sekarang (pemilu), saya bukan tiba-tiba membuat ini. Saya pernah membuat kronik PSSI ketika Timnas juara,” jelas Gus Muh.

Kerja mengipling memang terkesan sederhana dan mudah. Tetapi perkerjaan yang sepi ini adalah kerja intelektual yang membutuhkan visi jelas. Tanpa visi, kliping hanya akan menjadi pekerjaan gagal dan melelahkan. “Jadi 50 persen kerja teknis 50 kerja intelektual,” tegas Gus Muh.

Belum lagi dengan proses pengumpulan data yang membutuhkan waktu tidak sebentar. Meskipun begitu pengerjaan dalam penulisan terbilang cepat. “Pengumpulan data lama, nulisnya 14 hari. Saya scan dan saya data,” terang Gus Muh yang mempersembahkan lahirnya buku kliping ini untuk para jurnalis yang menjadi tulang punggung dalam mengabadikan sebuah momen bersejarah.

Dilema bagi Jurnalis

Secara tradisional kliping merupakan kerja pendokumentasian hasil karya jurnalistik yang dimuat di surat kabar atau media massa. Di zaman ini, tradisi kliping bukan mustahil. Namun masalahnya, profesi jurnalis di era digital dituntut kecepatan untuk menghasilkan banyak tulisan.

Gus Muh memuji praktik-praktik jurnalistik yang dilakukan para jurnalis. Di sisi lain, para kuli tinta ini menghadapi dilemma dan bahkan tamparan keras.

“Kalau sekarang kita mengkliping cukup berkualitas gak bahannya? Yang aku pikir, itu yang bisa jadi pertanyaan dan PR kita bersama dari sisi media dan jurnalis gitu,” ujar Tri Joko Her Riadi.

Proses dokumentasi oleh para jurnalis dewasa ini lebih menekankan banyaknya memproduksi konten. Celakanya, konten-konten berkualitas, berita-berita yang bermutu menjadi nomor sekian. Sebagai gambaran, liputan-liputan mendalam dan investigasi oleh para jurnalis jarang dilakukan.

“Hari ini sangat sulit mendapatkan ruang di redaksi (membuat liputan mendalam) harus tuntutan cepat dan banyak. Artinya informasi yang beredar, dan semakin banyaknya media, hanya menginformasikan permukaan,” jelas Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id ini.

Pameran arsip di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung,, Minggu, 11 Februari 2024.(Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Pameran arsip di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung,, Minggu, 11 Februari 2024.(Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Menolak Lupa dengan Kliping

Buku “Kronik Penculikan Aktivis 1998” merupakan media untuk belajar mengingat momentum di masa lalu, seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998. Esais dan jurnalis Zen RS yang turut berkontribusi pada lahirnya buku ini mengatakan, kliping juga sebagai bagian dari meningkatkan daya ingat agar kita tidak mudah lupa.

“Buku ini adalah latihan kami berdua merawat ingatan, karena bangsa ini tidak dilatih untuk mengingat. Sepertinya kualitas fisik, ingatan juga harus dilatih termasuk momentum republik ini,” jelas Zen.

Musisi Hery Sutersna berharap proses pengklipingan juga bisa dilakukan di lingkup lokal, misalnya menyisir dan mengarsipkan kejadian-kejadian tahun 1998 di Kota Bandung. “Kawan-kawan bisa menceritakan 98 waktu itu dengan mengkliping-kliping. Melalui jejaring pers mahasiswa atau arsip-arsip pribadi,” kata pria yang akrab disapa Ucok.

Menurut Ucok, kejadian 1998 banyak terpusat di Jakarta, padahal tahun-tahun krisis ekonomi tersebut berdampak besar di daerah, tak terkecuali di Bandung. “Pernah terjadi pemogokan-pemogokan buruh, itu banyak menginspirasi. Tentu isunya selain menurunkan Suharto tapi kondisi kerja dan sebagainya, dan mahasiswa menjadi highlight mempeloporinya,” tuturnya.

Baca Juga: Data Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia 2015-2021, meski Jumlah Kasus Relatif Menurun, Situasi HAM di Indonesia Belum Tentu Membaik
Data Kategori Pelanggaran HAM Sepanjang 2021, Hak atas Kesejahteraan dan Keadilan paling Sering Dicederai
Menolak Lupa, Menggugat Pengabaian Sistematis Pemerintah Indonesia dalam Penuntasan Pelanggaran HAM Berat

Muhidin M. Dahlan, penulis buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998, saat Workshop Kliping di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Minggu, 11 Februari 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Muhidin M. Dahlan, penulis buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998, saat Workshop Kliping di Perpustakaan Ajip Rosidi, Bandung, Minggu, 11 Februari 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Kuatnya Impunitas Pelanggaran HAM Berat di Indonesia

Buku “Kronik Penculikan Aktivis 1998” menjelaskan secara kronologis tentang rentetan pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara di tahun 1998. Buku ini sekaligus menegaskan bahwa impunitas (kekebalan) pelaku pelanggaran HAM semakin kuat.

Advokat HAM Asfinawati menjelaskan, impunitas muncul setelah reformasi 1998 yang melahirkan Undang-undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

“Seperti orang tua bilang, semakin banyak aturan semakin banyak ketidakadilan. UU tersebut untuk membawa jagal-jagal kita ke luar negeri dan tidak diadili secara internasional,” kata perempuan yang pernah menjadi Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2017-2022.

Ketidakseriusan negara dalam menuntaskan pelanggaran HAM terlihat dari jumlah kasus yang dinyatakan pelanggaran HAM oleh negara masih sangat sedikit. “Negara kita malu perhatian supaya tidak membongkar kejahatan itu, negara sangat serius dalam koalisi partai. Ada banyak sekali pelanggaran HAM yang berat, dan sedikit dinyatakan pelanggaran HAM,” tutur Asfinawati.

*Kawan-kawan dapat menikmati karya-karya lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau juga artikel-artikel lain tentang Pelanggaran HAM

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//